“Menciptakan Arah, Bukan Mengikuti Arus: Cara Muhammadiyah Membaca Zaman” Disampaikan Dr. Irwandi Nashir dalam Mudzakarah Korps Muballigh Muhammadiyah ke-8 di Batusangkar

TANAH DATAR, kiprahkita.com “Menciptakan Arah, Bukan Mengikuti Arus: Cara Muhammadiyah Membaca Zaman”, yang merangkum dan mengelaborasi makna dari peristiwa serta pemikiran yang disampaikan Dr. Irwandi Nashir dalam acara Mudzakarah Korps Muballigh Muhammadiyah ke-8 di Batusangkar.

Dr. Irwandi Nashir

Menciptakan Arah, Bukan Mengikuti Arus: Cara Muhammadiyah Membaca Zaman

Ahad pagi, 31 Agustus 2025, menjadi momentum penting bagi Muhammadiyah Tanah Datar. Di Gedung PKK/DW Indo Jolito, gema semangat tajdid menggema dalam Mudzakarah dan Kajian Khusus Korps Muballigh Muhammadiyah ke-8. Dalam suasana khidmat dan hangat, Dr. Irwandi Nashir mengajak para muballigh dan kader untuk merenung lebih dalam tentang posisi dan peran Muhammadiyah di tengah arus zaman yang terus berubah. Tajuk kajian kali ini begitu kuat: “Menciptakan Arah, Bukan Mengikuti Arus.”

Meneguhkan Jati Diri Gerakan Tajdid

Muhammadiyah bukan sekadar organisasi keagamaan; ia adalah gerakan tajdid—pembaru—yang meniscayakan kepekaan terhadap dinamika zaman tanpa kehilangan arah. Dalam pandangan Dr. Irwandi, Muhammadiyah harus menolak sikap pasif sebagai pengekor perubahan sosial. Sebaliknya, ia harus hadir sebagai khalifah yang memberi arah, menawarkan solusi, dan membawa kemaslahatan.


Para Peserta Mudzakarah

Mengutip ayat yang menyebut umat Islam sebagai "khairu ummah", Dr. Irwandi menekankan bahwa keunggulan umat tidak terletak pada kuantitas, tetapi pada kualitas kontribusinya terhadap kehidupan. Di sinilah Muhammadiyah harus berdiri: sebagai pemandu arah zaman, bukan pengikut gelombang globalisasi yang belum tentu sejalan dengan nilai Islam.

Tiga Pilar: Keyakinan, Pemikiran, dan Tindakan

Pentingnya arah perjuangan itu dibingkai dalam tiga pilar manhaj Muhammadiyah: sistem keyakinan, sistem pemikiran, dan pola tindakan.

1. Sistem Keyakinan

Muhammadiyah berakar pada tauhid murni—kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Dalam konteks ini, ia menolak fanatisme mazhab yang menyempitkan pandangan keagamaan. Pendekatan ini membebaskan umat untuk menafsirkan Islam secara terbuka namun tetap bertanggung jawab.

2. Sistem Pemikiran

Muhammadiyah bukan gerakan tekstual semata, melainkan menjunjung tinggi integrasi antara wahyu, akal, dan pengalaman spiritual. Pendekatan Al-Bayani (nash), Al-Burhani (rasional-saintifik), dan Al-‘Irfani (spiritual) menjadi pondasi metodologi berpikir Muhammadiyah. Ketiganya saling melengkapi dalam memahami Islam sebagai agama yang utuh: membumi, logis, dan menyentuh kalbu.

3. Pola Tindakan

Keyakinan dan pemikiran harus bermuara pada tindakan nyata. Muhammadiyah dikenal dengan amal usaha yang konkret: rumah sakit, sekolah, panti asuhan, hingga program pemberdayaan masyarakat. Semua ini adalah manifestasi dari dakwah yang membumi. Seperti ditekankan Dr. Irwandi, dakwah tak boleh hanya di atas mimbar atau sekadar dalam teks, tetapi harus menjadi napas kehidupan umat sehari-hari.

Menjawab Zaman dengan Kearifan

Arus globalisasi, revolusi teknologi, hingga krisis moral adalah tantangan zaman. Banyak organisasi dan individu larut dalam arus ini—terjebak dalam euforia kemajuan tanpa arah. Di sinilah relevansi pesan Dr. Irwandi: Muhammadiyah tidak boleh hanyut, tetapi harus menjadi peta jalan peradaban. Gerakan ini harus cerdas membaca zaman, namun tetap jujur pada nilai Islam.

Kekuatan Muhammadiyah bukan terletak pada kekuasaan politik atau popularitas, melainkan pada daya tahannya membangun civil society yang berkarakter. Ia menjadi suara yang menyejukkan di tengah gaduhnya polarisasi. Menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas. Menjadi poros etika di tengah budaya instan dan materialistik.

Meneguhkan Semangat Tajdid

Mudzakarah ini bukan sekadar kajian akademik, tetapi ruang refleksi kolektif. Para muballigh yang hadir tampak aktif berdiskusi, mencatat, dan meresapi substansi dakwah yang lebih luas dan mendalam. Di tengah derasnya arus zaman, Muhammadiyah harus senantiasa memperbarui spiritnya—menjaga keotentikan nilai sambil menyikapi realitas dengan cerdas.

Penutup acara menyuarakan pesan kuat: Muhammadiyah harus tetap konsisten menciptakan arah peradaban Islam. Ini adalah ajakan untuk terus berijtihad, menyusun strategi dakwah yang relevan, dan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil 'alamin—bukan sekadar slogan, tapi gerakan nyata.

Penutup

“Menciptakan arah, bukan mengikuti arus” adalah ajakan untuk berpikir strategis, bertindak solutif, dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Islam. Di tengah dunia yang cepat berubah, Muhammadiyah hadir bukan untuk ikut-ikutan, tetapi untuk memimpin dengan kebijaksanaan. Sebuah dakwah yang mencerdaskan, memanusiakan, dan membebaskan. (IM/YS)*

Posting Komentar

0 Komentar