Hikmah Ramadhani: Siswa Kreatif yang Mampu Menulis dengan Bersih Seperti Gurunya

PADANG PANJANG, kiprahkita.com Halo, perkenalkan namaku Hikmah Ramadhani, biasa dipanggil Hani—sebuah nama sayang yang diberikan oleh orangtuaku, yang selalu membuatku merasa dekat dan dicintai setiap kali mendengarnya. Aku lahir di sebuah tempat sederhana namun penuh harapan, tepatnya di Rumah Bidan Net, Padang Panjang, pada tanggal 17 Agustus 2010. Hari yang juga menjadi hari kemerdekaan negeri ini, Indonesia. Mungkin itu sebabnya, aku percaya bahwa aku dilahirkan untuk menjadi cahaya kecil yang membawa harapan bagi keluargaku dan sekitarku.

Maulid Nabi Muhammad SAW

Aku adalah anak dari dua manusia luar biasa yang saling mencintai—Ayah dan Ibu. Ayahku, Zainal, adalah seorang pejuang sejati. Ia bekerja keras sebagai pekerja konstruksi di Malaysia, menahan rindu demi memastikan kami di rumah tetap bisa hidup layak. Meski jarang pulang, cinta dan perjuangannya tak pernah berkurang. Saat kembali ke rumah di Hari Raya, ia tak hanya membawa oleh-oleh, tetapi juga pelukan hangat dan semangat yang baru. Di rumahpun, ia tak pernah lelah membantu di ladang—bercocok tanam, berkebun, dan membimbing kami dengan keteladanan. Bagiku, Ayah adalah pahlawan yang tak butuh panggung—ia hanya butuh kami untuk memahami cintanya.

Ibuku, Asmi Yulza, adalah bidadari tanpa sayap yang selalu hadir dalam keheningan dan kepedulian. Meski hanya seorang ibu rumah tangga, ia memegang banyak peran: anggota KPM di Tanah Datar, dokumentator kegiatan Posyandu, dan tentu saja, penjaga setiap detak kehidupan kami di rumah. Ia mencintai bunga sebagaimana ia mencintai anak-anaknya—penuh perhatian, penuh kelembutan, dan tak pernah lelah merawat.

Pernah sekali aku tak sengaja mematahkan salah satu bunga kesayangannya, dan ia marah. Tapi dari matanya aku tahu, kemarahannya berasal dari cinta. Karena ibu adalah rumah pertama tempat aku belajar tentang kasih sayang, ketegasan, dan ketulusan.

Hani Menulis Esai

Hani sekarang duduk di kelas 9 MTsN Padang Panjang. Bersama guru Bahasa Indonesianya, Yusriana Musriadi Musanif mereka menulis esai. Sudah empat tulisan yang mereka buat. Peta Konsep Hidupku, Cerpen bertema penyesalanku, Esai tahapan alur cerpen, dan Esai sudut pandang penceritaan. Hikmah Ramadhani: Siswa Kreatif yang Mampu Menulis dengan Bersih Seperti Gurunya. Inilah salah satu siswa MTsN, Hani dari 180 siswa Hebat Menulis. Hani Menulis Cerpen dan Esai.

Cerpen Hani: Menyesal Tidak Belajar Sebelum UH, Inilah Sudut Pandang Penceritaannya

Menyesal Tidak Belajar Sebelum UH

Langit sore itu berwarna jingga, seolah sedang melukis peringatan di cakrawala. Angin berhembus pelan, membawa bisikan lembut yang seakan mengingatkanku bahwa waktu tidak pernah bisa kembali. Dalam hati aku berkata, “Belajar memang tak selalu mudah, tapi menyesal jauh lebih menyakitkan.”

Waktu menunjukkan pukul 19.00 WIB. Aku langsung bergegas ke kamarku dan mengambil buku pelajaran. Setelah itu aku duduk di kursi dan meja belajarku, lalu membuka buku tersebut untuk dibaca.

Sepuluh menit kemudian, sebuah notifikasi muncul di layar handphone. Aku segera melihatnya, ternyata ada beberapa chat dari temanku. Tanpa pikir panjang, aku membalasnya. Lalu tanpa kusadari, aku bermain hp dengan mereka cukup lama.

