Terlalu Keras Bunyi Lonceng Kematian Raya 4th, Sebagai Tanda Untuk Segera Kemanusiaan Kita Terpanggil
KPAI Meminta Solusi Yang Lebih Sistemik Tentang Penyelenggaraan Pengasuhan Anak Di dalam Keluarga Rentan_
JAKARTA, kiprahkita.com –Peristiwa yang terjadi pada bocah cilik 3 tahun atas nama Raya yang tubuhnya dimasuki cacing, dan ketika mengakses berbagai layanan program dan kesehatan negara di dinas sosial, dinas kesehatan, dan program masyarakat, namun tidak bisa dilakukan, akibat Raya tidak punya nomor kependudukan. Maka gugurlah semua kewajiban negara. Sehingga Raya pun meninggal.
![]() |
Wakil Ketua KPAI |
Situasi ini, menyebabkan reaksi KDM. Yang kemudian akan memberi sanksi tegas kepada pemerintahan setempat, yang telah menolak Raya dalam mengakses berbagai lapisan program negara, agar bisa mendapatkannya. KDM mempertanyakan kinerja Kepala Desa, Posyandu dan PKK di wilayah tempat tinggal Raya.
KDM di media menjelaskan kondisi Ibunya mengalami gangguan kejiwaan atau ODGJ. Dia (Raya) sering dirawat oleh neneknya, dan bapaknya mengalami penyakit paru-paru TBC pula.
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau DP3A Kabupaten Sukabumi mengabarkan penanganan keluarga saat ini. Bahwa kedua orang tua Raya dan Risna telah diserahkan ke RSJ Cisarua Bandung. Untuk kakak almarhum Risna telah di pindahkan dari nenek ke bibinya. Saat ini sedang dilakukan penjangkauan awal oleh operator SIGA Kecamatan Kabandungan, dan besok dari DP3A akan membawa konselor untuk pendampingan psikologis keluarga.
Tentu dari keteragan tersebut, kita bisa menyimpulkan secara singkat penyebab utama peristiwa, karena diduga kedua orang tuanya mengalami ODGJ. Meeski hal itu di bantah Kepala Desa setempat. Sehingga kita mendorong DP3A memastikan kondisi sesungguhnya. Begitu juga perhatian kita tidak boleh lengah kepada kakak almarhum Risna 6 tahun. Yang tentu perlu dipastikan kondisi dan kebutuhannya, kelayakan pengasuh dan perawatannya.
Tentu dari peristiwa tersebut, dapat di asessment singkat, bahwa telah terjadi pengabaian dan penelantaran anak, yang berlangsung jangka panjang. Pengabaian dan penelantaran itu juga menjadi persoalan lebih kompleks karena situasi keluarga tersebut. Yang berujung tidak pernah mengurus nomor kependudukan. Meski kita tahu pencatatan kelahiran adalah stetsel aktif negara, yang perlu afirmasi, karena anak tidak bisa melindungi dirinya sendiri.
Artinya sangat kompleks penderitaan keluarga Raya, boleh dikatakan berlapis lapis, tapi tidak ada satupun sistem layanan yang dapat menyentuh keluarga, akibat tidak memiliki nomor kependudukan. Sayangnya kita semua mengetahui itu, ketika sudah menjadi masalah puncak, dengan ditandai meninggalnya Raya, kita semua tanpa sadar abai, yang menandakan situasi kompleks yang dialami keluarganya, ditengah berbagai program layanan sosial dan kesejahteraan pemerintah, yang sebenarnya terbuka bisa diaksees siapa saja. Terutama prioritas negara bagi keluarga yang berada di ujung tanduk, darurat, perlu segera di respon.
Hal ini seolah oleh (tidak adanya nomor kependudukan) jadi penghalang keluarga dapat tersentuh berbagai program kesejahteraan dari negara. Begitu juga karena mengalami ODGJ menjadi keluarga terstigma, dan melupakan didalam keluarga tersebut ada anak, akibatnya tak ada satupun yang mampu membaca akar masalahnya. Sehingga kita perlu menyadari, ada kekosongan kebijakan, ketika anak berada dalam pengasuhan keluarga ODGJ, yang perlu menjadi perhatian pemerintah pusat, pemerintah daerah, para legislator dan pegiat perlindungan anak. Perlu ada upaya bersama mendorong kembali inisiatif bersama tentang RUU Pengasuhan Anak.
