Islam Berkemajuan dalam Muhammadiyah: Antara Nilai Transendental dan Konsep Kemajuan Global
Oleh: Muhammad Rofiq Muzakkir
Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah
JAKARTA, kiprahkita.com –Dalam lintasan sejarah peradaban manusia, gagasan tentang "kemajuan" menjadi salah satu narasi dominan dalam membentuk arah dan orientasi hidup manusia modern. Namun, makna dan tolok ukur kemajuan itu sendiri tidak tunggal. Ia kerap dibentuk oleh konteks sosial, budaya, dan ideologi yang mendasarinya. Dalam hal ini, Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, menawarkan konsep "Islam Berkemajuan" yang memiliki karakteristik berbeda dari narasi kemajuan Barat yang cenderung bersifat materialistik.
Muhammad Rofiq Muzakkir, Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, menjelaskan bahwa meskipun secara istilah, "Islam Berkemajuan" bisa terlihat sejajar dengan konsep "progresif", keduanya tidak identik. Islam Berkemajuan bukan sekadar adaptasi dari ide progresif Barat, melainkan memiliki akar yang kuat dalam tradisi Islam, namun tetap terbuka terhadap realitas global dan perubahan zaman.
Islam Berkemajuan: Tiga Pilar Utama
Dalam dokumen resmi Risalah Islam Berkemajuan (RIB), Muhammadiyah merumuskan tiga pemaknaan utama dari konsep kemajuan:
Kemajuan sebagai keunggulan hidup material, yaitu pengakuan atas pentingnya capaian-capaian duniawi seperti teknologi, pendidikan, dan kesejahteraan, namun tidak menjadikannya satu-satunya tolok ukur keberhasilan hidup.
Kemajuan sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Ini menjadikan Islam Berkemajuan bersifat inklusif, bukan eksklusif hanya untuk umat Islam, sebagaimana semangat universal dalam Al-Qur’an (QS. Al-Anbiya: 107).
Kemajuan dalam arti reformasi, modernitas, dan pencerahan. Ini mencerminkan semangat tajdid (pembaharuan) yang menjadi ciri khas Muhammadiyah sejak awal berdiri—yakni pembaruan pemikiran Islam dengan tetap berlandaskan nilai-nilai wahyu dan rasionalitas.
Perbedaan dengan Progresivisme Barat
Menurut Rofiq, konsep kemajuan di dunia Barat memiliki kecenderungan yang kuat terhadap materialisme. Di sana, kemajuan diukur lewat pertumbuhan ekonomi, kemajuan teknologi, dan dominasi sains. Aspek spiritualitas dan nilai-nilai transendental sering kali tersisih. Dalam hal ini, ia mengutip pemikiran Charles Taylor dalam A Secular Age, yang menggambarkan bagaimana modernitas menciptakan immanent frame—kerangka berpikir yang mengurung manusia dalam dunia yang semata-mata duniawi, tanpa ruang bagi yang transenden.
Lebih jauh lagi, narasi kemajuan ala Barat juga memiliki watak rasis dan hegemonik. Barat kerap menempatkan dirinya sebagai puncak peradaban, dan peradaban non-Barat dianggap tertinggal, primitif, bahkan tak beradab. Sejarah dipahami secara linier: dari ketertinggalan menuju kemajuan, dari kebodohan menuju pencerahan, dari masa lalu yang “barbaric” menuju masa depan yang “beradab”.
Muhammadiyah dan Kemajuan yang Komprehensif
Berbeda dari narasi tersebut, Islam Berkemajuan Muhammadiyah menolak dikotomi antara yang material dan spiritual. Muhammadiyah menegaskan bahwa kemajuan harus mencakup dua dimensi sekaligus: lahiriah dan batiniah, duniawi dan ukhrawi, rasional dan spiritual. Inilah yang menjadikan Islam Berkemajuan memiliki karakter distingtif, tidak terjebak dalam fundamentalisme masa lalu, namun juga tidak silau pada modernitas yang kosong dari makna ruhani.