Aku membuka beberapa aplikasi seperti Instagram, YouTube, dan lainnya. Jariku tak berhenti menggulir layar hingga aku lupa harus belajar untuk UH. Tiba-tiba saja aku tertidur di atas meja belajarku karena sudah lelah.

Pada pukul 05.30 WIB, alarm berbunyi nyaring. Aku segera mematikannya lalu bergegas ke kamar mandi. Setelah mandi, aku langsung shalat Subuh. Usai berdoa, aku berkemas dan mengganti pakaian dengan seragam sekolah.

Jam 05.50 aku sudah di dapur untuk sarapan. Selesai makan, aku pamit pada ibuku dan segera berangkat ke sekolah. Biasanya aku berangkat pukul 05.50, tapi hari ini pukul 06.00—aku sudah terlambat.

Aku berjalan cepat agar tidak semakin telat. Namun di tengah perjalanan seekor anjing menghadang. Ketika aku mencoba melewati, anjing itu malah mengejarku. Aku mundur, tak sanggup bertarung dengan binatang itu.

Singkat cerita, aku menunggu orang lewat agar bisa menemaniku. Namun jalan sepi, kakiku terasa kaku seperti hampir patah. Hingga akhirnya seorang tukang ojek melintas. “Ojek, Pak!” teriakku. Ia berhenti, dan aku segera naik.

Dua menit kemudian aku tiba di halte tempat biasanya menunggu angkot. Kebetulan, angkot langgananku sudah ada di sana. Setelah membayar ongkos, aku buru-buru naik.

Perjalanan dari halte ke sekolah memakan waktu tiga puluh menit. Di dalam angkot ada beberapa temanku. Awalnya aku berniat belajar sebentar, tapi obrolan mereka menyeretku hingga lupa membuka buku.

Pukul 07.00 WIB, aku tiba di sekolah. Dari kejauhan kulihat siswa-siswi sudah berbaris rapi. Aku cepat-cepat membayar supir angkot lalu berlari ke arah gerbang.

Napasku terengah, tapi akhirnya aku sampai di barisan kelas. Di sana aku menepuk pundak temanku dari belakang. Ia terkejut lalu berbalik dengan wajah datar. Aku tersenyum nakal, “Hai.” Ia menjawab singkat, dan kami pun mengobrol pelan. Namun seorang guru menegur dengan tegas, “Tidak ada yang berbicara ketika berbaris!” Seketika kami kaku bagai patung.

Setelah 25 menit, barisan dibubarkan. Aku berjalan bersama temanku menuju kelas. Sesampai di dalam, niatku menghafal sejenak pun pupus karena kami malah bercanda bersama teman-teman lainnya.

“Hari ini kita UH, kan?” tanya seorang teman perempuan. Aku menjawab, “Iya, kemarin Bu Guru bilang begitu.” Namun seorang teman laki-laki menimpali dengan senyum misterius, “Eh, katanya hari ini nggak jadi UH.”

Kami semua lega mendengarnya, meski hatiku masih curiga. Namun tak lama kemudian Bu Guru masuk membawa setumpuk soal. Seorang teman bertanya dengan gugup, “Bu, untuk apa soal-soal itu?” Dengan santai beliau menjawab, “Hari ini UH, kan sudah Ibu bilang minggu lalu.”

Kami semua sontak menoleh ke arah teman laki-laki itu. Wajahnya tampak begitu siap, seakan murid teladan. Rasanya aku ingin marah, tapi belum sempat, Bu Guru berkata UH akan dimulai lima menit lagi. Panik, aku segera membuka catatan dan membaca kilat.

Ketika soal dibagikan, kepalaku terasa kosong. Banyak soal yang tak bisa kujawab, akhirnya kuisi asal. Baru sampai soal terakhir, Bu Guru sudah meminta lembar jawaban. Dengan pasrah aku mengumpulkannya.

Jam istirahat tiba. Kertas UH segera dibagikan untuk persiapan remedial esok hari. Jantungku berdegup kencang, seolah ada monster mengejarku. Dengan hati-hati aku mengintip nilainya.

Dan benar, nilainya rendah. Air mataku hampir jatuh. Di sisi lain, teman laki-laki yang menipuku tadi justru mendapat nilai sempurna. Amarah dan kecewa bercampur, tapi kuputuskan diam. Aku hanya berjanji dalam hati tak akan mengulang kelalaian ini lagi.