Untuk itu KPAI tidak ada bosannya, mendesak RUU Pengasuhan Anak untuk menjadi prioritas segera di syahkan, meski sudah 15 tahun di perjuangkan di meja legislasi. Karena tidak ada kebijakan yang dapat menyentuh anak, yang berada dalam pengasuhan keluarga ODGJ. Yang menjadi berlarut larut pengabaian, pembiaran dan penelantaran.
Sehingga untuk keluarga yang sudah memiliki posisi, yang memiliki kebutuhan khusus dan rentan pembiaran di masyarakat, peran negara benar benar harus di dorong untuk bisa hadir. Ketika tidak ada satupun tempat mau menerima keluarga seperti ini. Apalagi di belakang peristiwa utama tersebut, ada anak, yang terabaikan, sehingga harus meninggal.
Meski dikatakan ada kepedulian, namun tak cukup, sangat telat, karena Raya sudah meninggal. Namun harus ada panggilan untuk kita semua, bahwa anak anak Indonesia seperti Raya butuh kebijakan yang lebih sistemik, afirmasi dan mengakomodir kebutuhan khusus. Kebijakan ini yang harus dipastikan melalui pengesahan RUU Pengasuhan Anak.
Sehingga persoalan nomor kependudukan, tidak menutup situasi anak yang sangat membutuhkan pertolongan. Karena anak tidak bisa melindungi dirinya sendiri, didalam keluarga yang seperti ini. Apalagi ini anak umur 3 tahun. Anak anak umumnya mudah dikuasai baik secara fisik, psikis, pemahaman, emosi, psikologisnya. Anak juga tidak mudah mendeskripsikan kondisi kesehatannya. Sehingga penting kakak almarhum juga segera di ketahui riwayat kesehatan dan pengasuhannya.
Negara harus punya sistem yang dapat memaksa RT RW memiliki perspektif untuk hadir mewakili negara, dengan situasi keluarga yang ODGJ, Paru, TBC. Bahwa di belakangnya ada situasi pengasuhan anak yang sangat rentan bisa meninggal. Kemudian ada situasi di serahkan kepada nenek (yang kondisinya juga, nenek itu sendiri, butuh pengasuhan dan perawatan, yang tentu sangat sangat terbatas).
Agar denting kematian ananda Raya 4 tahun tidak sia sia, berbunyi keras lonceng kematian itu, sebagai tanda kewajiban darurat segera menolong anak anak dan keluarga lainnya. Terutama yang mengalami kondisi sama dengan situasi Raya, karena ini bukan peristiwa pertama kali di Indonesia. Mari sahkan RUU Pengasuhan Anak.
Salam Hormat,
*Jasra Putra*
Wakil Ketua KPAI
CP. 0821 1219 3515
Lonceng Kematian Raya: Saat Negara Gagal Menyentuh yang Paling Rentan
Raya, anak berusia empat tahun, meninggal bukan hanya karena tubuh kecilnya dimasuki cacing, tetapi karena sistem besar yang gagal menyentuh hidupnya. Ia meninggal bukan karena tidak ada program pemerintah, tapi karena tidak bisa mengaksesnya. Tubuhnya rapuh, sistemnya lumpuh. Dan di tengah gempita jargon perlindungan anak dan kesejahteraan sosial, suara terakhir yang terdengar hanyalah isak tangis pengabaian kolektif.
Kematian Raya adalah denting lonceng yang keras, menandai bahwa ada hal yang sangat mendasar yang selama ini luput: negara absen saat paling dibutuhkan. Bukan karena tidak ada regulasi, bukan karena tidak ada institusi, tetapi karena sistem gagal menembus tembok-tembok administratif dan stigma sosial.
Raya tidak memiliki nomor induk kependudukan (NIK). Satu baris angka yang menjadi pembeda antara siapa yang layak dibantu dan siapa yang tidak. Tanpa NIK, Raya dianggap tidak ada. Maka negara tidak wajib membantu. Padahal dia nyata, hidup, sakit, dan akhirnya wafat. Ia dibungkam bukan oleh kekerasan fisik, melainkan oleh mekanisme birokrasi yang beku dan impersonal.
