Perilaku Siswa Kelas 9 di MTsN Kota Padang Panjang, Hasil Pengamatan Guru

Bola Lebih Menarik dari Menulis

PADANG PANJANG, kiprahkita.com Pada hari Senin, 16 September 2025, telah dilakukan pengamatan terhadap perilaku siswa kelas 9F, G, H, I, dan J di MTsN Padang Panjang. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa perilaku siswa dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu siswa yang berperilaku baik dan siswa yang kurang berperilaku baik dalam bersikap maupun bertingkah laku selama kegiatan pembelajaran berlangsung di kelas.

Siswa yang tergolong berperilaku baik memperlihatkan kebiasaan positif seperti memberikan sapa, salam, dan senyum ketika guru memasuki kelas. Mereka hadir tepat waktu, serta mengenakan seragam dan atribut sekolah sesuai aturan sekolah. Selain itu, mereka juga mampu memperhatikan penjelasan guru dengan baik, mencatat materi pelajaran dengan rapi, dan bahkan rela membantu teman yang kesulitan membawa buku.

Tidak hanya itu, mereka juga menunjukkan kepedulian terhadap kebersihan kelas dengan membuang sampah pada tempatnya. Tugas yang diberikan guru pun selesai tepat waktu. Beberapa siswa yang dapat dijadikan contoh dalam kategori ini antara lain Willie dan Arsya, kelas 9F; Evangelina dan Zivana kelas 9G; Hani, Zahira, dan Fatih kelas 9H; Nayara, Kayla, Saida, dan Zahira kelas 9I; dan Andini kelas 9J. Dari 32 siswa per kelas biasanya 20 orang siswa terkategori berperilaku baik.

Berbeda dengan kelompok sebelumnya, terdapat pula siswa yang menunjukkan perilaku kurang baik. Mereka cenderung bercanda secara berlebihan, berbicara dengan teman ketika guru sedang mengajar, bahkan sengaja datang terlambat 30 menit, memainkan permainan yang tidak ada kaitannya dengan pelajaran.

Ada juga siswa yang masuk kelas tanpa izin, tidak menjawab salam dari guru, membuang sampah sembarangan, dan tidak mengerjakan tugas tepat waktu. Bahkan terkadang membolos pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Mereka tidur di masjid. Perilaku ini tentu mengganggu proses pembelajaran serta menurunkan suasana tertib di dalam kelas. Contoh siswa yang termasuk dalam kategori ini adalah Rasyid, Huda, Duha, dan Zidane dari kelas 9F; Torino, Abil, dan Nabel dari kelas 9G; Faez, Fahri, Fahri, Dzaki, Alif, dan Budi dari 9H; Fadhil, Kazan, Abi, Haekal, 9J; dan Bimo, Iqbal, Alif, Azem, dan Rafly dari kelas 9I.

Berdasarkan pengamatan tersebut, sekitar 70% siswa kelas 9 memperlihatkan perilaku sopan, baik, disiplin, dan tertib. Namun, sekitar 30% siswa lainnya masih menunjukkan perilaku kurang sopan yang dapat merugikan diri mereka sendiri maupun teman-teman sekelasnya. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku siswa kelas 9 cukup beragam dan belum seluruhnya konsisten dalam menjaga kedisiplinan serta etika dan tata tertib di sekolah.

Dari hasil pengamatan ini, dapat disimpulkan bahwa meskipun sebagian besar siswa kelas 9 sudah mampu menunjukkan sikap positif, masih ada sebagian yang membutuhkan pembinaan lebih lanjut. Faktor lingkungan (tempat tinggal), pertemanan, serta pola asuh orang tua dan pembimbing asrama juga sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku remaja. Oleh sebab itu, peran sekolah dan orang tua maupun pembibing asrama harus berjalan beriringan agar siswa terbiasa bersikap sopan, baik, disiplin, serta mampu menghargai guru maupun teman sekelas.

Sebagai guru, menghadapi siswa laki-laki memang rada beda dari siswi putri. Seperti data di atas siswa sesuai harapan didominasi cewek. Siswa laki-laki sering cabut dalam belajar. Siswa yang sering "cabut" tentu menjadi tantangan tersendiri bagi guru. Fenomena siswa laki-laki ini cabut terjadi tiap tahun belajar.

Jumlah mereka sih tak banyak. Ada 4, 5, atau 6 siswa per kelasnya. Meski sedikit per kelas tapi bila dikalikan sebanyak jumlah kita mengajar, akhirnya total mereka banyak juga. Seperti saya, mengajar 5 kelas. 5x4 = 20 siswa bila yang cabut rata-rata 4 siswa laki-laki perkelasnya.

