Kewajiban Menutup Aurat bagi Muslimah: Tinjauan Qur’ani dan Respons terhadap Pandangan Quraish Shihab
PADANG PANJANG, kiprahkita.com –Menutup aurat merupakan bagian penting dalam ajaran Islam, khususnya bagi perempuan Muslim. Kewajiban ini tidak sekadar bersifat kultural, tetapi memiliki landasan kuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Namun, belakangan muncul berbagai pandangan yang mempersoalkan kewajiban ini, salah satunya datang dari cendekiawan Muslim Indonesia, Prof. Dr. M. Quraish Shihab.
Ia dikenal sebagai mufasir moderat yang menyampaikan bahwa kewajiban berjilbab memiliki dimensi sosial, dan karenanya tidak dapat dipaksakan. Pandangan ini menimbulkan kontroversi, karena dapat dianggap melemahkan ketegasan perintah Allah tentang aurat.
![]() |
Muslimah Berhijab/Berlilit |
Dalil-dalil dari Al-Qur’an
Surah Al-Ahzab Ayat 59
"Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin: 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenal, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Ayat ini menjadi landasan utama kewajiban mengenakan jilbab (pakaian luar yang longgar) bagi Muslimah. Tujuan dari perintah ini adalah untuk melindungi wanita dari gangguan dan memberikan identitas sebagai wanita beriman agar tidak diganggu pria hidung belang atau premanisme.
Surah An-Nur Ayat 31
"Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya..."
Ayat ini lebih rinci dalam mengatur penutupan aurat, memerintahkan Muslimah untuk menutup dada dengan kerudung (khimar dan Lilik) dan tidak menampakkan perhiasan (aurat) kecuali yang memang sulit untuk ditutupi seperti wajah dan telapak tangan karena beraktivitas seperti guru misalnya.
Menjawab Pandangan Quraish Shihab
Prof. Quraish Shihab menyatakan bahwa penggunaan jilbab tidak bisa dipaksakan dan seseorang yang belum berjilbab belum tentu lebih buruk secara moral. Di satu sisi, ini bisa dimaknai sebagai ajakan untuk tidak bersikap menghakimi. Namun, penting untuk digarisbawahi bahwa hal ini tidak mengubah status hukum syar’i jilbab sebagai wajib bagi Muslimah.
Memang benar, dalam Islam tidak ada paksaan dalam memeluk agama (QS. Al-Baqarah: 256), tetapi setelah seseorang memeluk Islam, maka ia terikat oleh syariatnya, termasuk perintah berjilbab. Tidak memaksakan bukan berarti menggugurkan kewajiban. Setiap Muslim memiliki tanggung jawab atas pilihannya, tetapi tanggung jawab itu tidak bisa menghapus konsekuensi dari melanggar perintah Allah.
Perintah menutup aurat bagi Muslimah bersumber langsung dari Al-Qur’an dan merupakan kewajiban yang tidak bisa dinegosiasikan oleh pendapat pribadi, seberapa pun terkenalnya seseorang. Islam memang menjunjung tinggi akal, tetapi tidak membenarkan akal digunakan untuk mengabaikan nash yang jelas. Oleh karena itu, meskipun setiap individu bebas memilih, kewajiban menutup aurat tetap berlaku, dan setiap Muslim akan dimintai pertanggungjawaban atas kepatuhannya kepada Allah.
![]() |
Prof. Quraish Shihab yang Kontrversi |
“Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.”
— QS. Al-Ahzab: 36
Menutup Aurat: Kewajiban Muslimah dan Respons atas Pandangan Quraish Shihab
Dalam kehidupan beragama, umat Islam senantiasa merujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW sebagai sumber hukum tertinggi. Salah satu perintah yang sangat jelas dalam dua sumber tersebut adalah kewajiban menutup aurat bagi perempuan Muslimah, yang mencakup penggunaan jilbab atau kerudung. Namun, seiring berkembangnya zaman dan munculnya pemikiran-pemikiran modern, sebagian tokoh termasuk Prof. Dr. Quraish Shihab menyampaikan pendapat yang dianggap berbeda dari arus utama pemahaman ulama.