Hari ini begitu berat, seakan aku memanggul batu di atas punggungku sendiri. Namun aku meneguhkan niat, bahwa aku tak boleh lagi menyepelekan waktu dan ilmu.

Namun siapa sangka, ketika aku duduk termenung menatap kertas merah itu, Bu Guru mendekat. Ia tersenyum tipis dan berkata pelan, “Kegagalan ini bukan akhir, melainkan awal yang harus kamu rawat. Ingat, anak rajin bukan yang tak pernah jatuh, melainkan yang mau bangkit setiap kali terjatuh.” Kata-kata itu menembus hatiku lebih dalam dari angka merah di kertas. Saat itu juga aku sadar, mungkin hari ini aku kalah, tetapi besok aku bisa menang—asal aku sungguh-sungguh mau belajar.

Sudut Pandang Perparagrafnya

Langit sore itu berwarna jingga, seolah sedang melukis peringatan di cakrawala. Angin berhembus pelan, membawa bisikan lembut yang seakan mengingatkanku bahwa waktu tidak pernah bisa kembali. Dalam hati aku berkata, “Belajar memang tak selalu mudah, tapi menyesal jauh lebih menyakitkan.”

*Sudut pandang: orang pertama (“aku”), karena tokoh utama langsung menceritakan perasaan dan pengalamannya.*

Waktu menunjukkan pukul 19.00 WIB. Aku langsung bergegas ke kamarku dan mengambil buku pelajaran. Setelah itu aku duduk di kursi dan meja belajarku, lalu membuka buku tersebut untuk dibaca.

*Sudut pandang: orang pertama (“aku”), pengisahan fokus pada kegiatan tokoh utama.*

Sepuluh menit kemudian, sebuah notifikasi muncul di layar handphone. Aku segera melihatnya, ternyata ada beberapa chat dari temanku. Tanpa pikir panjang, aku membalasnya. Lalu tanpa kusadari, aku bermain hp cukup lama.

*Sudut pandang: orang pertama (“aku”), menceritakan godaan teknologi yang dialami sendiri.*

Aku membuka beberapa aplikasi seperti Instagram, YouTube, dan lainnya. Jariku tak berhenti menggulir layar hingga aku lupa harus belajar untuk UH. Tiba-tiba saja aku tertidur di atas meja belajarku.

*Sudut pandang: orang pertama (“aku”), menegaskan kelalaian tokoh.*

Pada pukul 05.30 WIB, alarm berbunyi nyaring. Aku segera mematikannya lalu bergegas ke kamar mandi. Setelah mandi, aku langsung shalat Subuh. Usai berdoa, aku berkemas dan mengganti pakaian dengan seragam sekolah.

*Sudut pandang: orang pertama, pengisahan tetap melalui tokoh utama.*

Jam 05.50 aku sudah di dapur untuk sarapan. Selesai makan, aku pamit pada ibuku dan segera berangkat ke sekolah. Biasanya aku berangkat pukul 05.50, tapi hari ini pukul 06.00—aku sudah terlambat.

*Sudut pandang: orang pertama, masih fokus pada pengalaman pribadi tokoh utama.*

Aku berjalan cepat agar tidak semakin telat. Namun di tengah perjalanan seekor anjing menghadang. Ketika aku mencoba melewati, anjing itu malah mengejarku. Aku mundur, tak sanggup bertarung dengan binatang itu.

*Sudut pandang: orang pertama, menggambarkan kejadian nyata yang dialami tokoh utama.*

Singkat cerita, aku menunggu orang lewat agar bisa menemaniku. Namun jalan sepi, kakiku terasa kaku seperti hampir patah. Hingga akhirnya seorang tukang ojek melintas. “Ojek, Pak!” teriakku. Ia berhenti, dan aku segera naik.

*Sudut pandang: orang pertama, tokoh utama masih menjadi pusat cerita.*

Dua menit kemudian aku tiba di halte tempat biasanya menunggu angkot. Kebetulan, angkot langgananku sudah ada di sana. Setelah membayar ongkos, aku buru-buru naik.

