Kenaikan PBB di Pati: Ketika Pemerintah Daerah Gagal Menangkap Suara Rakyat
KABUPATEN PATI, kiprahkita.com –
Pada awal Agustus 2025, Kabupaten Pati, Jawa Tengah diguncang gelombang demo atas penolakan keras dari masyarakat terkait kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang mencapai angka fantastis—hingga 250 persen.
![]() |
Warga Demo |
Kenaikan fantastik di tengah tekanan ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi dan harga kebutuhan pokok yang terus melambung. Keputusan ini terasa seperti pukulan telak bagi masyarakat.
Kondisi ini memuncak ketika Bupati Pati, Sudewo, menyampaikan permintaan maaf kepada publik. Namun, alih-alih meredam gejolak, pernyataan itu justru dianggap terlalu terlambat dan tidak menyentuh akar persoalan. Janji peninjauan ulang pun tidak cukup untuk memadamkan bara kemarahan warga.
Aksi Massa yang Tak Terbendung
Dari sinilah babak baru perlawanan rakyat dimulai. "Aliansi Masyarakat Pati Bersatu", kelompok yang menjadi motor penggerak perlawanan, memastikan akan tetap menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran pada 13 Agustus 2025. Bahkan, tuntutan yang awalnya hanya berupa pembatalan kebijakan PBB kini merambah ke desakan pencopotan Bupati Sudewo dari jabatannya.
Persiapan demonstrasi pun berlangsung massif. Di sekitar kantor Bupati, logistik bantuan dari warga—air mineral, makanan, hingga hasil bumi—mengalir tanpa henti. Supriyono alias Botok, koordinator aksi, menegaskan bahwa gerakan ini bukanlah produk dari manuver politik, melainkan lahir murni dari jeritan rakyat kecil yang kian terhimpit.
Tantangan yang dulu dilontarkan Bupati Sudewo—yakni menyambut massa 50 ribu orang—kini tampaknya akan dijawab secara nyata oleh warga. Satu hal yang dijaga betul oleh koordinator aksi adalah komitmen untuk damai. Tidak ada ruang untuk anarki, namun suara rakyat akan tetap menggema.
Gubernur Jawa Tengah Turun Tangan
Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, akhirnya turut bersuara dalam kisruh ini. Dalam pernyataannya pada 7 Agustus 2025, ia menegaskan tiga instruksi tegas kepada Bupati Pati: melakukan kajian komprehensif yang melibatkan pihak independen, memastikan kebijakan pajak sesuai dengan kemampuan finansial warga, dan melakukan revisi jika terbukti memberatkan masyarakat.
Instruksi itu menjadi semacam teguran halus namun keras terhadap cara Bupati Sudewo menjalankan roda pemerintahan. Gubernur juga mendorong pembukaan ruang dialog publik sebagai upaya jangka panjang membangun kepercayaan antara pemerintah dan warga.
Poin penting dari pernyataan Gubernur adalah urgensi komunikasi yang transparan. Kenaikan pajak, sejatinya, bisa dilakukan sesuai aturan. Namun ketika pelaksanaannya tidak melibatkan masyarakat dan minim sosialisasi, maka konflik menjadi keniscayaan. Pemerintah yang gagal membangun komunikasi adalah pemerintah yang sedang menggali kuburannya sendiri.
Krisis Kepercayaan yang Makin Dalam
Meningkatnya gelombang protes dan tuntutan penggulingan Bupati menunjukkan satu hal: krisis kepercayaan. Bagi warga Pati, permintaan maaf Sudewo dianggap sebagai upaya meredam kemarahan semata, bukan langkah solutif. Fakta bahwa persiapan aksi tetap berlangsung secara massif adalah bukti bahwa rakyat sudah tidak lagi percaya pada niat baik pemerintah daerah.
Lebih dari sekadar persoalan tarif pajak, perlawanan ini merefleksikan ketegangan struktural yang sudah lama mengendap: warga menilai pemerintah tidak hadir dalam logika keadilan sosial.
Menanti Arah Baru
Kini, bola panas ada di tangan Bupati Sudewo. Ia bisa memilih untuk menindaklanjuti instruksi Gubernur dan membuka dialog terbuka dengan warga, atau tetap berada dalam benteng kekuasaan yang kian rapuh oleh tekanan publik. Satu hal yang pasti: pada 13 Agustus, suara rakyat akan menggema dari jalan-jalan Pati, menuntut bukan hanya pembatalan kebijakan, tetapi juga pembaruan arah kepemimpinan.
Dalam negara demokrasi, kekuasaan bukan milik abadi. Ia dipinjam dari rakyat, dan rakyat pula yang berhak mengambilnya kembali saat mereka dikhianati.
Pernyataan maaf yang disampaikan Bupati Pati, Sudewo, terkait kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen serta janji untuk meninjau ulang keputusan tersebut, ternyata tidak menghentikan rencana aksi demonstrasi besar-besaran dari warga.
Koordinator lapangan dari kelompok "Aliansi Masyarakat Pati Bersatu" menegaskan bahwa unjuk rasa yang dijadwalkan pada 13 Agustus mendatang tetap akan digelar.
Bahkan, selain menuntut pembatalan kenaikan PBB, massa juga akan membawa tuntutan tambahan untuk mencopot Bupati Sudewo dari jabatannya.
Pada Kamis, 7 Agustus 2025, suasana di sekitar gerbang kantor Bupati Pati sudah terlihat ramai dengan persiapan aksi.
Pantauan di lapangan menunjukkan tumpukan logistik bantuan dari warga, mulai dari air mineral, makanan ringan, hingga hasil bumi, memenuhi area depan kantor tersebut.
Supriyono, yang akrab disapa Botok, selaku koordinator lapangan, menyatakan bahwa dukungan logistik dari warga terus mengalir tanpa henti selama 24 jam.
Menurut Supriyono, permintaan maaf dari Bupati Sudewo sama sekali tidak mempengaruhi semangat massa untuk tetap turun ke jalan.
Ia menegaskan bahwa aksi tetap dilaksanakan karena warga menilai Sudewo sudah tidak layak memimpin Kabupaten Pati.
Selain menuntut penurunan PBB, mereka juga ingin Sudewo dilengserkan dari jabatannya.
Supriyono menambahkan, gerakan ini murni lahir dari rasa kecewa dan keberatan atas kebijakan kenaikan PBB-P2 yang dinilai memberatkan masyarakat.
Ia memastikan bahwa tidak ada unsur politik ataupun kepentingan lain di balik aksi ini, selain mendesak agar aturan tersebut dibatalkan sepenuhnya.
Massa yang akan hadir pada unjuk rasa diperkirakan mencapai lebih dari 50 ribu orang, sesuai dengan tantangan yang sebelumnya diucapkan Bupati Sudewo.
Supriyono juga menegaskan bahwa aksi pada 13 Agustus tersebut akan dilakukan secara damai tanpa tindakan anarkis, serta melarang perusakan fasilitas umum atau tindakan merugikan lainnya. (*)
0 Komentar