Dalam salah satu pernyataannya, Quraish Shihab menyebut bahwa wanita yang berpakaian sopan meski tanpa jilbab belum tentu bersalah, dan wanita berjilbab pun belum tentu salehah. Beliau juga menekankan bahwa dalam Islam tidak ada paksaan, termasuk dalam urusan berjilbab. Pendapat ini sering dikutip oleh sebagian orang, terutama yang sedang mempertimbangkan atau menolak untuk mengenakan jilbab.
Namun, penting untuk diingat bahwa pendapat pribadi—meskipun datang dari tokoh besar—tidak bisa mengalahkan teks Al-Qur’an dan Sunnah yang jelas.
Dalil-dalil tentang Kewajiban Menutup Aurat
1. Surah Al-Ahzab ayat 59
"Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan perempuan-perempuan mukmin: 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenali dan tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat ini merupakan perintah langsung dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh perempuan mukmin. Tujuan dari perintah ini bukan hanya untuk identitas, tetapi juga perlindungan terhadap perempuan.
2. Surah An-Nur ayat 31
"Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya..."
Kata khumurihinna dalam ayat ini adalah bentuk jamak dari khimar, yang berarti kerudung atau kain penutup kepala. Ini menunjukkan bahwa menutup kepala dan dada merupakan perintah yang tegas, bukan sekadar tradisi Arab.
Apa Makna “Tidak Ada Paksaan dalam Agama?"
Ayat “La ikraha fid din” (QS. Al-Baqarah: 256) sering dijadikan dalih untuk menolak kewajiban syariat, termasuk berjilbab. Namun, para ulama sepakat bahwa ayat ini berarti tidak ada paksaan dalam memeluk Islam, bukan dalam pelaksanaan hukum Islam setelah seseorang masuk Islam.
Setiap Muslim yang sadar dan berakal wajib menjalankan perintah Allah. Tidak menjalankan suatu perintah bisa karena kelalaian, kebodohan, atau pembangkangan. Namun, tidak ada yang bisa mengubah bahwa perintah itu tetap wajib.
Respons Terhadap Pandangan Quraish Shihab
Prof. Quraish Shihab memang terkenal dengan pendekatan moderat dan kontekstual terhadap tafsir Al-Qur’an. Namun, dalam hal ini, penting untuk menyadari bahwa tidak semua pendekatan kontekstual bisa dijadikan alasan untuk melonggarkan hukum yang sudah qat’i (tegas).
Beliau memang tidak secara eksplisit mengatakan jilbab tidak wajib, tapi menyampaikan bahwa tidak berjilbab belum tentu berdosa (ini menurut versinya)jika niatnya baik, atau bahwa konteks sosial bisa memengaruhi hukum. Ini bisa menimbulkan kerancuan dan memberi celah pembenaran bagi yang tidak ingin berjilbab. Ingat beliau bukan nabi atau rasul. Beliau hanya manusia biasa yang menganut faham kebebasan dan siap menerima resiko kelak di akhirat dengan tafsirannya.
Padahal, dalam hukum Islam, niat baik tidak bisa menghapus hukum Allah yang jelas. Sama seperti seseorang tidak bisa mengatakan "saya mencuri karena lapar dan tidak ingin menyusahkan orang lain", maka mencuri tetap haram meski niatnya “baik”. Begitu pun membuka aurat. Haram bagi muslimah.
Orang Tua Bertanggung Jawab
Dalam keluarga, orang tua bertanggung jawab mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai Islam, termasuk kewajiban menutup aurat. Jika anak sudah baligh, maka dia memikul dosanya sendiri. Namun, jika orang tua tidak pernah mengingatkan atau malah membiarkan, maka mereka ikut memikul bagian dari dosa tersebut.
Sebagaimana sabda Nabi SAW:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kesimpulan
Menutup aurat bagi perempuan Muslimah adalah perintah yang jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Aurat kita hanya muka dan telapak tangan. Pendapat siapa pun—termasuk dari ulama besar sekalipun—tidak bisa mengubah hukum Allah yang sudah jelas. Perintah ini bukan semata-mata simbol atau budaya kesalehan, tetapi bentuk ketaatan terhadap syariat. Islam memaksa berhijab dalam Al Quran sesuai ayat di atas. Berarti kita tidak boleh mengabaikan perintah Allah. Mengabaikan Allah konsekuensinya dilecehkan manusia di dunia dan azab neraka di akhirat.
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan lain bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.”— QS. Al-Ahzab: 36. (Yus MM)
0 Komentar