Pendekatan Diplomatik Baru dalam Sengketa Ambalat: Dari SBY ke Prabowo
JAKARTA-MALAYSIA, kiprahkita.com –Sengketa wilayah Ambalat di Laut Sulawesi telah lama menjadi titik panas dalam hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia. Blok ini kaya akan sumber daya alam, khususnya minyak dan gas, sehingga menjadi wilayah strategis yang diklaim oleh kedua negara. Meskipun konflik ini tidak pernah berkembang menjadi konfrontasi bersenjata terbuka, ketegangan kerap muncul dari aktivitas patroli militer maupun pengeboran eksploratif yang dilakukan di wilayah yang tumpang tindih.
![]() |
Pendekatan Kolaboratif Ala Prabowo |
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pendekatan yang diambil adalah tegas namun tetap mengedepankan jalur diplomasi. SBY menyatakan bahwa mempertahankan kedaulatan adalah kewajiban negara, namun penyelesaiannya harus tetap berada dalam koridor perundingan dan negosiasi damai. Ini menegaskan komitmen Indonesia terhadap hukum internasional dan mekanisme penyelesaian sengketa secara damai, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip kedaulatan nasional.
Namun, di era Presiden Prabowo Subianto, pendekatan terhadap Ambalat menunjukkan nuansa yang berbeda. Dalam pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Anwar Ibrahim pada 27 Juni 2025 lalu, kedua pemimpin menyepakati sebuah langkah kolaboratif: pengelolaan bersama wilayah Ambalat melalui skema joint developer. Pendekatan ini menandai pergeseran penting dari strategi klaim sepihak menjadi kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan.
Kebijakan ini tidak berarti Indonesia melepas klaimnya atas Ambalat. Sebaliknya, kerja sama ini tampaknya didorong oleh kesadaran bahwa konflik berkepanjangan tanpa solusi konkret hanya akan merugikan kedua belah pihak, terutama dalam konteks potensi ekonomi kawasan tersebut. Dengan membagi hasil eksploitasi sumber daya secara adil, Indonesia dan Malaysia bisa mendapatkan manfaat tanpa harus terjebak dalam pertentangan berkepanjangan.
PM Anwar Ibrahim menegaskan bahwa pendekatan ini tetap dibarengi dengan prinsip menjaga kedaulatan, khususnya terkait Sabah, wilayah Malaysia yang berdekatan dengan Ambalat. Ia menyatakan tidak ada kompromi dalam mempertahankan wilayah negaranya, namun tetap membuka ruang dialog dan kerja sama sebagai bentuk kedewasaan dalam bernegara.
Di sisi lain, keputusan untuk melakukan pengelolaan bersama juga dapat dilihat sebagai bentuk kematangan diplomatik kedua negara. Daripada mengedepankan retorika nasionalisme yang bisa memperuncing konflik, Indonesia dan Malaysia memilih solusi pragmatis: mengalihkan ketegangan menjadi kerja sama konkret yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan perbatasan.
Tentu, pendekatan ini bukan tanpa tantangan. Sentimen nasionalisme domestik di kedua negara bisa menjadi hambatan jika tidak dikelola dengan baik. Pemerintah perlu melakukan komunikasi publik yang transparan dan jujur untuk menjelaskan bahwa kerja sama ini bukan bentuk pelemahan kedaulatan, melainkan strategi jangka panjang yang cerdas dan berorientasi pada manfaat bersama.
Kesimpulannya, transformasi pendekatan dari era SBY ke era Prabowo dalam menyikapi Ambalat menunjukkan dinamika diplomasi yang adaptif. Dari fokus pada perundingan untuk mempertahankan klaim, kini bergeser ke model kolaborasi strategis. Selama prinsip-prinsip kedaulatan tetap dihormati dan hasilnya membawa manfaat nyata bagi rakyat, langkah ini layak diapresiasi sebagai bentuk kemajuan dalam diplomasi kawasan Asia Tenggara. (Repelita/BS)*
0 Komentar