Bibit Peradaban Dimulai dari Rumah

Dr. Suhardin, S.Ag., M.Pd. (Dosen UIC Jakarta)

JAKARTA, kiprahkita.com Allah SWT memerintahkan kepada setiap orang yang beriman untuk waspada agar tidak meninggalkan generasi yang lemah setelah mereka. Dalam ciptaan-Nya, Allah membekali setiap makhluk dengan potensi untuk tumbuh dan berkembang. Hewan dan tumbuhan senantiasa mengalami pertumbuhan fisik, sementara manusia—selain tumbuh secara fisik—juga mengalami perkembangan psikologis, meliputi peningkatan kecerdasan, kemampuan, keahlian, dan kepakaran.

Dr. Suhardin, S.Ag., M.Pd. (Dosen UIC Jakarta)


Pertumbuhan fisik manusia dipengaruhi oleh asupan nutrisi dan serat yang dikonsumsi. Para ahli gizi menyebutkan bahwa karbohidrat memiliki peran penting dalam memberikan energi dan memperkuat tubuh, terutama dalam pembentukan massa tubuh ke arah menyamping. Kekurangan karbohidrat dapat menyebabkan tubuh lemas dan kesulitan berkonsentrasi, sedangkan kelebihan dapat memicu obesitas. 

Protein berfungsi membangun dan memperbaiki jaringan tubuh serta menjadi komponen utama otot, tulang, kulit, dan kuku. Selain itu, tubuh juga membutuhkan lemak, vitamin, mineral, air, dan serat untuk mendukung pertumbuhan fisik secara optimal.

Namun, perkembangan tidak hanya bergantung pada nutrisi. Ia harus ditopang oleh pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang terprogram dan berkesinambungan. Hal ini berlaku tidak hanya bagi manusia, tetapi juga dalam sistem pertumbuhan hewan dan tumbuhan. Semua makhluk ciptaan Allah memiliki kecenderungan dan harapan agar generasi berikutnya menjadi lebih baik dan lebih kuat dari generasi sebelumnya.

Keluarga sebagai unit sosial terkecil memiliki keinginan kuat untuk melahirkan keturunan yang tangguh secara fisik, ekonomi, dan spiritual. Karena itu, Allah SWT mengingatkan dalam firman-Nya agar manusia bertakwa dan tidak meninggalkan generasi yang lemah. Ketakwaan menjadi pondasi utama dalam membentuk kepribadian yang senantiasa menjaga tauhid, membiasakan diri dalam kebaikan, memiliki kepedulian terhadap sesama (altruisme), dan cepat menyadari serta bertobat ketika melakukan kesalahan—karena menyadari bahwa setiap tindakan selalu dalam pengawasan Allah SWT.

Kepribadian yang bertakwa inilah yang harus ditransformasikan kepada anak-anak sejak dini, agar nilai-nilai luhur tersebut menjadi budaya keluarga. Jika dibiasakan, nilai-nilai tersebut akan membentuk jati diri anak dan citra positif keluarga dalam kehidupan sosial. Transformasi nilai ini hanya dapat terjadi melalui komunikasi interpersonal yang sehat dan efektif dalam lingkungan keluarga.

Ayah dan ibu sebagai pemimpin dalam rumah tangga harus menjadi sosok yang kredibel dan menjadi pusat keteladanan dalam keluarga. Hubungan antar saudara yang dilandasi kasih sayang dan saling menghormati akan memperkuat peran orang tua dalam membentuk karakter anak. Keluarga inti kemudian berkolaborasi dengan keluarga inti lainnya dalam lingkup keluarga besar, sehingga terbentuk jaringan kekerabatan yang saling mendukung dan menguatkan ketahanan masing-masing keluarga. Kolaborasi ini kemudian meluas ke tingkat marga, suku, hingga bangsa.

Namun, realita hari ini menunjukkan tantangan besar dalam ketahanan keluarga. Berdasarkan penelitian Australia Indonesia Partnership for Justice (2018), sebanyak 95% kasus perceraian di Indonesia melibatkan anak di bawah usia 18 tahun. Data tahun 2018 juga mencatat bahwa 2,67% anak usia dini tidak tinggal bersama kedua orang tua kandung; 7,04% tinggal hanya dengan ibu, dan 1,27% tinggal hanya dengan ayah. Sementara itu, data UNICEF (2021) menyebutkan bahwa 20,9% anak di Indonesia tumbuh tanpa keterlibatan ayah secara aktif, baik karena perceraian, kematian, maupun pekerjaan ayah yang jauh dari rumah.

Permasalahan dalam keluarga seringkali berdampak langsung pada anak. Tidak sedikit anak yang kemudian diasuh oleh neneknya, meskipun sang nenek memiliki keterbatasan dalam hal pola asuh, karena menggunakan pendekatan yang sesuai pada zamannya namun tidak lagi relevan dengan zaman anak saat ini. Ada pula anak yang dititipkan kepada saudara yang tengah mengasuh anaknya sendiri, tentu saja layanan pengasuhan akan berbeda antara anak kandung dan anak titipan.

Dalam beberapa kasus, anak dititipkan di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA). Jika lembaga ini dikelola dengan baik, transparan, dan akuntabel, maka anak akan mendapat pengasuhan yang layak. Namun, jika tidak, maka anak rentan mengalami persekusi, perundungan, bahkan dapat tumbuh menjadi pribadi yang lemah secara mental dan emosional.

