“Guru Beban Negara?”: Saatnya Kita Bicara Lebih Jernih

Anggaran Pendidikan dan Narasi “Guru Beban Negara”: Saatnya Kita Bicara Lebih Jernih

JAKARTA, kiprahkita.com Pada tahun 2025, pemerintah Indonesia menetapkan anggaran pendidikan sebesar Rp 724,3 triliun. Jumlah yang sangat besar ini—20% dari total belanja negara—adalah bentuk komitmen konstitusional untuk memajukan pendidikan nasional. Namun, ironisnya, alokasi besar ini kerap dibarengi dengan polemik. Salah satunya, munculnya video editan yang memuat potongan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang menyebut “guru beban negara”.

Video ini sempat viral dan menuai banyak komentar miring. Sejumlah warganet mengecam pernyataan tersebut sebagai bentuk merendahkan profesi guru, padahal faktanya video tersebut telah dipotong konteks dan disunting sedemikian rupa, sehingga memunculkan kesan yang tidak utuh. Tak sedikit pula netizen yang mulai meragukan keaslian pesan yang disampaikan.

Di sinilah pentingnya publik—termasuk kita—untuk lebih jernih dalam memaknai narasi “tantangan keuangan negara”, terutama terkait sektor strategis seperti pendidikan.

Beban atau Investasi? Mengubah Perspektif

Menyebut anggaran pendidikan sebagai “beban” jelas merupakan kerangka pikir yang keliru. Dalam ekonomi negara, belanja pendidikan adalah investasi jangka panjang untuk mencetak generasi produktif. Guru, sebagai ujung tombak pendidikan, bukan sekadar pengguna anggaran, tetapi pencipta nilai dan kemajuan bangsa.

Sri Mulyani sendiri dalam banyak kesempatan telah menekankan bahwa tantangan keuangan negara bukan berarti belanja sektor pendidikan atau gaji guru dianggap sebagai beban, melainkan bahwa pemerintah harus berhati-hati dan efisien dalam menggunakan dana publik agar tepat sasaran.

Salah satu tantangannya, justru bagaimana anggaran yang besar tersebut tidak hanya habis untuk belanja rutin, tetapi juga untuk peningkatan kualitas pendidikan, infrastruktur sekolah, pelatihan guru, serta akses pendidikan di daerah tertinggal.

https://youtu.be/8K5AoPiV1CM?si=V0dbFXK6EwI7x5GO

Dampak Video Misinformasi: Bahaya Polarisasi Opini

Kemunculan video editan yang menyudutkan pernyataan pejabat negara juga menjadi alarm akan bahayanya misinformasi. Jika publik terjebak dalam narasi palsu, diskusi kebijakan akan bergeser dari substansi ke sentimen. Kita akan sibuk memperdebatkan potongan kalimat yang telah dimanipulasi, alih-alih fokus pada bagaimana anggaran pendidikan bisa digunakan secara lebih efektif.

Kritik terhadap kebijakan sangat penting dan merupakan bagian dari demokrasi. Namun, kritik harus berdasar fakta dan konteks yang utuh. Jika tidak, justru yang dirugikan bukan pemerintah saja, melainkan guru, siswa, dan masa depan pendidikan itu sendiri.

Mari Bicara Soal Mutu, Bukan Hanya Angka

Anggaran pendidikan sebesar Rp 724,3 triliun bukan sekadar angka. Di baliknya ada harapan, tantangan, dan tanggung jawab bersama. Kita tak bisa hanya fokus pada besarannya, tapi juga harus mengawal bagaimana dana itu digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, kesejahteraan guru, dan keadilan akses belajar.

Guru bukan beban negara—guru adalah penentu masa depan bangsa. Sudah saatnya kita menggeser narasi dari “beban” menjadi “modal pembangunan manusia”. Dalam dunia yang makin kompetitif dan dinamis, investasi pada pendidikan bukan pilihan, tapi keharusan.

Kementerian Keuangan menyatakan potongan video yang menunjukkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, guru adalah beban negara merupakan berita palsu atau hoaks.


“Video mengenai guru itu beban negara, itu hoaks. Ibu Menteri Keuangan tidak pernah menyatakan hal tersebut,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Deni Surjantoro kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.

Deni menyebut, video tersebut merupakan hasil deepfake dan potongan tidak utuh dari pidato Menkeu dalam Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 7 Agustus lalu. Dia berharap, masyarakat dapat menyikapi dengan lebih bijak informasi yang diterima dari media sosial.

“Marilah kita bijak dalam bermedia sosial,” ujar Deni.

Sebagai informasi, pernyataan Sri Mulyani dalam forum itu tengah membahas pos belanja untuk guru dan dosen.

Berikut pernyataan Sri Mulyani:

“Klaster kedua adalah untuk guru dan dosen. Itu belanjanya dari mulai gaji sampai dengan tunjangan kinerja tadi. Banyak di media sosial saya selalu mengatakan, ‘Oh, menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya nggak besar.’ Ini juga salah satu tantangan bagi keuangan negara. Apakah semuanya harus keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat.”

Sementara itu, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp757,8 triliun untuk pendidikan pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.

Presiden RI Prabowo Subianto dalam Penyampaian Pengantar/Keterangan Pemerintah atas RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2026 beserta Nota Keuangan, Jumat (15/8), menjelaskan, anggaran untuk sektor pendidikan sendiri akan digunakan untuk meningkatkan kualitas guru, memperkuat pendidikan vokasi, serta menyelaraskan kurikulum dengan kebutuhan dunia kerja. (Suara Nasional/BS)*

Posting Komentar

0 Komentar