Keberkahan: Perwujudan Penegakan Keadilan dan Minimalisasi Diskriminasi

Keberkahan: Penegakan Keadilan dan Minimalisasi Diskriminasi

Dr. Suhardin, S.Ag., M.Pd. (Dosen UIC Jakarta)

JAKARTA, kiprahkita.com Di tengah dunia yang semakin materialistik dan kompetitif, konsep keberkahan sering kali dilupakan. Keberkahan bukan sekadar soal jumlah—bukan banyak atau sedikit—tetapi menyangkut nilai, kebermanfaatan, dan kedamaian yang hadir dalam setiap rezeki dan perolehan hidup. Seperti dijelaskan oleh Dr. Suhardin dalam kuliah umumnya, keberkahan (barokah) bermula dari rasa syukur, kesadaran bahwa semua yang dimiliki adalah anugerah Allah, dan digunakan secara optimal untuk kebaikan bersama.

Dr. Suhardin, S.Ag., M.Pd. (Dosen UIC Jakarta)

Namun keberkahan tidak mungkin tumbuh dalam iklim sosial yang penuh ketimpangan, keserakahan, dan ketidakadilan. Di sinilah pentingnya peran iman, taqwa, dan keadilan sosial sebagai pondasi keberkahan hidup—bukan hanya bagi individu, tapi juga bagi institusi, masyarakat, bahkan sebuah negara.

Keberkahan dan Bahaya Ketimpangan

Dalam Islam, keberkahan lahir dari iman dan taqwa. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-A’raf ayat 96, bila penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, maka Allah akan melimpahkan keberkahan dari langit dan bumi. Namun, bila mereka mendustakan ayat-ayat Allah, maka akan turun azab-Nya.

Ketika bangsa atau kelompok elit mulai menyimpang dari nilai kebaikan, mengejar kekuasaan dan kekayaan tanpa batas, mempertontonkan gaya hidup hedonis di tengah kesusahan rakyat, maka keberkahan pun perlahan hilang. Ketimpangan sosial, kesenjangan ekonomi, dan diskriminasi menjadi bom waktu yang siap meledak dalam bentuk konflik sosial, kriminalitas, bahkan pemberontakan sosial.

Masyarakat kecil yang setiap hari berjuang untuk bertahan hidup, merasa terpinggirkan saat menyaksikan para elit memamerkan kemewahan tanpa empati. Status WA dan media sosial memamerkan liburan akhir pekan ke luar negeri. Ini bukan sekadar soal iri hati—ini adalah soal rasa keadilan yang dilukai.

Keadilan: Jalan Menuju Barokah

Keberkahan hanya akan hadir bila suatu bangsa menjunjung tinggi keadilan, yang tidak hanya dipraktikkan dalam hukum, tapi juga dalam kebijakan, pengelolaan sumber daya, dan distribusi kesejahteraan. Dr. Suhardin menawarkan lima langkah konkret menuju masyarakat yang diberkahi Allah:

Barokah berasal dari kata “baraka” artinya cukup, bertambah, berkembang dan penuh kebaikan. Keberkahan buah kesyukuran, merasa senang terhadap perolehan yang didapat, menggunakankan dengan dengan sebaik mungkin. Pendapatan kecil, dibelanjakan secukupnya, perolehan besar dimanfaatkan secara optimal dan efektif, sehingga mendatangkan manfaat yang lebih besar.

Lawan dari baraka “nakbat” atau nakas yang berarti kemalangan atau kesialan, dibawahnya lagi “shiddah” yang berarti kesulitan atau kesengsaraan, agak lunak sedikit “musibah” berarti bencana atau kemalangan. Kondisi yang tidak beruntung, akibat kurang mensyukuri, tidak berpuas diri dengan segala yang dinikmati. Keinginan lebih tinggi dari capaian, harapan lebih besar dari kenyataan.

Allah memberikan pengkabaran kepada manusia bahwa dipastikan sebuah kampung, negeri, daerah, propinsi, negara, institusi yang beriman dan bertaqwa, niscaya, dipastikan dapat keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi jika mendustakan ayat-ayat Allah, maka Allah juga memberikan siksa-Nya atas atas pekerjaan yang bertentangan dengan kebaikan yang telah digariskan Allah (dapat dilihat pada surat Al-A’raf ayat 96).

