Sampah Membawa Barokah: Dari Sungai Ciliwung ke Jalan Kebaikan Ekologis
JAKARTA, kiprahkita.com –Di balik citra kelam yang selama ini melekat pada kata “sampah”—bau busuk, ulat, limbah, dan tumpukan menjulang yang menggambarkan kegagalan kita mengelola kehidupan urban—ada narasi tandingan yang justru mengubah persepsi. Bahwa sampah, jika diolah dengan bijak, bukan hanya tidak berbahaya, tapi justru bisa menjadi sumber keberkahan. Sebuah pelajaran nyata kita dapati dari keberadaan Saringan Sampah TB Simatupang (SSTBS) yang terletak di kawasan Tanjung Barat, Jakarta Selatan.
![]() |
Dr. Suhardin, S. Ag., M. Pd. (Dosen UIC Jakarta) |
Dalam kunjungan Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLH&SDA) Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), terkuak realitas yang menggugah: sampah yang tersaring dari Sungai Ciliwung di SSTBS tidak berbau. Bukan karena dibersihkan secara kimia, melainkan karena proses alami: air sungai telah mencuci mikroba dan residu kotoran dari sampah tersebut. Tetapi, di sinilah letak paradoksnya: air sungai menjadi kotor karena mengambil alih beban kotoran dari sampah yang dibawanya.
Sampah yang tampak bersih itulah cerminan dari sistem ekologis yang terbalik. Sungai, yang seharusnya menjadi urat nadi kehidupan, justru kini berubah menjadi saluran limbah yang memikul beban sampah manusia. Maka bukan hanya air dan ikan yang tercemar, tetapi ekosistem pesisir dan laut ikut membusuk, bahkan membawa polusi yang tak kasat mata seperti mikro dan nano plastik yang meresap ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan air minum. Inilah ancaman laten yang tengah kita hadapi.
![]() |
Menurut Hayu Prabowo dari LPLH&SDA MUI, ada tiga bahaya besar dari sampah sungai:
Pencemaran Biota Air: Sampah secara otomatis mencemari sungai dan berdampak langsung pada organisme yang hidup di dalamnya—ikan, udang, kerang, dan keanekaragaman hayati lainnya rusak karena tercemar plastik, limbah rumah tangga, dan limbah industri.
Polusi Laut Berasal dari Sungai: Kita sering terobsesi membersihkan laut, padahal akar persoalannya ada di hulu. Sungai yang kotor akan terus-menerus menyumbangkan limbah ke laut. Maka membersihkan laut tanpa membersihkan sungai adalah sebuah kesia-siaan ekologis.
Ancaman Mikro dan Nano Plastik: Inilah bentuk baru dari krisis lingkungan. Mikro dan nano plastik sangat sulit dilihat, tetapi mudah masuk ke tubuh manusia, beredar melalui darah, dan memicu berbagai potensi gangguan kesehatan.
Maka dari itu, memandang sampah sebagai urusan sepele adalah kebutaan kolektif yang berisiko mahal.
SSTBS: Ikhtiar Nyata Mengubah Masalah Menjadi Solusi
Namun di tengah keputusasaan terhadap realitas itu, SSTBS hadir sebagai oase perubahan. Bukan sekadar penyaring sampah biasa, SSTBS menjadi gambaran konkret tentang bagaimana negara dan masyarakat bisa berkolaborasi mengelola masalah dengan teknologi dan niat baik.
Pemerintah Daerah Khusus Jakarta membangun sistem penyaringan dengan pontoon baja yang mampu menangkap sekitar 90% sampah sungai. Sampah yang tersaring tidak langsung dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir), tetapi dikelola dengan mesin pencacah primer dan sekunder, hingga menghasilkan dua produk yang luar biasa:
Kompos: Dihasilkan dari limbah organik, digunakan untuk menghidupkan lahan kosong di sekitar SSTBS, bahkan telah menghasilkan singkong renyah sebagai bentuk nyata dari "sampah membawa hasil".
RDF (Refuse Derived Fuel): Bahan bakar alternatif yang bisa menggantikan batubara, terbuat dari limbah plastik dan sampah kering lainnya. RDF ini dimanfaatkan oleh industri untuk energi ramah lingkungan, sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.
Melalui proses ini, sampah sungai tidak lagi dibuang, tetapi diolah menjadi energi dan pangan. Inilah transformasi dari ancaman menjadi berkah. Inilah paradigma baru: waste-to-energy dan waste-to-food.
Fatwa untuk Lingkungan: Peran Agama Memandu Kesadaran Ekologis
Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui Fatwa Nomor 41 Tahun 2014, telah menegaskan bahwa membuang sampah sembarangan adalah haram. Alasannya jelas: menimbulkan kemudaratan terhadap lingkungan hidup. Dalam pandangan Islam, segala bentuk kerusakan terhadap alam adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah khalifah di bumi.
Kini, LPLH&SDA bersama Komisi Fatwa MUI tengah mempersiapkan fatwa lanjutan yang secara khusus melarang:
Pembuangan sampah ke sungai oleh perorangan maupun instansi.
Pembuangan limbah pabrik ke aliran sungai.
Tujuannya bukan semata melarang, tetapi membangun kesadaran moral dan spiritual, bahwa air sungai adalah karunia yang harus dijaga. Bahwa lingkungan adalah bagian dari ibadah. Dan bahwa sampah yang tidak dikelola adalah dosa kolektif kita sebagai masyarakat.
Sampah: Bukan Benda Akhir, Tapi Awal dari Kemanfaatan Baru
Di titik ini kita perlu merombak total cara berpikir kita tentang sampah. Sampah bukanlah “benda akhir” yang tak berguna, melainkan materi yang belum termanfaatkan secara optimal. Ia menyimpan potensi luar biasa jika diolah dengan ilmu, niat baik, dan keberanian untuk bertindak.
Keberkahan sampah bukanlah mitos. Ia nyata terlihat di SSTBS:
Singkong tumbuh dari lahan kompos.
Industri menyala dari bahan RDF.
Udara lebih bersih karena sampah tidak menumpuk di TPA.
Warga tidak lagi diserang bau, nyamuk, dan penyakit.
Sampah menjadi sarana kebermanfaatan, asalkan ada rasa syukur yang diwujudkan dalam bentuk pengelolaan. Karena keberkahan hanya turun kepada mereka yang mampu menjaga amanahnya.
Penutup: Mengelola Sampah, Menyelamatkan Peradaban
Sampah memang masalah besar. Tapi lebih besar dari itu adalah kemalasan kita untuk bertindak. SSTBS membuktikan bahwa solusi itu ada, bahkan membawa berkah, bukan hanya bagi lingkungan, tetapi bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.
Sudah saatnya pendekatan agama, lingkungan, dan teknologi berpadu dalam satu harmoni: mengubah sampah menjadi keberkahan.
![]() |
Karena bumi yang sehat adalah bentuk syukur yang paling nyata.
Karena mengelola sampah adalah tanda iman, ilmu, dan tanggung jawab kita pada generasi berikutnya. (Suhardin/Yus MM)*
0 Komentar