TANAH DATAR, kiprahkita.com –Sejatinya, kasus di Taman Wisata Alam (TWA) Mega Mendung yang melibatkan Nagari Singgalang bermula dari bencana galodo (banjir bandang) pada 11 Mei 2024. puluhan orang meninggal dan banyak fasilitas seperti kafe turut hancur terbawa arus.
Setelah itu, secara administratif kawasan ini merupakan TWA, namun masyarakat sudah sejak puluhan tahun mengelola pemandian dan usaha wisata tanpa izin di dalam kawasan tersebut—sebagaimana dikelola sejak sekitar 25 tahun lalu sebagai tanah ulayat masyarakat.
![]() |
Wali Nagari dan pemerintah daerah dan provinsi |
Pemerintah kemudian menegakkan aturan konservasi: Kementerian Kehutanan (KLHK) bersama BKSDA Sumbar melakukan penertiban terhadap sembilan objek wisata komersial di area seluas ±12 hektare. Mereka memblokir akses, memasang plang larangan, garis polisi, hingga berencana menggunakan alat berat untuk meratakan bangunan, yang sempat memicu ketegangan sebelum akhirnya dilakukan mediasi dengan tokoh adat setempat.
Pengelola adat seperti Yunelson Datuak Tumangguang Nan Hitam (KAN Singgalang) menyoroti kontradiksi antara status kawasan—dahulu tanah ulayat lalu berubah menjadi kawasan hutan lindung—dengan fakta bahwa ada kepemilikan sertifikat lahan dari era kolonial Belanda. Ia menyebut jika pemerintah membongkar pemandian rakyat, pemerintah juga harus membongkar bangunan di lahan bersertifikat itu karena dianggap tidak adil.
Akhirnya, dialog antara Pemerintah Nagari Singgalang, KAN, dan KLHK menghasilkan kesepakatan penghentian aktivitas wisata, ditandai dengan pemasangan plang di sembilan titik, penutupan fasilitas komersil, serta larangan pembuatan akses baru. Walaupun sempat ada rencana pemblokiran jalan dengan batu, itu dihentikan karena tekanan rakyat dan ninik mamak setempat.
Inti dari kasus ini adalah konflik antara kebutuhan konservasi lingkungan dan kepentingan sosial–ekonomi masyarakat lokal yang menggantungkan hidup pada aktivitas wisata di kawasan yang dinyatakan tinggi risiko bencana. Pemerintah melalui KLHK/BKSDA mengambil langkah hukum berdasarkan Peraturan Kehutanan dan perundangan konservasi, sementara masyarakat adat menuntut keadilan karena menyatakan telah lama memiliki hak kelola atas lahan tersebut.
Menjaga Kelestarian dan Kesejahteraan: Penertiban Kawasan TWA Mega Mendung
Langkah penertiban kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Mega Mendung oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat pada 24 Juli 2024 menjadi titik penting dalam upaya perlindungan lingkungan di wilayah Nagari Singgalang. Kegiatan ini bukan sekadar pemasangan plang larangan aktivitas, tetapi merupakan simbol dari komitmen bersama antara pemerintah nagari, lembaga adat, dan aparat penegak hukum untuk melindungi kawasan konservasi demi keberlangsungan ekosistem dan keseimbangan alam.
Wali Nagari Singgalang, Seri Mesra, Menekankan Kebijakan Kolektif untuk Menjaga Ketertiban dan Keamanan Masyarakat di Sekitar Kawasan
Wali Nagari Singgalang, Seri Mesra, dalam pernyataannya menekankan bahwa kebijakan ini adalah langkah kolektif untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat di sekitar kawasan. Meski menyadari adanya potensi pro dan kontra, ia menyampaikan optimisme bahwa kebijakan ini akan membawa manfaat jangka panjang bagi masyarakat dan lingkungan. Ungkapan tersebut mencerminkan keberanian untuk mengambil keputusan yang tidak selalu populer, namun penting demi kebaikan bersama.
Penertiban ini didukung oleh elemen penting nagari seperti Badan Permusyawaratan Rakyat Nagari (BPRN) dan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Kolaborasi ini menunjukkan sinergi antara hukum negara dan hukum adat, yang secara historis menjadi fondasi kehidupan masyarakat Minangkabau. Keikutsertaan unsur Forkopimda, tokoh adat, dan masyarakat juga menegaskan bahwa pendekatan yang digunakan bersifat inklusif dan partisipatif.
Namun, penertiban ini tidak dapat dipandang hanya dari sisi konservasi semata. Seri Mesra juga menyoroti aspek sosial-ekonomi yang tak kalah penting. Banyak warga Nagari Singgalang yang bergantung pada aktivitas ekonomi di kawasan tersebut—seperti usaha pemandian, rumah makan, dan jasa wisata. Ketika akses terhadap kawasan konservasi dibatasi, maka dampak langsungnya adalah pada penghidupan masyarakat setempat.
Dalam hal ini, seruan Wali Nagari kepada pemerintah daerah dan provinsi untuk memberikan perhatian nyata sangat relevan. Kebijakan konservasi yang baik adalah kebijakan yang mampu menjaga kelestarian alam sekaligus memberikan jalan keluar bagi masyarakat terdampak. Pendekatan ini selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan: keseimbangan antara pelestarian lingkungan, keberlanjutan ekonomi, dan keadilan sosial.
Langkah BKSDA dan pemerintah nagari ini dapat menjadi model pengelolaan kawasan konservasi yang berbasis pada kesepahaman dan kolaborasi. Tetapi, keberhasilan jangka panjang akan sangat bergantung pada tindak lanjut dari semua pihak—terutama dalam hal pemberdayaan ekonomi alternatif bagi masyarakat. Solusi seperti pengembangan ekowisata berbasis masyarakat, pelatihan keterampilan, serta bantuan peralihan usaha bisa menjadi bagian dari strategi yang berpihak pada rakyat tanpa mengorbankan fungsi ekologis kawasan.
Penertiban TWA Mega Mendung
Penertiban TWA Mega Mendung adalah momentum reflektif: bahwa pelestarian alam tidak bisa dipisahkan dari perlindungan terhadap kehidupan masyarakat. Jika dikelola dengan bijak, kawasan konservasi bukanlah penghalang kesejahteraan, melainkan pintu menuju masa depan yang lebih harmonis antara manusia dan alam. (Yus MM)*
0 Komentar