“Jolly Roger di Tiang Kemerdekaan”: Simbol Perlawanan atau Salah Arah?
INDONESIA, kiprahkita.com –Fenomena pengibaran bendera bajak laut dari serial manga dan anime One Piece, yang dikenal sebagai Jolly Roger, tengah menyita perhatian publik Indonesia. Reaksi keras muncul dari berbagai pihak, termasuk dari Anggota Komisi XIII DPR RI, M Shadiq Pasadigoe, yang menyayangkan tindakan tersebut karena dianggap sebagai bentuk ekspresi politik yang salah alamat. Di balik kontroversi ini, tersembunyi sebuah dinamika sosial dan psikologis yang mencerminkan keresahan generasi muda terhadap negara yang mereka cintai.
![]() |
anime One Piece |
![]() |
Anggota Komisi XIII DPR RI, M Shadiq Pasadigoe |
Simbol Bajak Laut dalam Budaya Populer
Dalam dunia One Piece, Jolly Roger bukan hanya lambang bajak laut, tapi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, penindasan, dan kekuasaan tiranik. Para karakter utama dalam serial ini bukan bajak laut dalam pengertian kriminal konvensional. Mereka digambarkan sebagai sosok-sosok idealis yang menolak tunduk pada sistem yang korup dan memilih jalannya sendiri demi kebebasan dan keadilan.
Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia, memang publik kita diramaikan oleh fenomena pengibaran bendera Jolly Roger atau simbol tengkorak bertopi jerami itu yang populer dalam serial One Piece.
Meskipun tampak sebagai bentuk kreativitas atau ekspresi pop culture, aksi ini justru menuai reaksi dari pemerintah dan DPR, yang menganggapnya sebagai potensi pelanggaran hukum.
Direktur LBH Medan, Irvan Saputra mengatakan pengibaran bendera Jolly Roger bukanlah tindakan makar atau tindak pidana yang bisa dijerat secara hukum pidana.
Simbol ini, bagi banyak anak muda, menjadi representasi dari keberanian, kebebasan berpikir, dan perlawanan terhadap sistem yang dianggap gagal memenuhi janji keadilan sosial. Maka, ketika Jolly Roger dikibarkan di ruang publik, tidak semata-mata sebagai fanatisme terhadap anime, tapi juga sebagai pernyataan sikap: bahwa mereka menolak tunduk pada kenyataan sosial yang timpang.
Ketika Imajinasi Beradu dengan Realitas Politik
Namun persoalannya menjadi kompleks ketika simbol fiksi ini dikibarkan menggantikan Bendera Merah Putih barulah melanggar hukum—lambang resmi kedaulatan bangsa Indonesia. Di sinilah batas antara ekspresi kreatif dan pelanggaran terhadap norma kebangsaan diuji.
Shadiq Pasadigoe dengan tegas mengingatkan bahwa simbol negara bukan benda sembarangan. Merah Putih memuat sejarah panjang perjuangan dan pengorbanan yang nyata, bukan fiktif. Menggantinya dengan bendera fiksi, meskipun sebagai bentuk kritik, dapat mengaburkan makna kemerdekaan dan bahkan dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap nilai kebangsaan.
Kritik Shadiq tidak semata bersifat konservatif, melainkan mengandung pesan strategis: bahwa kritik terhadap negara sah dan bahkan dibutuhkan, tetapi kanal dan simbol yang digunakan tetap harus berpijak pada etika dan konstitusi.
Ekspresi Politik Kaum Muda: Kritis Tapi Bingung Arah
Anak muda hari ini menghadapi kompleksitas yang belum tentu dipahami oleh generasi sebelumnya: krisis iklim, ekonomi tak menentu, ketimpangan sosial yang tajam, dan institusi negara yang sering gagal hadir. Dalam konteks ini, munculnya ekspresi simbolik seperti Jolly Roger bisa dilihat sebagai upaya mencari makna dan identitas dalam dunia yang terasa tidak adil.
Namun, sebagaimana diingatkan oleh Shadiq, energi tersebut perlu dituntun dengan nalar dan tanggung jawab kebangsaan. Tanpa arah yang jelas, ekspresi semacam ini justru bisa melukai apa yang sebenarnya mereka perjuangkan: keadilan, kemerdekaan, dan identitas nasional.
Kritik Tidak Sama dengan Melecehkan
Kita tidak bisa menutup mata bahwa pengibaran Jolly Roger adalah bentuk protes. Namun, protes bukan berarti kebebasan mutlak tanpa batas. Tentu harus ada aturan dan tempat. Mengganti bendera negara bukan hanya tindakan ilegal berdasarkan UU No. 24 Tahun 2009, tetapi juga bentuk pelupaan sejarah. Tentu ini tak bisa dibiarkan harus ada tindakan tegas. Jika kritik dilakukan dengan cara yang justru menghina simbol bangsa, pesan politik itu kehilangan legitimasi moralnya.
Menjembatani Imajinasi dan Kenegaraan
Tugas kita sebagai bangsa adalah menjembatani idealisme kaum muda dengan realitas negara. Bukan dengan represi, tapi dengan dialog yang jujur dan reformasi struktural. Negara perlu mendengarkan mengapa anak muda sampai harus lari ke simbol bajak laut untuk mengekspresikan keresahan mereka. Di sisi lain, anak muda juga perlu disadarkan bahwa cinta Tanah Air bukan berarti tunduk membabi buta, tapi justru berani membela—dengan cara yang elegan dan tidak menodai sejarah.