Ketika Sistem Tidak Peka pada Derita Sunyi
Raya lahir di tengah keluarga yang sarat kerentanan: seorang ibu yang diduga ODGJ, ayah dengan TBC, dan nenek yang sudah tua menjadi tumpuan pengasuhan. Ini bukan satu-satunya keluarga dalam kondisi seperti itu. Tapi kenapa tidak ada satu pun program layanan sosial yang berhasil masuk ke dalam kehidupan mereka? Karena sistem hanya berjalan saat syarat formal terpenuhi.
Syarat formal itu: NIK. Padahal, perlindungan anak semestinya tidak boleh tunduk pada administratif semata. Karena anak—terutama yang lahir dalam keluarga ODGJ atau tidak mampu—tidak memiliki daya tawar untuk menyuarakan kebutuhan atau bahkan identitas dirinya. Ia tidak bisa mendaftar. Ia tidak bisa mengurus akta. Ia hanya bisa menunggu—dan dalam kasus Raya, menunggu hingga maut menjemput.
Apakah Kita Sedang Mencatat Kematian atau Kegagalan?
DP3A, KDM, dan lembaga-lembaga lainnya memang mulai bertindak. Tapi semua itu terjadi setelah Raya meninggal. Lalu muncul pertanyaan: apakah kematian anak harus menjadi pintu bagi negara untuk bergerak?
Penelantaran dan pengabaian yang menimpa Raya bukan hanya soal keluarga, tapi juga soal sistem yang tidak mampu menangkap sinyal-sinyal bahaya dari masyarakat bawah. Di mana RT? Di mana RW? Di mana Posyandu? Di mana PKK? Semua lapisan yang mestinya menjadi garda terdepan proteksi, seolah lumpuh melihat keganjilan keluarga seperti ini.
RUU Pengasuhan Anak: Mengisi Kekosongan Hukum dan Nurani
KPAI dengan keras mendesak agar RUU Pengasuhan Anak segera disahkan. Sudah 15 tahun diperjuangkan, namun terus tertahan di meja legislasi. RUU ini bukan sekadar simbol hukum, tapi jawaban atas kekosongan regulasi yang membuat anak-anak seperti Raya terus terjatuh dalam jurang pengabaian struktural.
RUU ini harus menjamin bahwa anak-anak dalam pengasuhan keluarga rentan—seperti ODGJ, disabilitas, atau sakit kronis—diperlakukan sebagai subjek yang dilindungi negara, bukan objek administratif yang dibatasi oleh kertas dan birokrasi. Karena dalam keluarga yang gagal fungsi, negara tidak boleh ikut gagal hadir.
Anak Tidak Punya Kuasa, Maka Negara Harusnya Punya Nurani
Kematian Raya adalah alarm. Kita tidak boleh hanya bersedih. Kita harus marah. Kita harus bergerak. Karena selama sistem menunggu anak-anak punya NIK untuk bisa menyentuh hidup mereka, maka akan ada lebih banyak Raya lain yang diam-diam menuju kematian—tanpa pernah tercatat, tanpa pernah diakui.
Apakah kita menunggu angka kematian lain sebagai syarat perubahan?
Raya meninggal karena kelalaian sistemik. Tapi biarlah kematiannya menjadi titik balik, agar suara anak-anak yang hidup dalam sunyi dan gelap bisa mulai terdengar. Negara harus hadir tidak hanya saat anak sehat dan sempurna secara administratif, tetapi justru saat anak paling tidak berdaya. Dan untuk itu, pengesahan RUU Pengasuhan Anak bukan hanya penting—tetapi mendesak.
Jangan Lagi Ada Anak Meninggal Karena Tidak Diakui
Raya bukan hanya korban. Ia adalah simbol dari sekian banyak anak-anak Indonesia yang tak pernah benar-benar ‘dianggap ada’. Dan jika negara tidak segera membenahi sistem pengasuhan untuk keluarga rentan, maka akan terus terdengar denting lonceng kematian lainnya—satu per satu, pelan tapi pasti.
Kita tidak sedang menulis obituary untuk Raya. Kita sedang menulis memo darurat untuk bangsa. Sahkan RUU Pengasuhan Anak. Segera. (Jasra Putra/Yus MM)
0 Komentar