Membangun Gedung atau Membangun Kehidupan? Prioritas APBD yang Dipertanyakan
PADANG PANJANG, kiprahkita.com –Ketika anggaran daerah dipertaruhkan, pertanyaan utama bukan lagi hanya soal nominal, melainkan prioritas moral: untuk siapa anggaran itu ditujukan? Di Kota Padang Panjang, pembahasan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) Tahun Anggaran 2026 yang digelar DPRD pada 12 Agustus 2025 lalu mencerminkan kegelisahan ini.
Rapat sempat terpaksa diskors karena tidak ada titik temu antara DPRD dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), utamanya terkait nasib 190 Tenaga Harian Lepas (THL) yang dirumahkan sejak 1 Agustus 2025 lalu.
![]() |
Proses Kembalinya 182 THL |
![]() |
Perjuanagan Sebelum THL Kembali |
Kritik ini bukan sekadar retorika. Berdasarkan hasil konsultasi DPRD dengan Kemenpan RB, tenaga Non-ASN kategori R3 dan R4 yang telah mengikuti seleksi PPPK memang berhak dan wajib diangkat sebagai PPPK Paruh Waktu. Maka ketika Wali Kota menyatakan dalam nota pengantar KUA-PPAS bahwa tidak akan ada pengangkatan kembali tenaga Non-ASN karena alasan keterbatasan anggaran, hal itu dianggap bertentangan secara moral dan administratif.
Lebih parah lagi, Ketua Komisi I DPRD, Hendra Saputra, SH, menyebut bahwa anggaran gaji THL tersebut sudah tersedia hingga Desember 2025. Artinya, dalih “tidak ada anggaran” terkesan mengada-ada. Ini bukan sekadar soal efisiensi, tapi soal keberpihakan. Apakah pemerintah hadir untuk membangun gedung, atau untuk menjaga kehidupan rakyatnya?
Kisruh ini membuka satu realitas penting dalam tata kelola keuangan daerah: pembangunan fisik yang megah tidak bisa menjadi tolak ukur keberhasilan jika di saat yang sama rakyat kehilangan pekerjaan dan kepercayaan. APBD seharusnya menjadi alat untuk mensejahterakan masyarakat, bukan sekadar ajang pencitraan lewat proyek besar.
Padang Panjang sedang berada di persimpangan arah pembangunan: memilih melanjutkan proyek-proyek ambisius, atau membela pekerja kecil yang selama ini menopang pelayanan publik secara senyap. Menangguhkan pembahasan KUA-PPAS hingga ada kejelasan nasib 190 THL adalah langkah bijak yang mencerminkan fungsi pengawasan dan keberpihakan sejati dari wakil rakyat.
Pemerintah perlu sadar, sekuat apa pun fondasi sebuah gedung, tak akan berarti jika dibangun di atas penderitaan rakyatnya sendiri. Pembangunan sejati dimulai dari manusia, bukan dari beton.
“Menjaga Martabat Pekerja Non-ASN: Antara Regulasi dan Kemanusiaan”
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) tenaga Non-ASN di Kota Padang Panjang sejak awal 2025 menyisakan luka sosial yang belum sembuh. Terbaru, 190 tenaga honorer kategori R3 dan R4 kembali dirumahkan oleh Pemerintah Kota per 1 Agustus 2025, menyusul 168 orang yang telah lebih dulu kehilangan pekerjaan pada April lalu. Totalnya, 358 tenaga Non-ASN kehilangan penghasilan dalam satu tahun kalender. Dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, ini bukan hanya angka, melainkan nyawa, harapan, dan martabat yang dipertaruhkan.
Ketua DPRD Padang Panjang, Imbral, S.E., dalam pernyataannya menegaskan bahwa tenaga Non-ASN kategori R3 wajib diangkat menjadi PPPK paruh waktu, sesuai petunjuk dari Kemenpan RB. Sementara untuk kategori R4, DPRD menyarankan agar tetap diusulkan menjadi PPPK paruh waktu, karena menurutnya, "kesempatan ini hanya datang sekali." Sikap ini patut diapresiasi sebagai bentuk kepedulian lembaga legislatif terhadap nasib rakyat, terutama mereka yang telah mengabdi bertahun-tahun tanpa jaminan status dan kesejahteraan.
Namun, di sisi lain, muncul pertanyaan besar: mengapa Pemko memilih merumahkan THL lebih awal, padahal anggaran untuk gaji mereka sudah tersedia hingga Desember 2025? Ini bukan sekadar persoalan administratif, tetapi menyangkut komitmen moral dan tanggung jawab sosial pemerintah daerah. Apakah efisiensi anggaran lebih penting daripada keberlangsungan hidup ratusan keluarga? Ataukah ada kegagalan dalam merencanakan transisi Non-ASN ke sistem PPPK yang seharusnya lebih manusiawi dan berkeadilan?
Ketua Komisi III DPRD, Mahdelmi, menilai bahwa keputusan ini akan memperparah kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Dan benar adanya, ketika pemerintah gagal mempertahankan stabilitas ketenagakerjaan, maka masalah sosial akan muncul bertubi-tubi: pengangguran, daya beli menurun, beban ekonomi meningkat, dan potensi konflik sosial ikut membesar. Kebijakan yang tidak berpihak pada kesejahteraan pekerja justru menciptakan ketimpangan yang bertolak belakang dengan cita-cita pembangunan daerah.
