Ketika Sebuah Hari Ditetapkan sebagai Hari Kebudayaan Nasional, Publik Berharap Sesuai Peristiwa Monumental, Mengakar dari Sejarah

Hari Kebudayaan dan Pertaruhan Akal Sehat Bangsa"

SUMBAR, kiprahkita.com Ketika sebuah hari ditetapkan sebagai Hari Kebudayaan Nasional, publik tentu berharap lahirnya sebuah peristiwa monumental yang mengakar dari sejarah, bernilai luhur, dan melibatkan suara para pewaris budaya itu sendiri—yakni para budayawan.

Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon

"Namun yang terjadi belakangan ini justru menimbulkan pertanyaan di ruang publik: Apakah budaya bisa ditentukan dari momen politik? Apakah warisan kultural bangsa boleh ditumpangkan pada simbol-simbol kekuasaan?" Begitu tanya seorang wartawan senior yang sudah lama berkecimpung di surat kabar lokal. 

Tanggal 17 Oktober, kini diklaim sebagai Hari Kebudayaan Nasional. Beragam narasi muncul, mulai dari alasan historis berupa penetapan Bhinneka Tunggal Ika tahun 1951, hingga adanya kementerian khusus yang menangani kebudayaan di era tertentu. Namun yang mencuat bukanlah nilai budaya itu sendiri, melainkan kesan politis yang terlalu kentara: tanggal tersebut bertepatan dengan hari kelahiran seorang tokoh politik nasional.

Apakah itu kebetulan? Mungkin. Tapi rakyat tidak pernah sepolos itu. Di negeri yang penuh simbol ini, rakyat tahu: setiap tanggal dan keputusan besar, selalu punya pesan tersirat.

Lebih jauh lagi, ada satu ironi besar: pembentukan Hari Kebudayaan justru terasa minim melibatkan budayawan. Tidak terdengar gaung musyawarah kebudayaan nasional. Tidak terlihat dialog yang menggugah. Seolah, budaya adalah produk administratif, bukan proses panjang warisan jiwa bangsa.

Padahal, budaya tidak bisa ditetapkan, ia hidup dalam keseharian rakyat. Dalam cara kita berbicara, menyapa, menghargai, beradab. Dalam tarian, lisan, naskah lama, hingga kearifan lokal yang tersembunyi di sudut-sudut kampung. Budaya itu menolak disetir, apalagi dijadikan alat pelengkap pencitraan.

"Sejarah mencatat bahwa tanggal 17 Oktober juga pernah menjadi hari kelam: tahun 1952, terjadi aksi militer yang mengarah pada pembangkangan terhadap sipil. Ironi itu kini seperti dihapus begitu saja oleh narasi baru. Kita bertanya-tanya: Apakah bangsa ini sedang kehilangan memori kolektifnya? Atau kita memang sedang malas membaca ulang sejarah?" Lanjut beliau lagi.

Menetapkan hari kebudayaan tidak semestinya menjadi polemik. Tapi cara, waktu, dan pesan di balik penetapan itu perlu akal sehat dan kejujuran moral. Kita tidak bisa membangun peradaban di atas panggung pura-pura. Kita tidak bisa menyatukan bangsa dengan simbol kosong.

Sudah waktunya kita kembali pada nilai dasar: bahwa kebudayaan adalah wajah jiwa bangsa. Ia tidak bisa dipoles dengan lipstik politik. Ia lahir dari rakyat, bukan dari rak surat keputusan.

Jika kita ingin memperkuat identitas bangsa melalui budaya, maka undanglah budayawan. Dengar suara mereka. Hargai jejak mereka. Jangan jadikan kebudayaan sebagai karpet merah yang hanya digelar saat kekuasaan lewat.

Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, mengumumkan penetapan 17 Oktober itu sebagai Hari Kebudayaan Nasional (HKN). Salah satu langkah strategis dalam memperkuat kesadaran kolektif bangsa tentang pentingnya pelestarian, perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan yang berkelanjutan.

17 Oktober dipilih atas pertimbangan kebangsaan, merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 1951 yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjojo pada 17 Oktober 1951. PP itu menetapkan Lambang Negara Indonesia, yaitu Garuda Pancasila, dengan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" sebagai bagian integral dari identitas bangsa.

"Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan, tetapi filosofi hidup bangsa Indonesia yang mencerminkan kekayaan budaya, toleransi, dan persatuan dalam keberagaman," tegas Menteri Kebudayaan Fadli Zon. PP No. 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara dan tonggak sejarah penetapan Garuda Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika sebagai simbol resmi Indonesia," lanjut Menteri Kebudayaan Fadli Zon.

Penetapan Hari Kebudayaan Nasional itu bertujuan:

Pertama, Penguatan Identitas Nasional – Lambang Garuda Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang ditetapkan pada 17 Oktober 1951 sebagai simbol pemersatu bangsa. Penetapan HKN diharapkan dapat mengingatkan seluruh rakyat Indonesia pentingnya menjaga identitas kebangsaan.

Kedua, Pelestarian Kebudayaan – Momentum dalam mendorong upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan sebagai pondasi pembangunan.

Ketiga, Pendidikan dan Kebanggaan Budaya – Mendorong generasi muda untuk memahami akar budaya Indonesia dan menjadikannya sumber inspirasi dalam menghadapi tantangan global.

"17 Oktober merupakan momen penting dalam perjalanan identitas negara kita. Ini bukan hanya tentang sejarah, tetapi juga tentang masa depan kebudayaan Indonesia yang harus dirawat oleh seluruh anak bangsa," ujar Menteri Fadli Zon.

Melalui Penetapan HKN, Pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan pemahaman publik tentang nilai-nilai kebudayaan nasional. Memperkuat peran kebudayaan dalam memajukan peradaban bangsa. Menjadikan kebudayaan sebagai landasan pembangunan karakter dan kesejahteraan masyarakat.

Kementerian Kebudayaan mengajak seluruh pemangku kepentingan, termasuk komunitas budaya, akademisi, dan masyarakat umum, untuk bersama-sama memaknai Hari Kebudayaan Nasional sebagai bagian dari upaya kolektif membangun Indonesia yang beradab dan berbudaya.

Usulan ini awalnya datang dari kalangan seniman dan budayawan Yogyakarta yang terdiri dari para maestro tradisi dan kontemporer. Mereka melakukan kajian sejak Januari 2025 dan disampaikan ke Kementrian Kebudayaan setelah beberapa kali diskusi mendalam.

Secara Historis, tanggal 17 Oktober memiliki makna yang kuat dalam sejarah Kebudayaan Indonesia. Pada 17 Oktober 1951, Presiden Soekarno secara resmi menetapkan Bhineka Tunggal Ika sebagai bagian dari lambang Garuda Pancasila melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 1951 yang ditandatangani Presiden Sukarno Tentang Lambang Negara Garuda Pancasila yang didalamnya mengandung simbolisasi hari kemerdekaan, dasar negara serta semboyan “BHINEKA TUNGGAL IKA”.

Dalam Penjelasan PP Nomor 66 Tahun 1951 Pasal 5, tentang makna semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, disebutkan bahwa perkataan Bhinneka itu ialah gabungan dua perkataan: “bhinna” (berbeda) dan “ika” (satu): berbeda-beda tetapi tetap satu jua, menggambarkan persatuan atau kesatuan Nusa dan Bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam etnis, suku, bahasa, dan agama yang berbeda.

Semangat mempersatukan bangsa Indonesia sebagaimana makna pada semboyan Bhinneka Tunggal Ika mulai muncul sejak Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Sidang BPUPKI/PPKI 1945. Pada sidang BPUPKI, M Yamin, Bung Karno, dan I Bagus Sugriwa menemukan kalimat di Kitab Sutasoma “Bhineka Tunggal Ika. Tan Hana Dharma Mangrowa” yang memiliki arti "Walaupun berbeda-beda, tetapi tetap satu jua”. 

Semboyan ini menekankan persatuan di tengah keberagaman budaya, suku, agama, dan ras di Indonesia yang selanjutnya menjadi simbol bahwa budaya adalah perekat keberagaman di Indonesia yang mampu menyatukan perbedaan sehingga menjadi fondasi bagi kerukunan bangsa. 

Itulah momen HKN ini. Bangsa besar memang bukan yang banyak harinya saja, tapi yang mampu merawat nilai dan warisan leluhurnya dengan hati yang jernih dan niat yang tulus. (BS)*

Posting Komentar

0 Komentar