Lokal 9F misalnya ada siswa berinisial H, R, D, dan I. Begitu juga kelas 9G ada siswa berinisial T, D, dan I. Kelas 9H begitu juga ada siswa berinisial F, F, F, A, dan D. Di kelas 9I ada pula siswa berinisial I, A, B, dan A. Sementara di kelas 9J ada pula inisial F, K, H, I, dan J.

Mereka izin dengan alasan ingin ke toiet. Namun, hingga jam berakhir tak kembali. Setelah diutus detektif cilik untuk memantau ternyata mereka bergabung dengan kelas lain cabut. Untuk tindakan awal nama mereka dicatat dulu berdasar sumber detektif cilik.

Faktor apa yang paling sering kita temui penyebab mereka cabut? Apakah lebih karena kurangnya minat belajar, pengaruh teman, atau ada alasan lain? Apakah strategi khusus untuk mengatasi masalah ini di kelas diperlukan? Misalnya, pendekatan personal atau metode pengajaran yang lebih menarik bagi siswa laki-laki.

Fenomena “Cabut” Siswa Laki-Laki Asrama: Tantangan dan Solusi Humanis

Fenomena siswa laki-laki yang suka “cabut” dari kelas bukan hal baru, termasuk di sekolah berasrama. Di lingkungan asrama, “cabut” tidak selalu berarti keluar sekolah, tapi lebih kepada menghindar dari kegiatan belajar, seperti menghilang ke lapangan, ke kamar, atau nongkrong saat jam pelajaran. Masalah ini muncul karena berbagai faktor: mulai dari kurangnya minat terhadap pelajaran, pengaruh lingkungan sosial, hingga relasi yang kurang hangat dengan guru.

Salah satu faktor utama adalah kurangnya minat terhadap materi pelajaran, khususnya pelajaran yang menuntut literasi seperti Bahasa Indonesia. Siswa laki-laki cenderung lebih aktif secara fisik, dan merasa materi pelajaran tidak relevan dengan minat mereka. Banyak dari mereka lebih menyukai olahraga, terutama sepak bola.

Untuk mengatasi ini, guru perlu mengaitkan pembelajaran dengan minat mereka. Misalnya, menugaskan siswa menulis cerita tentang sepak bola, membuat puisi tentang semangat tim, atau merangkum berita pemain favorit. Guru juga bisa menggunakan video sepak bola dan mengaitkannya dengan tugas menulis. Dengan begitu, siswa merasa lebih tertarik dan dihargai.

Faktor berikutnya adalah pengaruh pergaulan di asrama, di mana solidaritas antarteman sangat kuat. Jika satu siswa mulai malas belajar, bisa memengaruhi teman-temannya. Solusinya adalah membentuk kelompok positif, seperti tim literasi atau panitia kegiatan, dan memberi tanggung jawab kepada siswa yang berpengaruh agar membawa teman-temannya ke arah yang lebih baik.

Selain itu, hubungan antara guru dan siswa di asrama sangat penting. Guru tidak bisa hanya menjadi pengajar, tapi juga harus menjadi pendamping, pembimbing, dan tempat siswa berbagi cerita. Guru yang ramah, menyapa siswa saat di dapur, dan membuka ruang diskusi informal cenderung lebih didengarkan dan dihormati.

Siswa laki-laki juga memiliki energi lebih besar dan tekanan psikologis yang tidak sedikit. Hidup jauh dari orang tua, tekanan akademik, dan rutinitas padat sering membuat mereka jenuh. Maka, penting untuk memberi ruang ekspresi dan aktivitas fisik yang cukup, seperti olahraga rutin, lomba internal, atau kegiatan kreatif yang menyenangkan.

Akhirnya, pendekatan yang humanis, relevan, dan dekat secara emosional terbukti jauh lebih efektif daripada sekadar aturan dan hukuman. Ketika siswa merasa didengar dan dipercaya, mereka akan lebih mudah diarahkan dan dibimbing.

Penutup

Fenomena “cabut” di kalangan siswa laki-laki asrama adalah masalah kompleks, tapi bukan tanpa solusi. Dengan pendekatan berbasis minat, kedekatan emosional, dan tanggung jawab sosial, guru bisa mengubah kebiasaan negatif menjadi energi positif yang mendorong mereka tumbuh menjadi pribadi yang lebih disiplin dan berprestasi. (Yus MM)*


Posting Komentar

0 Komentar