*Sudut pandang: orang pertama.*

Perjalanan dari halte ke sekolah memakan waktu tiga puluh menit. Di dalam angkot ada beberapa temanku. Awalnya aku berniat belajar sebentar, tapi obrolan mereka menyeretku hingga lupa membuka buku.

*Sudut pandang: orang pertama.*

Pukul 07.00 WIB, aku tiba di sekolah. Dari kejauhan kulihat siswa-siswi sudah berbaris rapi. Aku cepat-cepat membayar supir angkot lalu berlari ke arah gerbang.

*Sudut pandang: orang pertama.*

Napasku terengah, tapi akhirnya aku sampai di barisan kelas. Di sana aku menepuk pundak temanku dari belakang. Ia terkejut lalu berbalik dengan wajah datar. Aku tersenyum nakal, “Hai.” Ia menjawab singkat, dan kami pun mengobrol pelan. Namun seorang guru menegur dengan tegas, “Tidak ada yang berbicara ketika berbaris!” Seketika kami kaku bagai patung.

*Sudut pandang: orang pertama, meski ada dialog, tetap berpusat pada pengalaman tokoh utama.*

Setelah 25 menit, barisan dibubarkan. Aku berjalan bersama temanku menuju kelas. Sesampai di dalam, niatku menghafal sejenak pun pupus karena kami malah bercanda bersama teman-teman lainnya.

*Sudut pandang: orang pertama.*

“Hari ini kita UH, kan?” tanya seorang teman perempuan. Aku menjawab, “Iya, kemarin Bu Guru bilang begitu.” Namun seorang teman laki-laki menimpali dengan senyum misterius, “Eh, katanya hari ini nggak jadi UH.”

*Sudut pandang: orang pertama, disampaikan dari sudut pandang tokoh utama meski ada dialog antar tokoh.*

Kami semua lega mendengarnya, meski hatiku masih curiga. Namun tak lama kemudian Bu Guru masuk membawa setumpuk soal. Seorang teman bertanya dengan gugup, “Bu, untuk apa soal-soal itu?” Dengan santai beliau menjawab, “Hari ini UH, kan sudah Ibu bilang minggu lalu.”

*Sudut pandang: orang pertama.*

Kami semua sontak menoleh ke arah teman laki-laki itu. Wajahnya tampak begitu siap, seakan murid teladan. Rasanya aku ingin marah, tapi belum sempat, Bu Guru berkata UH akan dimulai lima menit lagi. Panik, aku segera membuka catatan dan membaca kilat.

*Sudut pandang: orang pertama.*

Ketika soal dibagikan, kepalaku terasa kosong. Banyak soal yang tak bisa kujawab, akhirnya kuisi asal. Baru sampai soal terakhir, Bu Guru sudah meminta lembar jawaban. Dengan pasrah aku mengumpulkannya.

*Sudut pandang: orang pertama.*

Jam istirahat tiba. Kertas UH segera dibagikan untuk persiapan remedial esok hari. Jantungku berdegup kencang, seolah ada monster mengejarku. Dengan hati-hati aku mengintip nilainya.

*Sudut pandang: orang pertama.*

Dan benar, nilainya rendah. Air mataku hampir jatuh. Di sisi lain, teman laki-laki yang menipuku tadi justru mendapat nilai sempurna. Amarah dan kecewa bercampur, tapi kuputuskan diam. Aku hanya berjanji dalam hati tak akan mengulang kelalaian ini lagi.

*Sudut pandang: orang pertama.*

Hari ini begitu berat, seakan aku memanggul batu di atas punggungku sendiri. Namun aku meneguhkan niat, bahwa aku tak boleh lagi menyepelekan waktu dan ilmu.

*Sudut pandang: orang pertama.*

Namun siapa sangka, ketika aku duduk termenung menatap kertas merah itu, Bu Guru mendekat. Ia tersenyum tipis dan berkata pelan, “Kegagalan ini bukan akhir, melainkan awal yang harus kamu rawat. Ingat, anak rajin bukan yang tak pernah jatuh, melainkan yang mau bangkit setiap kali terjatuh.” Kata-kata itu menembus hatiku lebih dalam dari angka merah di kertas. Saat itu juga aku sadar, mungkin hari ini aku kalah, tetapi besok aku bisa menang—asal aku sungguh-sungguh mau belajar.