Menarik untuk dipikirkan keterkaitan iman dan taqwa dengan keberkahan. Ketaqwaan iklud di dalamnya iman dan ihsan. Bahkan esensi ketaqwaan tersebut adalah keihsanan, kebaikan yang bersifat personalize, dan ketahanan mentalitas untuk senantiasa berperasangka baik terhadap Allah SWT. Orang yang muhsinin merasakan pengawasan Allah pada dirinya dimana dan kapanpun. Hal ini membuat senantiasa istiqomah dalam kebaikan, dan tidak akan pernah berbuat keburukan, kezaliman dan kefahsa’an, walaupun tergelincir akibat besarnya godaan setan, tetapi tetap kembali kepada jalan kebenaran

Ketaqwaan membawa manusia kepada kesyukuran, merasakan perolehan yang didapat dari Allah SWT bukan akibat kejumawaan, kehebatan dan keuletan diri dalam bekerja dan berkarya. Capaian diri, peningkatan kompetensi, gapaian perestasi, perolehan harta benda bukan akibat dari usaha semata, keluwasan pergaulan, kebanyakan relasi dan koneksi, tetapi semua atas kuasa dan izin dari penguasa yang sebenar-benarnya, Allah SWT.

Tatkala diri dan institusi mulai kehilangan orientasi dan jati diri ketaqwaan, godaan mulai datang. Penumpukan harta menjadi tujuan utama, popularitas diri menjadi orientasi kegiatan harian, kedudukan menjadi incaran, semua dilakukan berbasisi pragmatisme sempit, nilai keikhlasan dalam kehidupan, menghilang dalam jati diri kaum pragmatism, semua terhitung secara kalkulatif interesting dan politis.

Suasana inilah yang menghilangkan keberkahan dalam kehidupan. Orang sudah mulai menggunting dalam lipatan, menohok kawan yang tengah beriringan, karena standar nilai bergeser dari kebaikan menjadi kekuatan. Keuatan itu ada pada penguasaan terhadap kebendaan. Seseorang dipandang, dinilai, dihormati atas dasar besaran penguasaan material yang dia miliki. Orang yang kaya, sekalipun darimana ia dapati kekayaan tersebut, niscaya akan memperoleh pengakuan orang lain sebagai manusia yang sukses dalam kehidupan.

Tetapi tatkala kepemilikan atas personal dalam komunitas social teralalu berbeda tinggi dalam bentuk gini ratio, orang yang berkekurangan tentu mulai mempertanyakan kepemilikan orang yang berlimpah ruah kepemilikan tersebut, suasana kecemburuan mulai berkembang, apalagi sang berkepemilikan pongah dan jengah dengan dirinya, mempertontonkan keberliebihan dirinya ke tengah public, memiliki benda-benda yang supermewah, yang tak mungkin didapati oleh kaum yang kurang berkepemilikan.   

Hal ini tentu perilaku yang menyakiti, menyesakkan perasaan, mengkianati keadilan. Tatkala orang lagi susah mencari pekerjaan untuk melangsungkan hidup, sekelompok elite bangsa bergembira ria dihadapan khalayak mendapatkan rejeki yang berlimpah ruah, tentu sangat mengusik hati, rasa, pikiran orang yang lagi kesusasahan. Kecemburuan social laksana api yang tengah menyala, tinggal menunggu momentum untuk membakar dan melesak menjadi sebuah dentuman yang destruktif dalam kehidupan.

Perampasan dalam bentuk premanisme tentu sangat tidak ditolerir, tetapi hal itu terjadi karena kebencian sudah sampai kepada titik nadir. Mereka memperlihatkan personal arogansi, menantang, melecehkan kaum kecil tertindas, menghina profesi sebagai beban yang menguras anggaran negara, mempertontonkan kemewahan, perilaku hedonism yang berlebihan, kebijakan yang tidak berpihak kepada kaum lemah, tetapi memfasilitasi kaum penindas dengan segala produk legislasi dan regulasi yang menjadi kewenangannya.

Berkaca dari sana, wajar masyarakat melakukan perampasan asset, sembari ingin mencoba bagaimana menikmati segala kemewahan dan kemegahan yang sudah mereka raih dan ingin merasakan penderitaan ketidak berpunyaan dalam kehidupan. Berbagai teori social menyebutkan bahwa kesenjangan social akan memberikan suasana potensi konflik yang cukup rawan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompom tertentu yang berkepentingan.

