Diklaim Milik Pembantu, Ngapain Empat HP Disimpen di Plafon Rumah Noel?
JAKARTA, kiprahkita.com –Eks Wamenaker Immanuel Ebenezer alias Noel menjalani pemeriksaan oleh KPK di Kuningan, Jakarta Selatan, pada Selasa (2/9/2025) lalu. Ia mengaku keempat handphone yang ditemukan penyidik di plafon rumahnya bukan miliknya, melainkan milik pembantunya. “Itu handphone pembantu saya,” ujarnya santai setelah pemeriksaan.
![]() |
Noel tetap menegaskan, “Bukan, bukan.” |
Saat ditanya lebih lanjut terkait kepemilikan, Noel tetap menegaskan, “Bukan, bukan.”
Faka dari KPK: Enggak Gampang Percaya Klaim Begitu Aja
Juru bicara KPK, Budi Prasetyo, bilang kalau fokus utama penyidik adalah isi dari barang bukti elektronik (BBE) tersebut—ya, HP yang ditemukan di plafon itu lah. Kalau kontennya enggak ada kaitannya dengan kasus pemerasan sertifikasi K3, HP-nya bakal dikembalikan. Tapi kalau sebaliknya, informasi di dalamnya bakal ditelusuri lebih dalam sebagai petunjuk kasus.
Latar Belakang Kasus Noel
Penggeledahan dilakukan di rumah dinas Noel di Pancoran, Jakarta Selatan, pada 26 Agustus 2025. Selain HP, KPK juga menyita mobil Alphard.
Kasusnya: dugaan pemerasan dalam pengurusan sertifikasi K3 di Kemnaker. Biaya yang semula Rp 275 ribu tiba-tiba membengkak jadi Rp 6 juta. Total dana pemerasan mencapai Rp 81 miliar, dengan Rp 69 miliar mengalir ke salah satu tersangka, Irvian. Noel sendiri diduga menerima Rp 3 miliar plus motor Ducati.
KPK telah menetapkan 11 tersangka dalam kasus ini, termasuk Noel sebagai mantan Wamenaker.
Hingga berita ini diturunkan (4 September 2025) kemarin, total 24 kendaraan juga disita, termasuk Mercedes, Land Cruiser, Vespa, dan Ducati.
HP di Plafon, Pembantu, dan Etika Pejabat Publik
Skandal yang menyeret nama mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan itu, Immanuel Ebenezer alias Noel, makin hari makin mengundang perhatian publik. Bukan hanya karena jumlah kerugian negara yang fantastis dalam kasus dugaan pemerasan pengurusan sertifikasi K3 di Kemnaker—yang mencapai Rp 81 miliar—tapi juga karena berbagai respons dan pernyataan yang keluar dari para tersangka. Salah satu yang paling disorot belakangan ini: temuan empat unit handphone yang disimpan di plafon rumah Noel. Ya, plafon—bukan laci, meja, atau lemari. Lebih mencengangkan lagi, Noel mengklaim bahwa empat HP itu... milik pembantunya.
Pernyataan ini tentu mengundang tanda tanya besar. Bagaimana mungkin seorang pembantu menyimpan empat ponsel di tempat tersembunyi seperti plafon rumah majikannya? Apakah logika publik sedang diuji? Atau kita sedang menyaksikan strategi klasik “lempar tanggung jawab” yang terlalu sering muncul dalam skenario korupsi di Indonesia?
Menguji Klaim dan Nalar Sehat Publik
Klaim bahwa HP itu milik pembantu jelas bukan sekadar soal kepemilikan semata, melainkan juga soal akal sehat. Dalam konteks penyidikan, penyidik tentu tidak akan langsung percaya begitu saja. Karena dalam proses hukum, yang penting bukan hanya siapa yang mengakui, tapi apa isi dan jejak digital dari barang bukti tersebut.
KPK sudah menyatakan akan memeriksa konten dari keempat HP tersebut. Jika memang ada indikasi keterlibatan Noel dalam komunikasi terkait aliran dana atau pengaturan proyek, maka keberadaan HP di plafon bisa menjadi bukti yang sangat kuat. Sebaliknya, jika tidak ditemukan keterkaitan, HP bisa saja dikembalikan—tentu setelah diperiksa dengan forensik digital.
Namun bagi masyarakat, pernyataan seperti ini justru menambah luka lama soal rendahnya etika pejabat publik di negeri ini. Kita sudah terlalu sering menyaksikan pejabat yang tidak hanya korup, tapi juga mencoba membodohi publik dengan alibi yang absurd dan tidak masuk akal.
Ketika Etika Dibuang, Logika Pun Akan Dikorbankan
Sebagai pejabat publik, bahkan meskipun sudah tidak menjabat, Noel tetap punya tanggung jawab moral untuk bersikap jujur dan transparan. Mengklaim sesuatu yang secara logika tidak masuk akal justru memperburuk persepsi publik terhadap lembaga pemerintahan. Dalam demokrasi yang sehat, pejabat publik dituntut tidak hanya bebas dari korupsi, tapi juga punya integritas dan kesadaran akan dampak setiap ucapannya.
Sayangnya, dalam banyak kasus korupsi, kita terlalu sering mendengar alasan-alasan yang melecehkan nalar. Dari “lupa membawa laptop” saat sidang, sampai “uangnya dipinjam teman”, dan kini, “handphone-nya milik pembantu”.
Jika narasi seperti ini terus-menerus diberi panggung tanpa konfrontasi yang serius dari publik dan media, maka kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan institusi akan terus terkikis. Bukan tidak mungkin, di masa depan, alasan seperti “itu punya tukang kebun saya” atau “itu hanya properti syuting” akan menjadi bagian dari kamus pembelaan para tersangka korupsi.
Mulai Bangun Etika, Bukan Alibi
Kasus Noel dan HP di plafon ini lebih dari sekadar kasus hukum. Ini adalah cermin dari carut-marutnya etika publik dan bagaimana pejabat mencoba melarikan diri dari tanggung jawab dengan narasi-narasi yang menertawakan akal sehat rakyat.
Sudah saatnya kita membangun budaya politik baru—yang tidak hanya fokus pada pemberantasan korupsi setelah kejadian, tapi juga memperkuat karakter, integritas, dan tanggung jawab moral pejabat publik sebelum mereka diberi amanah kekuasaan.
Karena jika narasi-narasi seperti ini terus berulang, bukan hanya keadilan yang gagal kita tegakkan, tapi juga kewarasan dalam bernegara. (DC/YS)*
0 Komentar