Makan Bergizi Gratis dan Ancaman Keracunan Massal – Antara Niat Baik dan Realitas Buruk
JAKARTA, kiprahkita.com –Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah gagasan ambisius yang berangkat dari niat mulia: menjamin asupan gizi bagi generasi muda, mengatasi kelaparan tersembunyi, dan memperkuat fondasi kesehatan nasional. Namun, dalam praktiknya, niat baik tak cukup jika eksekusi diabaikan. Rentetan kasus keracunan massal yang dilaporkan di berbagai wilayah Jawa Barat menjadi sinyal keras bahwa ada lubang besar dalam pengelolaan program ini – bukan hanya teknis, tapi juga struktural.
![]() |
Hasil uji mikrobiologi yang menunjukkan adanya kontaminasi bakteri seperti Salmonella, Bacillus cereus, E. coli, Staphylococcus aureus, bahkan Vibrio cholerae, seharusnya membunyikan alarm. Ini bukan sekadar insiden biasa, ini adalah ancaman serius terhadap kesehatan publik. Apalagi jika mengingat bahwa mayoritas kontaminasi berasal dari dua bakteri utama – Salmonella yang lazim ditemukan dalam daging dan telur yang tidak matang, serta Bacillus cereus yang terkait erat dengan nasi yang disimpan secara tidak benar. Artinya, masalah bukan hanya pada bahan, tapi juga pada cara masak, penyimpanan, dan distribusi.
Lebih jauh, WHO mengidentifikasi lima kategori utama penyebab keracunan makanan: bakteri, virus, parasit, prion, dan kontaminan kimia. Dari hasil pemeriksaan Labkes Jabar, sebagian penyebab ini sudah terbukti hadir – baik secara mikrobiologis maupun kimiawi (temuan nitrit 8%). Maka, pernyataan Prof. Tjandra menjadi penting: program MBG harus dicek menyeluruh, bukan hanya pada hasil akhir (makanan), tapi juga proses panjang di baliknya – dari air yang dipakai, kebersihan dapur, hingga pelatihan pekerja pengolah makanan.
Pertama, ialah ditemukannya bakteri yang mayoritasnya berupa Salmonella pada sampel makanan MBG. Tjandra mengatakan, menurut WHO kontaminasi bakteri Salmonela dihubungkan dengan makanan tinggi protein seperti daging, unggas dan telur.
Kedua, ditemukan juga mayoritas bakteri berupa Bacillus cereus. Ia menyebut, bila merujuk data dari NSW Food Authority Australia, Bacillus cereus yang dapat menyebabkan keracunan makanan dihubungkan antara lain dengan penyimpanan nasi yang tidak tepat.
Di sisi lain, fakta bahwa 72% sampel hasilnya negatif juga tak bisa dijadikan pembelaan. Keracunan massal tidak memerlukan angka mayoritas; satu kasus pun, jika berujung pada kematian atau kecacatan, adalah tragedi yang tak bisa ditoleransi, apalagi jika itu bisa dicegah.
Pemerintah harus menyadari bahwa program sosial bukan hanya soal distribusi, tapi soal akuntabilitas dan pengawasan. Kegagalan sistemik dalam menjaga higienitas dapur, kelayakan bahan, dan protokol keamanan pangan dalam MBG bukan hanya kelalaian administratif – tapi bisa jadi bentuk kelalaian negara dalam melindungi warganya, terutama anak-anak yang menjadi sasaran program.
Maka, sudah saatnya evaluasi dilakukan secara menyeluruh – bukan hanya secara teknis, tapi juga politis. Siapa penyedia makanan? Apakah sistem pengadaannya transparan? Apakah standar kesehatan pangan benar-benar dijadikan dasar atau justru dikompromikan demi efisiensi dan kepentingan proyek? Transparansi dan audit independen harus menjadi keharusan, bukan pilihan.
Pada akhirnya, program Makan Bergizi Gratis bukan hanya soal memberi makan, tapi soal memberi jaminan hidup sehat dan aman. Jika makanan yang dibagikan justru membawa penyakit, bahkan potensi kematian, maka kita sedang menciptakan bom waktu atas nama kebaikan. Dan dalam kebijakan publik, kebaikan yang dilaksanakan dengan buruk adalah kejahatan terselubung.
Masalah pertama, yang memicu keracunan makanan secara luas, kata Tjandra ialah ditemukannya Salmonela, Campylobacter dan Escherichia coli pada sampel makanan korban keracunan. Selain itu juga dapat ditemukan Listeria dan Vibrio cholerae.
Kedua, adalah virus yang disebut WHO berjenis Novovirus dan virus Hepatitis A. Ketiga, ialah disebabkan keberadaan parasit seperti cacing trematoda dan cacing pita seperti Ekinokokus maenia Taenia.
"Yang lebih jarang adalah cacing seperti Askaris, Kriptosporidium, Entamoeba histolytica dan Giardia yang masuk ke rantai penyediaan makanan melalui air dan tanah yang tercemar," ujar Tjandra.
Penyebab keempat yang biasanya memicu keracunan makanan ia sebut prion, meski kasusnya jarang. Prion adalah bahan infeksi yang terdiri dari protein, contohnya adalah Bovine spongiform encephalopathy (BSE).
Penyebab ke lima, yang perlu diantisipasi ialah kemungkinan kontaminasi bahan kimia pada makan. Untuk bahan kimia maka WHO membaginya menjadi tiga bagian, yakni logam berat seperti timbal, kadmium, dan merkuri; polutan organik persisten ("Persistent organic pollutants - POPs") seperti misalnya dioksin dan polychlorinated biphenyls -PCBs; serta berbagai bentuk toksin lain adalah mycotoxins, marine biotoxins, cyanogenic glycosides, aflatoxin dan ochratoxin. Faktor kebersihan pun tak kalah berpengaruh.
0 Komentar