Berikut Esai Kasus Kompol Kosmas Kaju Gae dan Tragedi Affan Kurniawan:
Air Mata di Ruang Sidang: Ketika Nyawa Sipil Tak Lagi Sekadar “Risiko Tugas”
JAKARTA, kiprahkita.com –Tangis Kompol Kosmas Kaju Gae di ruang Sidang Etik Polri bukan hanya luapan emosi seorang perwira yang kehilangan jabatan. Itu adalah cermin retak institusi kepolisian yang masih terus dihantui oleh dilema klasik: menjaga ketertiban dengan kekerasan, lalu membayar harga sosialnya ketika nyawa rakyat menjadi tumbalnya.
Putusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) bagi Komandan Batalyon Resimen IV Korbrimob Polri ini bukan semata hukuman personal. Ia menjadi simbol dari bagaimana satu tindakan di lapangan bisa merobohkan tembok integritas yang telah dibangun bertahun-tahun—dan sekaligus memancing pertanyaan publik yang lebih besar: sampai kapan nyawa warga sipil menjadi collateral damage dari sistem yang belum berubah?
Antara Perintah dan Kesadaran Etik
Kompol Kosmas membela diri dengan dalih, "Saya hanya menjalankan tugas." Kalimat ini telah menjadi frasa sakral dalam setiap tragedi aparat yang menelan korban sipil. Namun pernyataan tersebut hari ini terdengar hampa. Karena pada kenyataannya, tugas yang dijalankan tanpa kendali etik dan tanpa empati, hanyalah bentuk lain dari kekerasan legal yang dibungkus otoritas.
Polri menyatakan tindakan Kosmas tidak sesuai prinsip profesionalitas dan proporsionalitas. Tapi pertanyaannya, apakah hanya Kosmas yang bersalah? Atau kita sedang menyaksikan seorang perwira ‘dikorbankan’ agar institusi bisa membersihkan wajah di depan kamera publik?
Nyawa Affan Kurniawan: Lenyap, Lalu Diusut Setengah Hati?
Affan bukan tokoh besar. Ia bukan pejabat. Ia bukan aktivis yang kerap menghiasi media. Ia hanyalah seorang pengemudi ojek online—sosok kecil yang sehari-hari berjuang mencari nafkah. Namun justru karena itulah, tragedi yang merenggut nyawanya menjadi begitu mengguncang. Sebab di matanya, negara adalah pelindung, bukan ancaman.
Ketika rantis Brimob melindas tubuhnya, Affan mungkin bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi. Yang pasti, keluarganya kini hanya bisa memeluk nisan dan menyimpan kemarahan. Publik menunggu, "Apakah kasus ini akan diseret ke ranah pidana, atau cukup berhenti di meja etik yang mengorbankan satu nama?"
PTDH: Langkah Serius atau Sekadar Simbolik?
Vonis etik terhadap Kosmas bisa dibaca sebagai langkah progresif Polri dalam menegakkan disiplin internal. Tapi publik—yang selama ini dijejali tragedi demi tragedi aparat—menuntut lebih dari sekadar hukuman administratif.
Keadilan yang diharapkan bukanlah “pencopotan jabatan” tapi proses pidana yang adil dan transparan, hingga benar-benar terbukti siapa yang bertanggung jawab atas kematian Affan.
Jika tidak, maka yang terjadi hanyalah pengulangan: nama-nama dibuang demi menyelamatkan institusi, tanpa pernah menyentuh akar masalah—budaya kekerasan struktural yang menjadikan nyawa sipil hanya angka statistik.
Sebuah Ujian untuk Reformasi Polri
Kasus ini adalah ujian. Bukan hanya bagi Kompol Kosmas, tetapi bagi seluruh jajaran Polri dan pemerintah yang berkomitmen pada reformasi hukum. Jika nyawa rakyat masih bisa hilang di bawah roda rantis tanpa pertanggungjawaban yang jelas, maka tak ada yang berubah sejak era-era represif sebelumnya.
Air mata Kosmas sah untuk dihargai sebagai luapan manusiawi. Tapi tangis keluarga Affan tak kalah memilukan—dan mereka tidak punya podium, tidak punya ruang pembelaan. Mereka hanya punya kehilangan.
Penutup
Tangisan di ruang sidang Komisi Kode Etik Polri adalah simbol retaknya sistem yang seharusnya berdiri untuk melindungi. Kasus ini bukan akhir, melainkan permulaan: apakah Polri siap mengadili dengan nurani, atau hanya akan terus menutupi luka dengan prosedur?
Nyawa rakyat bukan risiko tugas. Ia adalah batas moral yang tidak boleh dilewati oleh siapa pun—termasuk mereka yang berseragam.
Tangis pecah di ruang sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) Polri, Rabu (3/9/2025). Kompol Kosmas Kaju Gae, Komandan Batalyon Resimen IV Korbrimob Polri, tak mampu menahan air mata saat mendengar vonis berat dijatuhkan kepadanya: pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Putusan itu terkait insiden nahas yang menewaskan seorang pengemudi ojek online (ojol), Affan Kurniawan, setelah terlindas kendaraan taktis (rantis) Brimob beberapa waktu lalu. Kejadian tersebut sempat memicu gelombang kemarahan publik, terutama setelah video peristiwa itu menyebar luas di media sosial.
