Vonis Tom Lembong: Ketika Pengadilan Mengadili Lebih dari Sekadar Tersangka
JAKARTA, kiprahkita.com –Putusan pengadilan terhadap mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, yang divonis empat tahun enam bulan penjara serta denda Rp750 juta subsider enam bulan kurungan, kini menjelma menjadi bola panas di ruang publik. Bukan hanya karena nilai kerugian negara yang fantastis, mencapai Rp578 miliar, tetapi juga karena alasan filosofis dalam putusan yang menyebut Lembong mengutamakan "kepentingan ekonomi kapitalis" di atas sistem ekonomi demokrasi.
Pernyataan itu mengguncang: apakah pengadilan kini mengadili tindak pidana atau ideologi?
Di balik putusan tersebut berdirilah tiga sosok penting: Dennie Arsan Fatrika sebagai ketua majelis hakim, didampingi oleh Purwanto S Abdullah dan Alfis Setyawan. Ketiganya bukan nama asing dalam peta hukum nasional. Mereka memiliki rekam jejak panjang, pernah menangani perkara besar, dan menduduki posisi strategis di berbagai pengadilan negeri. Namun kini, mereka tak hanya membacakan vonis, tetapi juga disorot karena arah dan makna dari keputusan yang mereka tempuh.
Majelis Hakim dalam Sorotan
Ketua majelis, Dennie Arsan Fatrika, menyandang gelar Magister Hukum dengan pangkat Pembina Utama Muda (IV/c). Kariernya menanjak dari PN Bandung, Baturaja, hingga Karawang. Hakim anggota Purwanto S Abdullah pernah bertugas di Sulawesi Selatan, termasuk di PN Palopo dan PN Sungguminasa, sebelum akhirnya mengabdi di PN Jakarta Pusat. Sementara Alfis Setyawan menggantikan Ali Muhtarom, hakim yang dicopot karena kasus suap—sebuah fakta ironis yang menyisakan pertanyaan tentang kebersihan sistem peradilan itu sendiri.
Nama-nama ini menjadi penting karena publik menaruh ekspektasi besar pada integritas dan profesionalisme majelis hakim, apalagi ketika mereka menangani kasus yang menyentuh langsung simpul ekonomi dan politik negara.
Putusan yang Menyimpan Tanda Tanya
Di dalam amar putusan, disebutkan bahwa Tom Lembong melakukan korupsi dalam mekanisme impor gula. Tapi yang membuat publik terbelalak bukan sekadar angka kerugian atau lamanya vonis, melainkan argumentasi ideologis yang digunakan majelis. Disebutkan bahwa Lembong bersalah karena “mengutamakan ekonomi kapitalis” daripada “ekonomi demokrasi”.
Ini adalah preseden berbahaya jika tidak dijelaskan secara jernih. Sebab, hukum pidana seharusnya berdiri atas tindakan konkret, bukan penilaian terhadap pandangan ekonomi seseorang, terlebih dalam konteks kebijakan publik yang biasanya dilandasi banyak pertimbangan.
Apakah kini preferensi ideologis bisa menjadi dasar menjatuhkan hukuman pidana?
Apakah seorang pejabat yang mendorong liberalisasi perdagangan otomatis dianggap melawan konstitusi, meskipun itu bagian dari kebijakan pemerintah saat itu?
Di sinilah kontroversi lahir. Warganet menyuarakan kekhawatiran bahwa pengadilan telah memasuki ranah tafsir ideologi yang tidak sepenuhnya objektif. Bahkan ada yang menyebut vonis ini berbau “politik balas dendam”—terutama mengingat Lembong dikenal sebagai figur yang vokal terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah pasca ia tidak lagi menjabat.
Respons Publik: Kritik, Satir, dan Kecurigaan
Tak butuh waktu lama, kritik pun mengalir deras di media sosial. Tokoh-tokoh seperti Andi Arief dan Denny Siregar menyindir bahwa kalau Lembong dihukum karena ekonomi kapitalis, maka apakah sistem komunis kini sedang coba diterapkan? Pertanyaan-pertanyaan satir semacam ini menunjukkan ada kekhawatiran mendalam tentang arah peradilan kita.
Di sisi lain, argumen pembela Lembong juga menyebut bahwa ia tidak menikmati hasil korupsi, bersikap kooperatif, dan bahkan menitipkan dana saat proses penyidikan. Ini adalah fakta-fakta yang biasanya cukup kuat untuk meringankan hukuman secara signifikan. Namun tetap saja, vonis dijatuhkan dengan narasi ideologis yang menambah beban simbolik.
Di Antara Hukum, Moralitas, dan Politik
Pengadilan seharusnya menjadi tempat netral, tempat di mana seseorang diadili bukan karena keyakinannya, tetapi karena tindakannya yang melanggar hukum. Dalam kasus ini, vonis terhadap Tom Lembong membuka ruang tafsir yang lebih luas dan justru membahayakan prinsip due process of law.
Apakah putusan ini berdiri atas bukti atau interpretasi ideologi? Apakah hakim bebas menilai motif ekonomi seseorang tanpa membuktikan unsur pidana secara objektif?
Di sinilah wajah peradilan kita diuji.
Kesimpulan:
Kasus Tom Lembong bukan hanya soal korupsi impor gula. Ia telah menjadi simbol dari bagaimana hukum, politik, dan tafsir ideologi bisa saling bersilangan. Para hakim—khususnya Dennie Arsan Fatrika, Purwanto S Abdullah, dan Alfis Setyawan—kini tak hanya memikul tanggung jawab putusan hukum, tetapi juga beban moral dan publik atas integritas sistem peradilan yang terus digugat keadilannya. (Repelita)
0 Komentar