*Sudut pandang: orang pertama, pengisahan ditutup dengan kesadaran tokoh utama.*

*Rekapitulasi Sudut Pandang Cerpenku*

1. Paragraf 1 → Orang pertama | Tokoh merenung melihat langit sore dan pentingnya belajar.

2. Paragraf 2 → Orang pertama | Tokoh mulai belajar di kamar.

3. Paragraf 3 → Orang pertama | Tokoh tergoda chat dan bermain hp.

4. Paragraf 4 → Orang pertama | Tokoh lupa belajar lalu tertidur di meja.

5. Paragraf 5 → Orang pertama | Tokoh bangun pagi, mandi, dan shalat Subuh.

6. Paragraf 6 → Orang pertama | Tokoh sarapan dan berangkat terlambat.

7. Paragraf 7 → Orang pertama | Tokoh dihadang serta dikejar anjing.

8. Paragraf 8 → Orang pertama | Tokoh menunggu bantuan lalu naik ojek.

9. Paragraf 9 → Orang pertama | Tokoh tiba di halte dan naik angkot.

10. Paragraf 10 → Orang pertama | Tokoh ngobrol di angkot hingga lupa belajar.

11. Paragraf 11 → Orang pertama | Tokoh tiba di sekolah saat barisan dimulai.

12. Paragraf 12 → Orang pertama | Tokoh ditegur guru saat berbaris.

13. Paragraf 13 → Orang pertama | Tokoh masuk kelas dan bercanda.

14. Paragraf 14 → Orang pertama | Teman bertanya soal UH, ada kabar “tidak jadi”.

15. Paragraf 15 → Orang pertama | Guru masuk membawa soal UH.

16. Paragraf 16 → Orang pertama | Tokoh panik dan membaca kilat.

17. Paragraf 17 → Orang pertama | Tokoh kesulitan menjawab, mengisi asal.

18. Paragraf 18 → Orang pertama | Nilai dibagikan untuk remedial.

19. Paragraf 19 → Orang pertama | Tokoh mendapat nilai rendah; temannya nilai sempurna.

20. Paragraf 20 → Orang pertama | Tokoh meneguhkan niat untuk tidak menyepelekan waktu.

21. Paragraf 21 → Orang pertama | Guru menasihati; tokoh sadar dan ingin bangkit.

*Pengertian Sudut Pandang*

Sudut pandang adalah cara atau posisi pengarang dalam menyampaikan cerita, sehingga pembaca melihat alur, tokoh, dan peristiwa. 

*Sudut Pandang Orang Pertama Tunggal Tokoh Utama* 

Sudut pandang ini menggunakan kata ganti "aku/saya". Tokoh utama sendiri yang bercerita, sehingga pikiran, perasaan, dan pengalamannya tersampaikan langsung kepada pembaca. 

*Jenis-Jenis Sudut Pandang* 

1. Orang pertama pelaku utama –"aku/saya" adalah tokoh utama. 

2. Orang pertama pelaku sampingan –"aku/saya" adalah tokoh sampingan yang menceritakan tokoh lain.

3. Orang ketiga serbatahu –narator "dia/nama" mengetahui semua hal termasuk isi pikiran tokoh. 

4. Orang ketiga terbatas– narator "dia/nama" hanya mengetahui tokoh tertentu. 

*Contoh Sudut Pandang Cerpenku* 

"Aku berjalan cepat agar tidak semakin telat. Namun ditengah perjalanan seekor anjing menghadang. Ketika aku mencoba melewati, anjing itu malah mengejarku. Aku mundur, tak sanggup bertarung dengan binatang itu." 

Ini orang pertama tunggal tokoh utama (menggunakan"aku" dan yang bercerita adalah tokoh utama).     

*Kesimpulan*

Cerpen Menyesal Tidak Belajar Sebelum UH konsisten menggunakan sudut pandang orang pertama tunggal tokoh utama. Konsistensi penggunaan “aku” membuat pembaca masuk langsung ke batin tokoh—merasakan kelalaian, panik, penyesalan, hingga tekad untuk berubah—sehingga pesan moral cerita tersampaikan kuat dan menyentuh.

