Mengubah Pola Pikir Miskin: Dari Penerima Bantuan Menjadi Pemberi Bantuan
PADANG PANJANG, kiprahkita.com –Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita menemukan realita yang mencerminkan betapa kuatnya pola pikir kemiskinan tertanam dalam masyarakat kita. Salah satu contohnya terjadi ketika seorang ibu berbincang dengan guru les anaknya. Ketika ditanya apakah ia sudah menambah tabungan emasnya, ia pun menjawab, “Belum. Soalnya ibu saya masih dapat bansos. Takut kalau saya punya tabungan emas banyak, nanti ibu tidak dapat bantuan lagi karena kami satu KK.” Jawaban ini sederhana, namun menyimpan kegelisahan besar tentang cara berpikir yang terlalu terikat pada ketergantungan terhadap bantuan.
![]() |
Penerima Bansos Lansia |
Begitu juga ketika pertanyaan yang sama diajukan kepada seorang buruh cuci. Sudah menambah uang tabungan di bank? “Belum. Soalnya saya masih dapat bansos. Takut kalau saya punya tabungan banyak, nanti tidak dapat bantuan lagi karena ketahuan dari KTP digital.” Jawaban ini sederhana juga, namun menyimpan kegelisahan besar tentang cara berpikir yang terlalu terikat pada ketergantungan terhadap bantuan atau tangan di bawah. Ini pola pikir yang tak sesuai dengan agama Islam. Bahwa tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Member lebih mulia daripada menerima.
Padahal, bukankah jauh lebih membanggakan jika seseorang mampu bertransformasi dari penerima bantuan lima tahun ke depan menjadi pemberi bantuan? Menjadi wirausaha, bekerja keras, menabung, dan mengelola aset seperti emas dan deposito di bank seharusnya menjadi hal yang diupayakan, bukan dihindari. Ketika kita memilih untuk tumbuh, kita membuka jalan untuk berinfaq, bersedekah, berzakat, bahkan berwakaf. Inilah bentuk kontribusi nyata kepada masyarakat, dan itulah yang seharusnya menjadi cita-cita kita bersama—menjadi tangan yang di atas, bukan tangan yang di bawah selalu.
Seorang wartawan senior di HUI Singgalang juga menjabat di BAZNAS Kota Padang Panjang, Jasriman, S.Ag. menyampaikan bahwa penerima zakat pada tahun ini diharapkan mengembangkan usahanya sehingga menjadi pemberi zakat pada tahun depan. Nikita Seprai misalnya, dibantu Baznas modal, diawasi, dan sekarang sudah memberikan zakatnya melalui Baznas kota. Indah bukan?
Ketergantungan pada bansos memang kadang menjadi jalan keluar dalam kondisi darurat apalagi para lansia tanpa anak dan keluarga pengasuh, dan itu tidak salah. Namun, jika ketergantungan tersebut dijadikan gaya hidup semua anggota keluarga termasuk usia produktif, maka kita telah mengubur potensi kebaikan yang lebih besar. Masyarakat yang masih produktif harus mulai membebaskan diri dari mentalitas penerima dan menggeser pola pikir menuju pemberdayaan dan kemandirian. Pendidikan, keberanian mengambil risiko, serta dorongan untuk berubah perlu terus ditanamkan kepada mereka, terutama di kalangan generasi muda.
Sungguh miris menyimak kerdilnya pola pikir yang lebih memilih pasif demi mempertahankan bantuan, daripada aktif membangun masa depan yang lebih baik. Sudah saatnya kita mendorong perubahan paradigma pada masyarakat: dari menerima menjadi memberi, dari bertahan hidup menjadi hidup dengan makna, dari keterbatasan menjadi keberdayaan. Dengan begitu, kita tidak hanya membantu diri sendiri, tetapi juga menjadi bagian dari solusi bagi bangsa ini.