Sementara itu, rapat antara DPRD dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) terkait KUA-PPAS 2026 masih diskors tanpa kejelasan, memperpanjang ketidakpastian arah kebijakan kepegawaian dan fiskal kota. Jika tidak segera diselesaikan, maka kekacauan regulasi ini akan semakin memperumit nasib ratusan eks-Non-ASN yang kini berada di ambang kehampaan.
Lebih dari sekadar angka anggaran, perlu ada pendekatan yang lebih manusiawi dan transparan dalam mengambil kebijakan tenaga kerja. Pemerintah harus mampu menjembatani antara regulasi pusat dan kebutuhan riil daerah, tanpa mengorbankan kelompok rentan. Jika pemerintah daerah terus berlindung di balik dalih aturan tanpa solusi konkret, maka kepercayaan publik akan terus terkikis.
Nasib tenaga Non-ASN bukan hanya soal status kepegawaian, tapi menyangkut hak dasar manusia untuk hidup layak. Kita perlu pemimpin yang tak hanya paham regulasi, tapi juga berani berpihak pada keadilan sosial. Mengangkat kategori R3 menjadi PPPK dan memperjuangkan R4 untuk status paruh waktu bukan hanya pilihan teknis, tapi bentuk penghormatan atas dedikasi mereka selama ini. Jangan sampai pemerintah, dalam menjalankan aturan, melupakan sisi kemanusiaan yang seharusnya menjadi ruh dari setiap kebijakan.
"Harapan Baru Usai Gelombang PHK: Nasib THL Kategori R4 di Padang Panjang Beralih ke PPPK Paruh Waktu"
Awal Agustus 2025, Pemerintah Kota Padang Panjang mengeluarkan kebijakan yang menciptakan kegelisahan luas itu: 190 Tenaga Harian Lepas (THL) dirumahkan, termasuk mereka yang berasal dari kategori R4 seperti diuraikan kronologisnya di atas.
Namun, Alhamdulillah jelang pertengahan Agustus ini, suasana mulai berubah ketika sebagian besar dari mereka, tepatnya 182 THL kategori R4, kembali memperoleh solusi berupa kesempatan bekerja kembali sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu mulai 20 Agustus 2025.
Momentum dan Proses Kembalinya 182 THL
Langkah ini diumumkan oleh Wali Kota Hendri Arnis pada Jumat malam, 15 Agustus 2025, di rumah dinasnya. Ia menyampaikan bahwa keputusan ini mengikuti edaran dari Kemenpan RB tertanggal 8 Agustus 2025 mengenai pengangkatan THL kategori R3 dan R4 sebagai PPPK paruh waktu, selama mereka telah melalui proses seleksi dan melengkapi persyaratan administrasi.
Wali Kota berharap bahwa 182 THL tersebut bisa kembali bekerja efektif mulai 20 Agustus mendatang, dengan syarat pengajuan dan kelengkapan dokumen seperti SK pengangkatan awal dan terakhir, daftar dan slip gaji, serta surat pernyataan dari Kepala OPD terkait, yang harus diserahkan paling lambat 18 Agustus 2025 ini.
Pada titik ini, BKPSDM tetap melayani pengurusan meski saat itu hari libur—sebuah respons cepat atas situasi genting yang dihadapi para THL.
Pandangan DPRD: Apresiasi yang Tak Tertahan
Kepulangan 182 THL ini disambut hangat oleh DPRD Kota Padang Panjang. Ketua DPRD, Imbral, S.E., bahkan menyatakan kebahagiaannya hingga “merinding bulu tangan saya”, menyoroti langkah Wali Kota yang berupaya mengusulkan kembali kategori R3 dan R4 untuk menjadi PPPK Paruh Waktu, sekaligus memperbolehkan R4 kembali bekerja.
Sementara itu, Ketua Komisi I DPRD, Hendra Saputra, SH, menyampaikan terima kasih kepada Wali Kota, Wakil Wali Kota, Forkopimda, media, dan semua pihak yang mendukung perjuangan agar THL dapat kembali bekerja.
Momentum yang Hadir Tepat Waktu
Perubahan kebijakan ini terjadi dalam atmosfer yang penuh ketidakpastian—setelah kebijakan mendadak merumahkan puluhan THL pada minggu awal Agustus, dan konsultasi intensif DPRD dengan Kemenpan RB, serta skorsing pembahasan anggaran (KUA-PPAS) terkait banyaknya PPTH yang dirumahkan tanpa kepastian status kerja.
Dengan keluarnya edaran pusat dan tekanan dari berbagai arah, terbukalah jalan kembali bagi para THL kategori R4.
Penutup: Kemanusiaan dalam Kebijakan Tata Kelola ASN
Keputusan ini bukan sekadar pemulihan status administratif. Ia adalah simbol kemanusiaan dalam kebijakan publik — bahwa di balik angka anggaran dan regulasi, ada se--jumlah keluarga yang hidup dari pekerjaan itu. Penegasan Wali Kota dan apresiasi DPRD menjadi pengingat bahwa kebijakan tidak boleh menjadi alat memberi harapan kosong, melainkan jembatan untuk menjaga martabat pekerja.
Pelajaran yang dapat dipetik adalah bahwa kolaborasi, dialog, dan respons cepat terhadap aspirasi publik bisa membalikkan keputusan yang terasa diskriminatif atau merugikan. Semoga momentum ini menjadi cermin bahwa pembangunan tidak hanya tentang infrastruktur—melainkan tentang keberpihakan sosial dan keadilan bagi mereka yang hadir sebagai tulang punggung pelayanan publik.(Forkopimda PP/BS)*
0 Komentar