Dengan pendekatan ini, Muhammadiyah menampilkan wajah Islam yang berorientasi pada kemaslahatan universal, membumi di tengah kehidupan sosial, namun tetap berakar pada nilai-nilai langit. Islam Berkemajuan bukan semata proyek intelektual, melainkan etos hidup yang mendorong transformasi individu dan masyarakat secara utuh.
Islam Berkemajuan Sebagai Jalan Tengah Peradaban
Di tengah krisis makna dalam peradaban global hari ini—di mana teknologi berkembang pesat namun krisis kemanusiaan juga makin dalam—Islam Berkemajuan menawarkan jalan tengah yang berimbang antara dunia dan akhirat, antara akal dan wahyu, antara kemajuan dan kemanusiaan.
Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Muhammad Rofiq Muzakkir menyebut Islam Berkemajuan di Muhammadiyah, tak sama dengan konsep kemajuan Barat yang kental dengan tradisi materialisme.
![]() |
Muhammad Rofiq Muzakkir |
Meski secara istilah teknis mengandung kesamaan, namun Islam Berkemajuan dengan Progresif tak sama. Menurutnya, Islam Berkemajuan di Muhammadiyah memiliki kekhasan sebab berangkat dari tradisi Islam, dengan tidak melepaskan dari konteks global.
Rofiq Muzakkir menjelaskan, dalam dokumen Risalah Islam Berkemajuan (RIB) terdapat tiga maksud dari Islam Berkemajuan itu sendiri. Pertama, kemajuan dimaknai sebagai keunggulan hidup yang sebatas diukur secara material. Kedua, kemajuan sebagai rahmat seluruh alam (inklusif) tidak eksklusif ke Islam saja, sebagaimana Surat Al Anbiya ayat 107.
Sementara, maksud yang ketiga dari kemajuan dalam Islam Berkemajuan adalah dipersepsi reformasi, modernitas, dan pencerahan. Ketiganya menurut Rofiq Muzakir berbeda dengan progresif yang bertradisi dari Barat, di mana titik beratnya ada pada nilai-nilai materialisme.
“Konsep progres di dunia Barat cenderung bersifat materialistis. Kemajuan umumnya dimaknai dalam bentuk pencapaian-pencapaian duniawi, seperti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan capaian ekonomi. Meskipun aspek ini penting, orientasi sepenuhnya material telah mengabaikan dimensi spiritual,” katanya.
Hal itu tak jauh beda dengan pandangan yang dikemukakan oleh Charles Taylor dalam A Secular Age. Rofiq mengutip, dalam sekuleritas zaman modern membawa manusia kepada immanent frame atau kerangka berpikir duniawi, di sisi lain kerangka transenden tidak masuk menjadi pertimbangan.
Dia juga mengkritik, kemajuan dalam tradisi Barat ini juga inheren dengan watak rasis. Barat kerap memposisikan diri sebagai puncak peradaban, posisi memiliki konsekuensi – peradaban selain Barat itu dianggap tertinggal, bahkan pada titik ekstrim menganggap sebuah entitas itu tidak beradab.
“Konsep kemajuan Barat dianggap memahami perjalanan sejarah secara linier, dari titik awal yang negatif menuju masa depan yang lebih baik, dengan asumsi bahwa masa depan selalu lebih maju dibandingkan masa lalu. Masa lalu digambarkan sebagai periode ketidakmatangan, bahkan kerap dilabeli sebagai barbaric dan savage,” tuturnya.
Sementara, konsep kemajuan di Muhammadiyah memiliki sifat distingtif dan unik, sehingga dapat ditarik garis pembeda antara konsep kemajuan ala Muhammadiyah dengan Barat. Sebab Muhammadiyah menekankan, kemajuan mencakup dua hal yakni material dan immaterial atau lahiriah dan rohaniah. (Yus MM)*
0 Komentar