JAKARTA, kiprahkita.com –Harga emas mencapai Rp21.040.000 per gramnya. Pergerakan ini tentu sesuai nilai rupiah di negeri kita. Sementara rupiah anjlok. Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa buka suara soal kondisi nilai tukar rupiah yang sempat anjlok hingga ke Rp16.700 per dolar AS itu.
Purbaya meyakini rupiah melemah hanya dalam jangka pendek saja.
![]() |
Dengan bergeraknya perekonomian, ia yakin modal asing bakal masuk ke capital market bahkan ke investasi langsung (FDI). "Jadi asing pasti masuk bukan di capital market saja, bukan di short term, pasti pelan-pelan di FDI. Jadi gini, rahasia modal asing masuk ke sini bukan bunga yang tinggi. Tapi prospek ekonomi seperti apa ke depan," jelasnya.
"Tapi capital market lebih pintar. Begitu mereka melihat kebijakan kita, dia akan lihat, oh ini betul. Dia akan investasi duluan," sambungnya. Lebih lanjut, Purbaya yakin rupiah akan menguat pekan depan.
"Mungkin pertengahan minggu depan juga udah balik (menguat). Ini kan baru konferensi pers sekarang. Baru kebaca koran nanti sore, market udah tutup kan. Senin baru mulai ini, Selasa, Rabu mesti udah balik (menguat)," katanya.
Rupiah dan Optimisme Purbaya — Antara Fundamental Ekonomi dan Kenyataan Pasar
Pelemahan nilai tukar rupiah yang sempat menyentuh angka Rp16.700 dan hari ini Rp16.730 per dolar AS menjadi sorotan tajam di tengah situasi global yang tak menentu. Namun di balik kekhawatiran pelaku pasar dan masyarakat, muncul suara tenang dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Dalam konferensi pers pada 26 September 2025 lalu, Purbaya menyampaikan keyakinannya bahwa pelemahan ini bersifat sementara dan rupiah akan segera kembali ke level fundamentalnya. Keyakinan ini tentu menarik, bahkan menantang, ketika ditempatkan dalam kerangka realitas ekonomi global dan domestik saat ini.
Purbaya tidak berdiri tanpa dasar. Ia menyebut adanya kucuran likuiditas sebesar Rp200 triliun ke perbankan sebagai salah satu pengungkit penguatan rupiah. Logikanya cukup jelas: dengan meningkatnya likuiditas, aktivitas ekonomi terdorong, konsumsi membaik, investasi naik, dan daya tarik ekonomi Indonesia pun menguat di mata investor global. Harapannya, modal asing masuk, baik dalam bentuk investasi portofolio (capital market) maupun investasi langsung (FDI).
Namun di sinilah letak persoalannya. Pasar keuangan tidak bekerja hanya dengan logika kebijakan, tetapi juga dengan persepsi, sentimen, dan kepercayaan. Ketika nilai tukar rupiah melemah, itu bukan hanya karena tekanan dari faktor teknis seperti suku bunga acuan The Fed atau ketegangan geopolitik, tapi juga karena pasar membaca ada ruang ketidakpastian di dalam negeri. Di tengah pelemahan global, investor asing akan memilih "pelabuhan" yang dianggap paling aman dan stabil – dan kadang, bukan Indonesia.
Purbaya benar bahwa tingginya suku bunga bukan satu-satunya magnet bagi modal asing. Justru yang lebih menentukan adalah proyeksi pertumbuhan, stabilitas kebijakan, dan kredibilitas fiskal. Namun pertanyaannya, apakah semua indikator ini sedang berpihak pada Indonesia?
Di satu sisi, program-program besar seperti hilirisasi, transformasi digital, dan penguatan sektor manufaktur memang bisa menjadi argumen untuk menarik FDI. Tapi di sisi lain, jika pasar mencium ketidakkonsistenan dalam pelaksanaan, ketergantungan pada komoditas, atau risiko politik jelang pilkada dan tahun anggaran baru, maka kehati-hatian tetap akan menjadi pilihan utama investor.