Oleh karena itu, lembaga keluarga memiliki peran yang sangat strategis dalam mempersiapkan generasi yang kuat sebagai fondasi peradaban suatu bangsa. Ketahanan keluarga harus dibangun, dijaga, dan diawasi secara serius, dimulai sejak awal pernikahan, masa pembentukan keluarga inti, proses mendidik dan membimbing anak, hingga mengantarkan anak membangun keluarganya sendiri. Jalinan persaudaraan dalam keluarga besar juga perlu diperkuat agar semangat ta’awun (saling tolong-menolong) dapat tumbuh subur, bukan justru saling bersaing dalam kemewahan, atau saling berebut harta warisan.

Peradaban Besar Selalu Berawal dari Rumah yang Kuat

Dalam lintasan sejarah, setiap peradaban besar selalu berakar dari unit terkecil yang paling fundamental—keluarga. Rumah adalah sekolah pertama, madrasah utama, tempat nilai-nilai ditanamkan, dan karakter ditempa. Dr. Suhardin dalam tulisannya menekankan pentingnya membangun generasi tangguh dimulai dari ketahanan keluarga, agar kita tidak meninggalkan generasi lemah—baik fisik, mental, ekonomi, maupun spiritual.

Pertumbuhan dan Perkembangan: Bukan Sekadar Fisik

Setiap makhluk ciptaan Allah mengalami proses tumbuh dan berkembang. Namun, berbeda dengan hewan atau tumbuhan yang hanya bergantung pada alam, manusia membutuhkan sentuhan pendidikan, pengajaran, dan pelatihan agar mampu tumbuh secara menyeluruh—fisik, psikis, mental, bahkan spiritual.

Ahli gizi menyebutkan bahwa pertumbuhan fisik dipengaruhi oleh asupan nutrisi seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan lainnya. Tetapi perkembangan jiwa dan intelektual anak tidak cukup hanya dengan makanan. Ia membutuhkan “nutrisi batin”—kasih sayang, bimbingan, ilmu, nilai, dan teladan yang datang dari rumah.

Keluarga: Pilar Pertama Ketahanan Bangsa

Allah SWT secara tegas memperingatkan kaum beriman agar takut meninggalkan generasi yang lemah. Ini bukan sekadar peringatan, tapi juga perintah untuk bertaqwa dan berkomunikasi dengan benar—menggunakan narasi, isi, dan logika yang faktual serta rasional.

Ketakwaan dalam konteks keluarga berarti menciptakan atmosfer rumah yang penuh nilai ketauhidan, kejujuran, kepedulian, serta kesadaran akan tanggung jawab ilahiyah dalam mendidik generasi penerus. Ini menjadi bekal anak untuk membangun karakter, yang nantinya menjadi identitas pribadi dan citra keluarga di masyarakat.

Di sinilah pentingnya peran ayah dan ibu sebagai pemimpin kredibel dalam keluarga. Mereka bukan hanya pemberi nafkah atau pengatur rumah tangga, tapi juga agen utama transformasi nilai. Mereka adalah “guru besar” yang pertama kali diperkenalkan anak kepada dunia.

Tantangan Nyata di Depan Mata

Sayangnya, kondisi hari ini menunjukkan bahwa banyak keluarga tengah mengalami krisis. Data dari berbagai lembaga, seperti Australia Indonesia Partnership for Justice dan UNICEF, menunjukkan angka perceraian yang tinggi, keterlibatan orang tua—khususnya ayah—yang rendah, serta banyaknya anak yang tidak diasuh oleh orang tua kandung.

Anak-anak yang diasuh nenek dengan pola asuh masa lalu, atau dititipkan pada kerabat yang sedang membesarkan anak sendiri, hingga mereka yang berada di panti asuhan (LKSA) dengan manajemen lemah—semuanya rentan tumbuh sebagai pribadi lemah secara mental maupun sosial. Ini bukan hanya ancaman bagi anak itu sendiri, tetapi juga bagi masa depan bangsa.

Peradaban Dimulai dari Ikatan Keluarga

Peradaban tidak dibangun di gedung-gedung tinggi, atau lewat teknologi canggih semata. Ia lahir dari rumah-rumah yang kokoh nilai dan kuat ikatan. Keluarga yang harmonis, saling tolong-menolong (ta’awun), saling menguatkan, dan tidak terjebak dalam persaingan kemewahan atau warisan harta.

Untuk itu, ketahanan keluarga harus dipupuk sejak dini—dari proses pernikahan, membangun rumah tangga, mendidik anak, hingga mengantarkan mereka ke gerbang rumah tangga baru. Hubungan antar keluarga inti dalam lingkup keluarga besar juga perlu dijaga agar menjadi komunitas pendukung, bukan kompetitor.

Penutup: Merawat Bibit Peradaban

Bibit peradaban bukan hanya soal anak-anak yang cerdas atau sehat. Lebih dari itu, mereka adalah anak-anak yang tumbuh dalam cinta, nilai, dan visi. Dan semua itu dimulai dari rumah. Karena ketika rumah kehilangan fungsinya sebagai benteng nilai, maka satu per satu tiang peradaban akan runtuh—diam-diam namun pasti.

Kini saatnya kembali menata rumah, bukan hanya secara fisik, tapi terutama secara nilai. Menjadi orang tua bukan sekadar status, tapi peran suci dalam membentuk wajah masa depan. Karena sejatinya, membangun keluarga yang kuat adalah membangun peradaban itu sendiri.


Posting Komentar

0 Komentar