Pemakzulan Kepala Daerah: Antara Demokrasi dan Penegakan Etika Jabatan
PATI, kiprahkita.com –Pemakzulan kepala daerah merupakan salah satu mekanisme penting dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia yang menjamin akuntabilitas dan integritas pejabat publik. Dalam konteks ini, pernyataan Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin, bahwa kepala daerah dapat dimakzulkan apabila terbukti melanggar sumpah dan janji jabatan, merupakan pengingat bahwa jabatan publik tidak kebal terhadap hukum dan pengawasan.
![]() |
![]() |
Merujuk pada Pasal 78-89 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, proses pemberhentian kepala daerah tidak bisa dilakukan secara sewenang-wenang. Terdapat mekanisme yang ketat melalui penggunaan hak angket oleh DPRD, dengan syarat kehadiran minimal 3/4 anggota dan keputusan yang disetujui oleh paling sedikit 2/3 dari yang hadir. Ini mencerminkan prinsip kehati-hatian dalam sistem demokrasi, agar proses pemakzulan tidak dipolitisasi atau disalahgunakan.
Kasus Bupati Pati, Sudewo, menjadi contoh konkret bagaimana proses ini berjalan. Meskipun dipilih langsung oleh rakyat, seorang kepala daerah tetap memiliki tanggung jawab untuk menjalankan amanat sesuai dengan sumpah jabatan. Tuntutan masyarakat dan keputusan DPRD membentuk Pansus pemakzulan muncul setelah berbagai polemik, mulai dari pengisian jabatan direktur rumah sakit, hingga rencana kenaikan PBB-P2 yang dinilai membebani rakyat.
Meski demikian, Sudewo menyatakan tidak akan mundur dan tetap menghormati proses yang berjalan. Sikap ini penting dalam menunjukkan komitmen terhadap proses demokrasi yang sehat.
Penting untuk dipahami bahwa mekanisme pemakzulan bukan semata bentuk perlawanan politik, tetapi merupakan instrumen pengawasan DPRD terhadap jalannya pemerintahan daerah. Oleh karena itu, baik DPRD maupun kepala daerah harus mematuhi aturan dan menjaga etika pemerintahan demi stabilitas dan kepercayaan masyarakat.
Kenapa Warga Pati Marah: Suara Rakyat di Balik Usulan Pemakzulan
Kemarahan warga Kabupaten Pati bukan muncul tanpa alasan. Gelombang protes besar-besaran yang bahkan sampai menduduki gedung DPRD merupakan bentuk akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap kepemimpinan Bupati Sudewo. Tuntutan pemakzulan bukan sekadar soal perbedaan pendapat, tapi refleksi dari rasa ketidakadilan yang dirasakan warga terhadap kebijakan yang dianggap tidak pro-rakyat.
Salah satu pemicu utama kemarahan warga adalah rencana kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250%. Kenaikan yang sangat drastis ini dinilai tidak sensitif terhadap kondisi ekonomi masyarakat, apalagi banyak warga yang masih berjuang pasca pandemi dan tekanan ekonomi lainnya. Meski akhirnya kebijakan ini dibatalkan, luka sosial dan ketidakpercayaan sudah terlanjur terbentuk.
Selain itu, warga juga mempertanyakan proses pengisian jabatan penting seperti direktur rumah sakit, yang diduga sarat kepentingan dan tidak transparan. Hal ini memperkuat kesan bahwa tata kelola pemerintahan di bawah kepemimpinan Sudewo jauh dari prinsip akuntabilitas dan partisipasi publik.
Ketegangan semakin memuncak ketika suara rakyat seolah-olah tidak didengar. Aksi-aksi protes yang meluas adalah bentuk perlawanan terhadap arogansi kekuasaan, sekaligus cara warga untuk menuntut pemimpin yang berpihak dan mau mendengar aspirasi.
Fakta bahwa DPRD sampai membentuk Pansus untuk pemakzulan menunjukkan bahwa keresahan warga memang memiliki dasar kuat. Dalam sistem demokrasi, pemimpin tidak hanya diminta untuk bekerja, tapi juga untuk berpihak dan bertanggung jawab atas setiap keputusan yang berdampak langsung pada rakyat.
Tribunnews
Dengan semua ini, kemarahan warga Pati bukan sekadar emosi sesaat, melainkan panggilan untuk perubahan. Pemimpin yang lahir dari suara rakyat harus pula bersedia dikoreksi oleh suara rakyat, ketika janji dan sumpah jabatan tidak lagi sejalan dengan tindakan nyata.
Ketika Pemimpin Menentang Rakyatnya: Potret Krisis Kepemimpinan di Pati
Seorang kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dengan harapan mampu menjadi representasi suara, harapan, dan kepentingan masyarakat. Namun, apa jadinya jika pemimpin justru dianggap menentang rakyat yang memilihnya? Inilah yang kini terjadi di Kabupaten Pati, di mana kemarahan warga terhadap Bupati Sudewo kian membara, bukan hanya karena kebijakannya, tetapi juga karena sikapnya yang dianggap menantang dan tidak berpihak pada masyarakat.
Kemarahan warga sebenarnya sudah menyala sejak wacana kenaikan PBB-P2 hingga 250% diumumkan. Kenaikan ini dianggap sangat tidak manusiawi, apalagi di tengah situasi ekonomi yang masih belum stabil. Warga merasa beban hidup semakin berat, dan alih-alih mendapat solusi, mereka malah disodori kebijakan yang menekan.
Namun, yang membuat situasi makin panas bukan hanya kebijakan itu sendiri, melainkan cara Bupati merespons penolakan warga. Alih-alih mengajak dialog terbuka, Bupati Sudewo justru terkesan menutup diri dan bahkan memberikan pernyataan bahwa dirinya tidak akan mundur meskipun didemo besar-besaran. Sikap ini di mata warga dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap aspirasi rakyat — sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan semangat demokrasi.
Masyarakat akhirnya merasa tidak didengar, tidak dihormati, dan bahkan ditantang oleh pemimpin yang seharusnya melayani mereka. Maka tak heran bila gelombang protes berubah menjadi aksi nyata: pendudukan gedung DPRD, desakan pembentukan pansus pemakzulan, hingga tuntutan pemberhentian melalui mekanisme hukum.
Ini bukan sekadar konflik antara pemimpin dan rakyat, tetapi sudah menjadi krisis kepercayaan. Ketika seorang pemimpin dianggap tidak lagi mampu menyatu dengan denyut nadi warganya, maka wajar bila tuntutan perubahan menjadi sangat kuat. Demokrasi memberikan ruang bagi rakyat untuk tidak hanya memilih, tapi juga mengoreksi dan bahkan mengganti pemimpin yang dianggap tidak lagi amanah.
Kini, nasib kepemimpinan Bupati Sudewo berada di ujung tanduk. Proses hak angket tengah berjalan, dan semua mata tertuju pada langkah DPRD Pati serta pemerintah pusat. Namun yang lebih penting dari itu adalah: apakah suara rakyat akan benar-benar didengar, atau lagi-lagi diabaikan? (Suara Rakyat/BS)*
0 Komentar