Permintaan Maaf & Komitmen Evaluasi
SENAYAN, JAKARTA, kiprahkita.com –Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, secara terbuka menyampaikan permintaan maaf atas berbagai kekeliruan dan kurangnya kinerja DPR dalam merepresentasikan aspirasi rakyat. Pernyataan ini disampaikannya saat menerima delegasi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) dan Cipayung Plus, di Gedung Kura‑kura, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Rabu, 3 September 2025
![]() |
DPR duduk bersama dengan Mahasiswa |
Evaluasi Tunjangan & Penghentian Tunjangan Perumahan
Dasco menegaskan bahwa DPR akan menjalankan evaluasi menyeluruh terhadap tunjangan anggota. Terkait tunjangan perumahan, ia menyatakan bahwa pemberian tersebut dihentikan sejak 31 Agustus 2025.
Beberapa sumber lain mencantumkan tanggal 30 Agustus 2025 sebagai awal penghentian, namun, tanggal 31 Agustus lebih banyak dikonfirmasi media dan dianggap lebih akurat.
Moratorium Kunjungan Kerja & Efisiensi Perjalanan Dinas
Selain tunjangan, DPR juga memberlakukan moratorium perjalanan dinas ke luar negeri dan menjalankan efisiensi kunjungan kerja dalam negeri.
Reformasi DPR dipimpin Puan Maharani
Dasco menyampaikan bahwa upaya reformasi DPR akan dijalankan langsung di bawah kepemimpinan Ketua DPR, Puan Maharani, untuk menjadikan lembaga legislatif lebih baik dan transparan.
Latar Belakang Kerusuhan & Tunjangan Rumah
Kebijakan tunjangan ini turut memicu demonstrasi besar pada akhir Agustus 2025, di mana masyarakat menuduh para wakil rakyat tidak sensitif terhadap kondisi ekonomi publik—tunjangan rumah senilai Rp 50 juta per bulan dianggap berlebihan.
“Permintaan Maaf yang Tak Sekadar Kata”
Momen 3 September 2025 bukan sekadar upaya meredam demonstrasi—melainkan titik balik kebijakan legislatif yang terforsir oleh kritik tajam publik. Permintaan maaf yang disampaikan Dasco bukan sekadar gestur formal. Ia disertai dengan langkah konkret: penyetopan tunjangan perumahan, moratorium dinas luar negeri, dan efisiensi perjalanan kerja dalam negeri. Ini bukan kompromi parsial, melainkan rekonsiliasi prinsip tanggung jawab publik.
Titisan Tunggakan Moral & Kebijakan
Tunjangan senilai Rp 50 juta/bulan, diberikan hanya selama setahun sejak Oktober 2024 hingga Oktober 2025 sebagai bentuk tunjangan kontrak rumah lima tahun, menarik kritik luas.
Seakan lupa, salah satu bentuk tanggung jawab wakil rakyat adalah empati terhadap kondisi rakyat—khususnya di tengah tekanan ekonomi, biaya hidup meningkat, dan perasaan ketertinggalan yang terus membesar. Saat ketimpangan itu nyata, respons seperti ini menjadi panggilan moral untuk introspeksi.
Reformasi yang Dipimpin Sendi Pimpinan
Menyerahkan kewenangan reformasi langsung kepada Ketua DPR, Puan Maharani, adalah strategi simbolik sekaligus praktikal—menunjukkan bahwa perubahan sejati datang dari struktur atas, bukan sekadar kecambah tambahan. Ini juga mencerminkan dosis transparansi dan akuntabilitas yang dibutuhkan untuk memulihkan kepercayaan publik.
Tapi Apakah Cukup?
Evaluasi dan penghentian kebijakan kontroversial ini adalah langkah awal, bukan akhir. Publik masih menuntut:
Pembentukan mekanisme transparansi anggaran DPR.
Pengawasan independen terhadap tunjangan dan fasilitas anggota.
Dialog mendalam soal reformasi struktural, termasuk RUU Perampasan Aset dan pemberdayaan masyarakat sipil.
Kebijakan bukan hanya soal memotong fasilitas, tapi juga soal bagaimana DPR memosisikan diri kembali sebagai mitra rakyat, bukan entitas elit yang terisolasi.
Rangkuman Inti
Isu Langkah yang Diambil
Permintaan maaf
Disampaikan pada 3 September 2025 dalam audiensi mahasiswa
Evaluasi tunjangan
Tunjangan perumahan dihentikan sejak 31 Agustus 2025
Moratorium & efisiensi
Kunjungan kerja luar negeri dibekukan; perjalanan dalam negeri dihemat
Reformasi DPR
Dipimpin Ketua DPR, Puan Maharani, untuk ciptakan transparansi
Latar demonstrasi
Tunjangan rumah Rp 50 juta/bln ramai dikritik sebagai simbol ketimpangan
Janji DPR
Gelombang protes mahasiswa dan elemen masyarakat yang mengemuka beberapa hari terakhir mulai berbuah respons konkret dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setelah menemui perwakilan mahasiswa di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Rabu (3/9/2025), pimpinan DPR memastikan akan membawa aspirasi yang dikenal sebagai tuntutan 17+8 untuk dibahas bersama seluruh fraksi pada Kamis (4/9/2025).
