JAKARTA, kiprahkita.com –Tindakan Polisi dalam membubarkan massa anarkis dalam prinsipnya bukan untuk brutalitas, melainkan upaya untuk melindungi kepentingan masyarakat luas dan meminimalisir kerusuhan, kerugian, dan korban. Tapi sayangnya strategi Polisi yang belum pas untuk membubarkan. Apalagi Polisi terlihat mengejar para demontrasi.Yang dikejar satu orang dalam keadaan tangan kosong sedang Polisi yang mengejar 5-10 orang dengan atribut huru hara plus pentungan.
Semestinya, unjuk rasa dan tindakan anarkis harus dipisahkan secara tegas. Dalam kegiatan unjuk rasa, Polisi bertugas melayani dan mengawal peserta agar merasa aman dan nyaman ketika menyampaikan aspirasi. sebagaimana diatur oleh Undang-undang yang mengatur penyampaian pendapat di muka umum adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
UU ini menjamin hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat, namun tetap harus bertanggung jawab dan mematuhi batasan-batasan yang telah ditetapkan, seperti menghormati hak orang lain, menjaga ketertiban umum, serta kesatuan dan persatuan bangsa.
![]() |
Poster Salah Satu Mahasiswa yang Ditangkap |
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 sebagai dasar hukum menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Penyampaian pendapat di muka umum dapat dilakukan melalui berbagai bentuk, antara lain, Unjuk rasa atau demonstrasi, Pawai, Rapat umum, dan Mimbar bebas.
Setiap warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum wajib dan bertanggung jawab untuk menghormati hak-hak orang lain, menjaga ketertiban umum, menjaga kesatuan dan persatuan bangsa, menjaga moral dan etika.
Namun, ketika terjadi perbuatan anarkis yang mengganggu ketertiban umum, Polisi wajib bertindak tegas dan terukur sesuai prinsip negara hukum (rechtstaat) . Polisi bertanggung jawab mengamankan lokasi dan peserta penyampaian pendapat untuk melindungi mereka.
Adanya brutalitas aparat dalam menangani unjuk rasa tidak tepat. Polri adalah bagian integral dari masyarakat yang mengemban amanah sebagai institusi sipil pasca-reformasi. Berikut jangan main hakim atas peserta demontrsasi. Bisa bawa borgol atau tali misalnya untuk mengantisipasi mereka yang dicurigai anarkis. Jangan dipukuli rame-rame. Mereka yang meninggal dan luka-luka dari video beredar karena dikeroyok aparat. Penanganan main hakim ini tentu tidak tepat. Penanganan inilah yang perlu direformasi.
Terkait insiden meninggalnya Affan Kurniawan, seorang driver ojek online yang terlindas kendaraan taktis Brimob saat terjadi kericuhan, itu termasuk sebagai peristiwa duka yang tidak dikehendaki. Affan adalah pencari nafkah yang wafat dalam tugas, namun kejadian ini tidak bisa serta-merta dimaknai sebagai ketidak sengajaan atau ada kesengajaan dari aparat.
Dalam pandangan hukum pidana, akibat yang timbul dari sebuah peristiwa seperti harus dilihat dari teori kausalitas.
Ada tiga teori yang relevan yakni, meist wirksame bedingung (mencari syarat utama penyebab akibat), kemudian ubergewichtstheorie (musabab sebagai faktor dominan yang melampaui syarat lain), dan art der werdens theorie (musabab sebagai syarat yang secara kodrati menimbulkan akibat).
Dengan demikian, tidak ada alasan pembenar bagi amarah massa untuk menyerang Brimob maupun institusi Polri. Tidak ada pula alasan bagi Brimop dan Polri tidak menyelesaikan kasus itu. Polisi lahir dari masyarakat dan bekerja untuk masyarakat, menjaga ketertiban dan keteraturan yang merupakan kebutuhan bersama. Maka Polisi harus menyelesaikan penyelidikan kasus secara transparan dan tuntas demi kebaikan bersama, massa, dan institusi Polri itu sendiri agar tetap dipercaya semua pihak.
Dalam melakukan tindakan tegas, memang Polri harus selaras dengan konsepsi hukum pidana, yakni in casu extremae necessitates omnia sunt communia dan necessitas sub lege non continetur, qui aquod alias non est licitum necessitas facit licitum (dalam keadaan darurat, sesuatu yang semula tidak diperbolehkan menjadi diperbolehkan demi kepentingan umum). Tapi bukti di lapangan harus ditransparansikan pula agar Polri bisa dibenarkan dan diterima pada situasi itu melakukan tindakan itu. Bukan hal mustahil karena teknologi sudah canggih dan memenuhi untuk itu saat ini.
Dalam hal ini harus mengajak para tokoh politik, agama, adat, masyarakat, akademisi, hingga orang tua untuk berperan aktif memberikan pemahaman kepada publik. Sudah saatnya pula DPR, institusi Polri, pemerintah, dan tokoh yang dipermasalahkan publik cepat menemui perwakilan massa bila ada kersahan di tengah masyarakat. Harus melek isu.Tentu sinyal-sinyal demo ini sudah ada sebelumnya. Lebih baik mencegah daripada mengobati.
Stabilitas keamanan adalah prasyarat utama menuju negara yang adil, makmur dan sejahtera. Karena itu, mari saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran. (*)
0 Komentar