Selain itu, asumsi bahwa rupiah akan mulai menguat pada pertengahan pekan depan juga terdengar sangat optimistis, bahkan spekulatif. Pasar mata uang bergerak cepat, dan respons terhadap kebijakan tidak selalu langsung. Ada jeda antara pengumuman, implementasi, hingga realisasi dampak di lapangan. Maka harapan bahwa hanya dengan satu konferensi pers nilai tukar akan berbalik arah, meskipun disampaikan dengan senyum percaya diri, tetap harus diuji oleh kenyataan.
Meski demikian, optimisme Purbaya tetap patut diapresiasi. Di tengah kekhawatiran pasar, dibutuhkan suara pemerintah yang tenang dan memberikan arah. Namun optimisme ini akan lebih kuat jika disertai dengan langkah konkret yang terukur dan transparan. Misalnya, bagaimana tepatnya Rp200 triliun itu disalurkan? Apakah ada mekanisme pengawasan agar dana tidak sekadar mengendap di sistem perbankan? Bagaimana strategi jangka menengah untuk menjaga stabilitas nilai tukar tanpa terlalu mengandalkan intervensi Bank Indonesia?
Fundamental ekonomi Indonesia mungkin kuat, tetapi pasar tidak bergerak berdasarkan potensi saja. Pasar ingin melihat konsistensi, keberanian reformasi struktural, dan kepastian hukum yang mendukung investasi jangka panjang. Jika semua itu mampu dikomunikasikan dan dijalankan dengan baik, maka apa yang dikatakan Purbaya bukan sekadar harapan—melainkan sebuah prediksi berbasis kredibilitas.
Investasi Emas Tetap Pilihan
Investasi emas adalah salah satu instrumen keuangan yang relatif aman, terutama saat nilai tukar rupiah melemah atau inflasi meningkat. Emas berperan sebagai pelindung nilai (hedging) karena cenderung mempertahankan daya beli dalam jangka panjang. Keuntungannya antara lain likuiditas tinggi, mudah diakses secara digital maupun fisik, serta risiko yang relatif rendah dibandingkan instrumen investasi lain seperti saham.
Kini, masyarakat bisa membeli emas mulai dari 0,01 gram melalui berbagai platform digital seperti Tokopedia Emas, Pegadaian Digital, dan Pluang, menjadikannya cocok untuk investor pemula dengan modal terbatas.
Namun, emas bukan tanpa kekurangan. Keuntungan atau imbal hasil dari emas biasanya lebih rendah dibandingkan saham atau reksa dana saham, dan tidak memberikan pendapatan pasif seperti bunga atau dividen. Jika memilih emas fisik, ada tambahan biaya seperti cetak dan penyimpanan, serta risiko keamanan.
Harga emas juga tetap bisa berfluktuasi dalam jangka pendek akibat sentimen global, seperti pergerakan suku bunga The Fed atau gejolak geopolitik, meskipun cenderung stabil dalam jangka panjang. Karena itu, emas lebih cocok sebagai investasi jangka panjang, bukan untuk mencari keuntungan cepat.
Strategi terbaik dalam berinvestasi emas adalah membeli secara berkala (dollar cost averaging), sehingga investor tidak terlalu tergantung pada harga harian. Pembelian sebaiknya dilakukan ketika rupiah menguat atau saat harga emas turun akibat faktor teknikal sementara.
Meskipun emas bisa menjadi andalan dalam portofolio, sebaiknya tidak dijadikan satu-satunya instrumen investasi. Diversifikasi tetap penting agar risiko bisa tersebar. Dengan pendekatan yang tepat, emas bisa menjadi fondasi keuangan yang kuat dan stabil untuk masa depan. (BS/YS)*
0 Komentar