Janji DPR: Evaluasi Bersama Fraksi
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menegaskan bahwa lembaganya tidak menutup mata terhadap gelombang aspirasi yang datang dari mahasiswa maupun masyarakat sipil.
“Dalam tuntutan 17+8 kita akan lakukan besok rapat evaluasi dengan pimpinan-pimpinan fraksi untuk menyatukan pendapat dan kesepakatan di DPR,” ujar Dasco kepada wartawan usai menerima delegasi mahasiswa.
Langkah ini dinilai penting karena setiap fraksi partai di parlemen memiliki kepentingan dan perspektif berbeda. Dengan mekanisme evaluasi bersama, keputusan DPR diharapkan bisa lebih solid dan representatif, tidak terkesan parsial atau sekadar reaktif terhadap tekanan publik.
Tuntutan yang Sudah Ditindaklanjuti
Dari sederet tuntutan yang diajukan, Dasco mengungkapkan bahwa beberapa poin sudah ditindaklanjuti DPR. Salah satunya, keputusan untuk mencabut tunjangan perumahan anggota dewan senilai Rp 50 juta per bulan.
Kebijakan tunjangan tersebut sebelumnya memicu gelombang kritik keras dari publik yang menilai DPR tidak peka terhadap kondisi rakyat, terlebih di tengah himpitan ekonomi yang masih dirasakan banyak kalangan. Pencabutan fasilitas itu disebut sebagai langkah awal DPR untuk menunjukkan itikad baik dan kepekaan sosial.
“Yang ini sudah selesai, sudah tidak ada lagi. Jadi ini bukti bahwa kita tidak menutup telinga,” jelas Dasco.
Tuntutan Lain Masih Dikaji
Meski begitu, tidak semua aspirasi langsung bisa diputuskan. Salah satu tuntutan yang masih menuai perdebatan adalah permintaan agar seluruh demonstran yang ditangkap kepolisian dibebaskan tanpa syarat.
Dasco menekankan bahwa pihaknya perlu mengkaji terlebih dahulu dasar hukum penangkapan serta pasal-pasal yang dikenakan pada para demonstran.
“Kita akan lihat kasus per kasus. Apabila memang dapat dikomunikasikan, maka kita akan komunikasikan. Tapi kalau ada hal-hal yang jelas melanggar hukum, tentu ada mekanisme lain,” kata Dasco.
Pernyataan ini menandakan DPR berupaya menyeimbangkan antara keberpihakan pada aspirasi rakyat dengan penegakan hukum yang menjadi ranah kepolisian.
Jembatan ke Pemerintah: Mahasiswa ke Istana
Tak berhenti di Senayan, tuntutan mahasiswa juga akan dibawa ke ranah eksekutif. Dasco menyampaikan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan pemerintah untuk membuka ruang dialog lebih luas.
Menurutnya, perwakilan mahasiswa dijadwalkan akan diterima di Istana Negara pada Kamis (4/9/2025), sehari setelah audiensi dengan DPR.
“Tadi saya sudah kontak dengan menteri sekretaris negara. Besok perwakilan mahasiswa akan diterima di Istana. Tetapi saya belum tahu siapa pejabat yang akan menerima, nanti pihak pemerintah yang menghubungi langsung,” ungkap Dasco.
Pertemuan ini diharapkan menjadi tindak lanjut konkret dari suara yang selama ini bergema di jalanan, sekaligus momentum awal rekonsiliasi antara pemerintah, DPR, dan rakyat.
Tuntutan 17+8: Simbol Gerakan
Istilah tuntutan 17+8 menjadi simbol perlawanan baru dari mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil terhadap kebijakan yang dianggap tidak pro-rakyat. Walau belum semua butir tuntutan dirinci secara terbuka, beberapa poin krusial meliputi:
Penghapusan tunjangan fantastis anggota DPR,
Transparansi anggaran negara,
Penegakan hukum yang adil,
Kebebasan berpendapat tanpa represi,
Serta kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada rakyat kecil.
Dengan agenda rapat fraksi di DPR serta audiensi mahasiswa di Istana, publik kini menaruh harapan besar bahwa suara mereka benar-benar akan ditindaklanjuti, bukan sekadar didengar. (BS)*
0 Komentar