Saatnya Merevolusi Diri
Bayangkan jika pola pikir ketergantungan seperti itu dimiliki oleh sebagian besar keluarga di Indonesia—lebih memilih tetap "terlihat miskin" demi mempertahankan bansos, daripada berusaha keluar dari kemiskinan. Dampaknya bisa sangat serius dan menghambat kemajuan bangsa secara menyeluruh.
Apa yang akan terjadi kalau itu terjadi secara masif?
Pertumbuhan ekonomi akan lambat dan Beban Hutang Negara Semakin Tinggi
Jika mayoritas masyarakat takut berkembang karena khawatir kehilangan bantuan, maka semangat untuk berwirausaha, menabung, dan mengembangkan diri akan mati. Padahal, pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat bergantung pada produktivitas dan kemandirian warganya. Pemerintah pun harus menjamin bahwa menabung tak akan mengubah status layak penerima bansos.
Beban Negara Semakin Berat
Bantuan sosial dirancang untuk membantu yang benar-benar membutuhkan dalam kondisi darurat atau masa sulit. Tapi jika terlalu banyak orang sengaja "memiskinkan diri" agar terus menerima bantuan, maka beban keuangan negara akan terus meningkat, dan ini tidak berkelanjutan dalam jangka panjang.
Potensi Generasi Muda Terhambat
Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga dengan pola pikir seperti ini akan cenderung mewarisi mentalitas yang sama: pasrah, takut gagal, takut sukses, dan tidak percaya pada potensi diri. Mereka akan kehilangan keberanian untuk bermimpi besar dan berusaha lebih. Saatnya para wira usaha turun ke lapangan untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat kita.
Lahir Budaya Malas dan Tidak Inovatif
Negara akan kehilangan banyak talenta dan inovator karena masyarakat terlalu nyaman dalam zona aman yang semu berupa bansos dan tunjangan pengangguran. Ketika warga lebih takut kehilangan bansos daripada kehilangan peluang sukses, maka inovasi akan mandek.
Ketimpangan Sosial Semakin Nyata
Yang bekerja keras dan berkembang bisa jadi ikut terdampak negatif, karena mereka harus ikut menanggung beban subsidi yang seharusnya ditujukan untuk mereka yang benar-benar membutuhkan. Ketidakadilan ini bisa menimbulkan konflik sosial dan kecemburuan.
Lalu apa solusinya?
Pendidikan pola pikir sejak dini, bukan hanya soal akademik, tapi juga mental bertumbuh (growth mindset). Ilmu Peta Konsep Hidupku seperti bacaan berikut!
https://www.kiprahkita.com/2025/07/menulis-peta-konsep-hidupku.html
Bansos harus bersifat jangka pendek, dengan pendampingan agar penerima bisa mandiri.
Dorongan kewirausahaan dan kemandirian ekonomi, terutama di level keluarga.
Apresiasi terhadap orang yang keluar dari kemiskinan, agar menjadi inspirasi, bukan malah dicurigai atau dicibir.
Indonesia tidak kekurangan sumber daya, tapi kadang kekurangan mental untuk maju. Gerakkan masyarakat untuk sejak dini ikut program BPJS Ketenagakerjaan misalnya. Ketika mereka usia lanjut bisa mendapat pensiun untuk modal hidup di hari tua mereka melalui program ini. Musyawarahkan dengan warga penerima bansos akan keuntungan program ini. Jangan main potong saja.
Pemungutan Pajak Tinggi Bukanlah Solusi Ajaib
Pemungutan pajak tinggi lalu dibagikan secara bansos, makan gratis, dan lain sebagainya tentu bukanlah solusi ajaib. Ketika pajak sangat tinggi uang yang dialirkan justru untuk menalangi pajak lagi bagi warga. Solusi ini hanya akan menimbulkan perkalian 0X0. Hasil tetap nol.
Kalau mental kita selalu terpaku pada “asal dapat bantuan”, maka selamanya kita akan jadi negara yang tertinggal, bukan negara yang memberi. Makanya penting banget buat kita, mulai dari keluarga sendiri, komunitas sekitar, bahkan lewat obrolan kecil, untuk mengubah mindset ini. 💪✨(Yus MM)
0 Komentar