Namun dari kacamata keberkahan, tentu semua orang yang beriman niscaya menginginkan untuk terciptanya kehidupan yang barokah, aman, makmur, damai, sentosa, dibawah ampunan Allah SWT. Kondisi ini dibutuhkan upaya penciptaannya, bukan datang begitu saja, setidaknya yang harus dilakukan; pertama, membangun fondasi nilai berbangsa yang kokoh. Setiap bangsa memiliki falsafah bangsa, terlahir dari nilai-nilai luhur, nilai universal dan nilai inti utama sebuah bangsa. Nilai menjadi rujukan dalam segenap regulasi yang dilahirkan. Nilai menjadi jati diri kehidupan bangsa. Nilai menjadi karakter diri anak bangsa. Anak bangsa yang menyimpang, akan mendapatkan permasalahan kehidupan, tersisih dan tidak dapat diterima dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kedua, pembangunan meritokrasi system. Negara terbangun dalam konstitusional yang kuat dan kokoh. Kehidupan bernegara berdasar pada tata aturan yang sudah dikembangkan di negara. Kepemimpinan terlahir atas pembuahan dan reproduksi konstitusional, bukan atas penggalangan kekuatan yang masuk menjadi kekuatan utama. Proses dinamika pembentukan, peralihan dan pemberhentian kepemimpinan berdasarkan konstitusional. Tatanan kepemimpinan dikembangkan dan dijalankan dalam struktur, fungsi, kewenangan dan tanggungjawab yang terdistribusi dengan melihat kelayakan dan kepantasan personal dalam menduduki jabatan tertentu sesuai dengan profesionalitas dan kapabilitas diri. Bila tidak, maka pekerjaan, tugas, kewenangan dan tanggungjawab, akan menjadi malapetaka bagi semua.

Ketiga, kepemimpinan yang menjunjung tinggi keadilan. Kepemimpinan yang dilahirkan secara konstitusional, berusaha dengan sekuat tenaga, meng-orkestrasi semua kekuatan bangsa menciptakan keadilan untuk semua. Menegakkan hukum yang berkeadilan, tidak tajam ke bawah tumpul ke atas. Memfasilitasi segenap anak bangsa berkontribusi untuk kemajuan bangsa, bukan karena dalih akselerasi dan pertumbuhan memberikan akumulasi permodalan kepada kelompok anak bangsa tertentu menggerakkan kapital, sehingga gini ratio (ketimpangan) penghasilan anak bangsa mengalami kejomplangan yang sangat tinggi. Kondisi ini lahan subur bagi propokator untuk menyalakan conflict social antar anak bangsa.

Keempat, mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat. Tanah, air, udara dan segenap kekayaan yang dikandung dikuasai oleh negara dibawah kepemimpinan konstitusional yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Bukan hanya dimanfaatkan oleh segelintir anak bangsa untuk menumpuk kekayaan yang dimanfaatkan untuk mendapatkan kekuasaan dalam negara, sehingga negara dikuasai oleh “peng-peng” (penguasa dan pengusaha). Kekuasaan diperloleh atas kepemilikan seseorang atas sejumlah asset dan penguasa lebih nyaman berusaha untuk mengumpulkan dan menumpuk sejumlah asset.

Kelima, dialogh antar komponen kekuatan bangsa. Bangsa berjalan dalam menuju kemajuan, kemajuan terlihat atas kemampuan negara memakmurkan anak bangsa, melepaskan segenap anak bangsa dalam himpitan kemiskinan, kelemahan, dan ketidak mampuan melangsungkan kehidupan yang layak. Tugas berat tersebut, tidak mungkin dilakukan hanya oleh kepemimpinan negara, tetapi harus merangkul segenap kekuatan, potensi segenap anak bangsa, Bersama-sama dan bergotong royong saling bahu membahu, bergandengan tangan untuk menyelesaikan permasalahan kebangsaan. Hal ini akan terkonsolidasi dengan baik dengan dilakukan dialogh aktif segenap komponen bangsa yang difasilitas oleh kepemimpinan bangsa konstitusional.

Allah memberikan pembelajaran kepada segenap bangsa di dunia ini untuk belajar dengan kemakmuran yang diperoleh oleh bangsa Saba. Bangsa saba sukses mengekploitasi sumber daya alamnya pada bagian kanan dan bagian kiri dengan sebaik-baiknya, berbasis kepada pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan (sustainable development). Kebun raya yang dimiliki dialiri oleh sumber air yang protective, engineering, manageable, dan berkeadilan. Dalam kondisi ini menjadikan negara aman, makmur, gemah ripah lohjinawi, dibawah ampunan dan lindungan Allah SWT.  (silakan dilihat surat Saba ayat 15-17)

Suasana ini terkianati oleh Sebagian elite negeri yang suka dengan kemewahan, kemegahan, memberangus suasana keadilan, berlomba-lomba untuk mendapatkan akses kekayaan yang berlebihan dan tidak peduli dengan kemiskinan. Memepertinggi jurang diskriminasi, flexing dengan kehidupan hedonist, menjsutifikasi bahwa kemiskinan adalah permasalahan orang miskin (derita lo) karena malas, tidak kreatif, tidak punya akses permoadalan, sehingga akhirnya, Allah memberikan teguran atas perbuatan mereka dengan mengirimkan banjir besar, semua sumber daya alam mereka hilang. Buah manis yang segar berobah rasa dengan kepahitan, kehidupan yang gemah ripah loh jinawi menjadi kehidupan yang penuh penderitaan, mengharapkan belas kasihan dan menjadi kaum tertindas, bermigrasi kemana-mana untuk mendapatkan penghidupan.