1. Paragraf 1–3 → ORIENTASI (Pengenalan tokoh, latar, suasana)

“Pagi itu, sinar matahari masuk melalui jendela kamar Rani...

Setelah sarapan, Rani keluar rumah dan mendapati Dira sudah menunggunya...

Rani dan Dira berjalan berdampingan menyusuri jalan kecil menuju sekolah...”

Penjelasan:

Di sini diperkenalkan tokoh utama: Rani dan Dira.

Latar waktu: pagi hari.

Latar tempat: rumah Rani dan perjalanan menuju sekolah.

Hubungan mereka: sahabat erat sejak kecil.

Suasana akrab, hangat, dan bahagia.

2. Paragraf 4–6 → KOMPLIKASI (Awal muncul konflik atau masalah)

“Di sekolah, guru mengumumkan bahwa akan ada lomba estafet antar-kelas...

Sepulang sekolah, keduanya langsung menyusun strategi...

Sore itu, mereka mulai berlatih di lapangan sekolah...”

Penjelasan:

Masalah mulai muncul saat mereka ikut lomba lari estafet.

Latihan dimulai: muncul tantangan menjaga tongkat, menjaga kekompakan.

Di sini mulai terlihat usaha mereka mengatasi tantangan, tapi belum ada konflik besar.

3. Paragraf 7–9 → KOMPLIKASI LANJUTAN + MULAI KLIMAKS (Masalah makin terasa)

“Saat sedang berlari, Rani hampir saja terjatuh karena tersandung...

Setelah kejadian itu, Rani sempat merasa takut dan ragu...

Hari lomba akhirnya tiba. Lapangan sekolah dipenuhi siswa, guru, dan orang tua...”

Penjelasan:

Komplikasi makin serius: Rani nyaris jatuh, mulai takut dan ragu.

Mulai masuk klimaks saat hari perlombaan datang dan ketegangan terasa.

Ada tekanan mental: suasana lomba, banyak penonton, ekspektasi tinggi.

4. Paragraf 10–12 → KLIMAKS (Puncak konflik)

“Ketika gilirannya tiba, Rani merasa gugup...

‘Aku percaya padamu, Ran. Kita pasti bisa,’ bisik Dira...

Walau bukan juara pertama, tim mereka berhasil meraih juara dua...”

Penjelasan:

Titik tertegang dalam cerita: Rani gugup dan ingin menyerah.

Kata-kata penyemangat Dira jadi pemicu perubahan emosi Rani.

Lalu mereka berhasil menyelesaikan lomba dengan baik → konflik terpecahkan.

5. Paragraf 13–14 → RESOLUSI (Konflik mereda dan solusi ditemukan)

“Guru dan orang tua mendekati mereka setelah lomba selesai...

Saat perjalanan pulang, Dira tiba-tiba menghentikan langkahnya...”

Penjelasan:

Konflik selesai, suasana menjadi positif kembali.

Pujian dari guru dan orang tua memperkuat makna kerja sama.

Hadiah piala kecil dari Dira memperlihatkan simbol kemenangan emosional dan persahabatan.

6. Paragraf terakhir → KODA (Penutup, pesan moral)

“Rani terharu, menyadari bahwa hadiah terbesar bukanlah piala itu, melainkan sahabat sejati...”

Penjelasan:

Pesan moral: persahabatan, saling mendukung, dan semangat kebersamaan jauh lebih berharga daripada sekadar kemenangan.

Ini menjadi penegasan akhir bahwa yang utama dalam hidup adalah hubungan yang tulus, bukan prestasi semata.

Kesimpulan Alur Paragraf per Paragraf:

Paragraf Alur Isi

1–3 Orientasi Perkenalan Rani & Dira, suasana pagi, keakraban mereka

4–6 Komplikasi Lomba diumumkan, mereka ikut, mulai latihan

7–9 Komplikasi + Klimaks Rani hampir jatuh, jadi takut, hari lomba tiba

10–12 Klimaks Rani gugup, Dira menyemangati, mereka lomba dan raih juara dua

13–14 Resolusi Dapat pujian, Dira beri piala kecil sebagai simbol persahabatan

15 Koda Pesan: sahabat sejati adalah hadiah terbesar

Posting Komentar

0 Komentar