Bendera Jolly Roger bisa menjadi simbol yang kuat, tapi bukan untuk menggantikan Merah Putih. Ia hanya bisa berfungsi sebagai panggilan kesadaran, bukan sebagai representasi negara. Jika benar semangat yang ingin disuarakan adalah perlawanan terhadap ketidakadilan, maka ekspresinya harus berpijak pada cinta, bukan pada pelupaan. Seperti kata Shadiq, mari kita jaga kemerdekaan ini dengan Merah Putih di dada, bukan Jolly Roger di kepala.
Dari Blusukan ke Bendera Bajak Laut: Ketika Rakyat Kehilangan Pegangan
Dulu, rakyat terpikat oleh kesederhanaan. Sosok Jokowi yang datang dari Solo, tampil kalem, berbaju putih polos, dan blusukan ke gang-gang sempit, dianggap sebagai angin segar di tengah elitisme politik nasional. Ia disanjung sebagai pemimpin “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.” Dua kali rakyat memberinya kepercayaan, berharap pada perubahan nyata.
Namun waktu berjalan, dan pencitraan mulai menipis di hadapan realitas. Di balik senyum sederhana, rakyat mulai merasakan tekanan ekonomi, ketimpangan pendidikan, dan beban hidup yang semakin berat. Banyak yang merasa bahwa janji-janji tentang pemerataan dan keadilan berubah menjadi jargon tanpa isi. Inilah momen di mana rakyat, khususnya generasi muda, mulai kehilangan arah dan menggugat narasi besar yang pernah mereka percayai.
Simbol Fiksi di Tengah Kekosongan Harapan
Di tengah kekosongan harapan itu, muncul simbol alternatif: bendera bajak laut One Piece—Jolly Roger. Sebuah lambang dari dunia fiksi yang justru terasa lebih jujur dalam menggambarkan perlawanan terhadap kekuasaan yang korup dan tatanan yang tidak adil. Bendera ini tak lahir dari kekuatan formal, tapi dari imajinasi kaum muda yang muak melihat kenyataan.
Ketika Jolly Roger dikibarkan, itu bukan sekadar fanatisme terhadap anime. Ia adalah metafora. Sebuah sindiran bahwa negara ini, yang dulu dijanjikan akan diurus “seperti mengelola perusahaan,” justru meninggalkan banyak rakyatnya seperti awak kapal yang karam. Maka, anak muda memilih kapal bajak laut fiktif yang setidaknya jujur pada nilai-nilainya: keadilan, solidaritas, dan keberanian.
Dari Blusukan ke Pelampung Imajinasi
Ironis, bahwa dulu rakyat begitu mudah terpikat oleh simbol: baju putih, gaya sederhana, motor bebek di lorong kumuh. Kini, dalam situasi yang nyaris putus asa, simbol itu digantikan dengan kepala tengkorak dan dua tulang silang—lambang bajak laut. Dari simbol kesederhanaan ke simbol perlawanan. Keduanya lahir dari ruang kosong yang sama: ketidakpercayaan pada elite, dan kehausan akan pemimpin yang benar-benar hadir.
Ini seharusnya jadi pelajaran penting. Bahwa memilih pemimpin bukan soal casing, bukan soal penampilan, bukan soal gaya bicara atau retorika merakyat. Karena retorika bisa dibangun, kesederhanaan bisa dipoles, dan pencitraan bisa dibentuk oleh tim media. Tapi yang tak bisa disulap adalah dampak nyata bagi rakyat: pendidikan yang membaik, ekonomi yang adil, dan rasa keadilan yang benar-benar hidup. Namun semua itu hanya imajinasi.
Simbol Tak Bisa Menggantikan Substansi
Namun, sebagaimana diingatkan oleh M Shadiq Pasadigoe, mengganti Bendera Merah Putih dengan simbol fiktif bukanlah jawaban. Itu seperti mengganti luka dengan ilusi. Hasilnya Zonk. Kritik yang tajam tetap harus berpijak pada tanah tempat kita berdiri: Indonesia. Rasa kecewa pada pemimpin tak boleh membuat kita menolak negara. Karena negara ini bukan milik satu presiden. Negara ini milik rakyat yang setiap harinya masih bekerja, bersekolah, dan berharap.
Penutup: Belajar dari Luka, Menolak Lupa
Jika ada pelajaran yang bisa kita ambil dari era pencitraan dan kekecewaan ini, maka itu adalah: jangan lagi memilih hanya karena bungkusnya menarik. Lihat isinya. Uji rekam jejak. Tanyakan siapa yang akan benar-benar berpihak pada rakyat, bukan siapa yang tampil paling “merakyat.” Jangan sampai bendera bajak laut menjadi satu-satunya pelampiasan harapan, hanya karena Merah Putih kita dikhianati oleh elit yang berpura-pura sederhana.
Karena kelak, yang akan kita wariskan ke generasi berikutnya bukan hanya bendera dan simbol, tapi juga kesadaran dan kecerdasan politik: bahwa demokrasi tak akan pernah sehat jika rakyat mudah tergoda oleh pencitraan, dan lupa menggali substansi. Simbol Perlawanan Tapi Salah Arah ketika Jolly Roger di Tiang Kemerdekaan. Hati-hati. Jangan Tertipu lagi. Mari Merdeka dari pencitraan. Kibarkan Merah Putih dengan Bangga. Sekali Merdeka Tetap Merdeka. (BS/ND/Yus MM)*
0 Komentar