Dr. Suhardin, S.Ag., M.Pd. (Dosen UIC Jakarta)

Perwujudan Keberkahan: Penegakan Keadilan dan Minimalisasi Diskriminasi

Dari sinilah agaknya perlu dipelajari dengan seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya untuk introspeksi diri. Kalangan elite berinteropeksi dan meminta maaf atas sikap dan perbuatan selama ini. Pemerintah harus meminimalisasi diskriminasi social antara kaum berpunya dengan kaum yang belum beruntung. Sehingga dengan itulah kita dapat mewujudkan keberkahan dari Allah SWT dengan karunia, nikmat dan rahmatnya yang datang dari berbagai penjuru, dan kekhilafan kecil niscaya diampuni oleh Allah SWT karena Allah maha penyayang dan maha mengampuni.

Wallahu ‘alam.   

Membangun Fondasi Nilai Berbangsa yang Kokoh

Setiap bangsa memiliki falsafah dan nilai dasar yang harus dijadikan rujukan dalam seluruh aspek kehidupan—termasuk regulasi, pendidikan, dan kehidupan sosial. Ketika nilai ini ditinggalkan, arah bangsa pun akan kehilangan arah dan jatuh pada disorientasi moral.

Membangun Sistem Meritokrasi yang Adil

Kepemimpinan dan jabatan publik seharusnya diberikan kepada yang benar-benar layak dan kompeten, bukan karena koneksi atau kekuatan modal. Tanpa meritokrasi, kekuasaan hanya akan menjadi ladang kepentingan dan kehancuran bersama.

Menjunjung Tinggi Keadilan Sosial

Keadilan tidak bisa berhenti di wacana. Negara harus hadir sebagai pelindung semua golongan, tidak hanya membela segelintir elit. Ketika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, ketidakpercayaan akan tumbuh dan masyarakat menjadi apatis bahkan beringas.

Pengelolaan SDA untuk Kesejahteraan Rakyat

Sumber daya alam adalah amanah, bukan komoditas untuk dikuasai segelintir orang. Negara harus memastikan kekayaan ini dikelola untuk kesejahteraan seluruh rakyat, bukan menjadi alat untuk memperkaya yang sudah kaya.

Dialog dan Kolaborasi Antar Komponen Bangsa

Kemajuan bangsa bukanlah tugas satu kelompok, melainkan sinergi dari seluruh kekuatan bangsa. Dialog terbuka dan kolaboratif antara pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dan sektor usaha menjadi kunci untuk menyelesaikan persoalan-persoalan struktural bangsa.

Refleksi Bangsa Saba: Dari Kemakmuran ke Kehancuran

Dr. Suhardin juga menyinggung pelajaran penting dari bangsa Saba’ yang awalnya hidup dalam keberkahan, damai dan makmur. Namun keserakahan, arogansi, dan pengabaian terhadap keadilan membuat mereka kehilangan semuanya—buah yang manis menjadi pahit, tanah subur berubah tandus, dan mereka pun tercerai-berai dalam penderitaan (QS Saba: 15-17). Ini adalah peringatan keras bagi bangsa mana pun yang enggan belajar dari sejarah.

Minimalisasi Diskriminasi, Maksimalisasi Keberkahan

Diskriminasi sosial—baik dalam pelayanan, kebijakan, maupun akses terhadap kesempatan—harus ditekan semaksimal mungkin. Karena ketika ketidakadilan dipelihara, keberkahan akan terusir. Dalam Islam, tidak ada superioritas atas dasar kekayaan, ras, atau status sosial. Yang membedakan hanyalah taqwa dan kontribusi kebaikan.

Penutup: Bangsa yang Diberkahi Adalah Bangsa yang Adil

Keberkahan bukanlah hasil dari eksploitasi, bukan pula milik eksklusif kelompok tertentu. Ia adalah hasil dari sistem sosial yang adil, pemerintahan yang amanah, dan masyarakat yang bersyukur serta gotong royong. Bila setiap elemen bangsa bersedia introspeksi, memperbaiki orientasi hidupnya dari ego-sentris menuju rahmatan lil ‘alamin, maka keberkahan Allah pasti akan tercurah dari langit dan bumi.

“Marilah kita bangun bangsa ini dengan keadilan, karena hanya dengan keadilan, keberkahan akan menyertai langkah-langkah kita menuju masa depan yang gemilang.” Wallahu a’lam.

Posting Komentar

0 Komentar