![]() |
Ruang Sidang Etik Polri |
Tangis di Ruang Sidang
Dengan suara bergetar dan sesekali terhenti karena isakan, Kosmas menyampaikan pembelaan terakhirnya. Ia mengaku tak pernah berniat mencelakai siapa pun, apalagi sampai merenggut nyawa. Menurutnya, semua yang dilakukannya saat itu adalah bagian dari pelaksanaan tugas.
“Sesungguhnya saya hanya melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai perintah institusi dan perintah komandan secara totalitas,” ujar Kosmas di Gedung TNCC Mabes Polri.
Ia menegaskan, tugas yang dipikulnya kala itu bukan perkara mudah. Ada risiko besar yang menurutnya harus ditanggung demi menjaga ketertiban umum sekaligus melindungi keselamatan anggotanya di lapangan.
Namun, apapun alasannya, insiden yang menewaskan Affan menjadi titik balik dalam karier panjangnya di Korps Brimob.
Permintaan Maaf dan Penyesalan
Dalam kesempatan itu, Kosmas tak hanya membela diri. Ia juga menyampaikan permintaan maaf, baik kepada keluarga korban, masyarakat, hingga institusi Polri sendiri. “Pada kesempatan ini, saya juga mau menyampaikan duka cita yang mendalam kepada korban Affan Kurniawan serta keluarga besar. Sungguh-sungguh di luar dugaan,” ucapnya.
Kosmas menambahkan bahwa dirinya baru mengetahui adanya korban jiwa setelah video kejadian viral di publik. Ia menegaskan bahwa saat peristiwa berlangsung, ia sama sekali tidak menyadari bahwa ada seseorang yang telah meregang nyawa.
“Info tersebut baru saya ketahui beberapa jam kemudian. Saat kejadian, saya tidak tahu-menahu,” katanya lirih.
PTDH: Hukuman Terberat dalam Etika Kepolisian
Putusan PTDH bagi seorang perwira menengah Polri bukanlah perkara sepele. Itu adalah vonis etik paling berat yang berarti mengakhiri karier panjangnya di kepolisian dengan catatan hitam.
Sidang etik menyatakan, tindakan dan perintah yang dijalankan Kosmas dalam operasi pengamanan hingga berujung hilangnya nyawa warga sipil tidak sesuai dengan prinsip profesionalitas dan proporsionalitas.
Vonis ini sekaligus menjadi pesan keras dari pimpinan Polri bahwa tragedi yang menimpa masyarakat, apalagi hingga memakan korban jiwa, tak boleh dianggap remeh meski terjadi dalam konteks tugas pengamanan.
Karier yang Hancur di Ujung Tugas
Kosmas bukan sosok baru di tubuh Korbrimob. Dengan pangkat Komisaris Polisi, ia memegang jabatan strategis sebagai Komandan Batalyon Resimen IV Korbrimob. Jabatan itu identik dengan kedisiplinan tinggi, loyalitas mutlak, dan kemampuan memimpin dalam situasi genting.
Namun, satu peristiwa telah mengubah segalanya. Karier panjang yang dibangun bertahun-tahun runtuh hanya dalam hitungan hari. Kini, ia harus pulang ke rumah sebagai mantan polisi dengan status PTDH sebuah aib besar di dunia kepolisian.
Publik Menunggu Langkah Lanjut
Meski sudah menerima vonis etik, Kosmas menyebut dirinya belum sepenuhnya menyerah. Ia mengaku akan mendiskusikan putusan ini dengan pihak keluarga sebelum menentukan langkah hukum atau banding.
“Atas putusan ini, saya akan pikir-pikir terlebih dahulu. Saya harus berkomunikasi dengan keluarga tuturnya.
Sementara itu, publik masih menunggu kejelasan lebih jauh: apakah proses hukum pidana akan berlanjut terhadap Kosmas dan anggota lain yang terlibat, atau kasus ini berhenti di meja etik.
Luka Bagi Keluarga Korban
Di balik tangisan dan pembelaan Kosmas, keluarga Affan Kurniawan masih terhuyung menanggung duka. Kehilangan sosok pencari nafkah utama tentu bukan perkara mudah. Affan, yang sehari-hari berjuang di jalan sebagai driver ojek online, kini hanya tinggal nama.
Di titik ini, pertanyaan publik terus menggema: Apakah nyawa warga sipil sepadan dengan alasan “menjalankan tugas”? Ataukah insiden ini justru membuka luka lama tentang watak kekerasan aparat saat turun ke jalan?
Sebuah Cermin bagi Polri
Kasus Kompol Kosmas Kaju Gae menegaskan dilema klasik yang dihadapi institusi Polri: di satu sisi aparat dituntut tegas menjaga ketertiban, di sisi lain setiap tindakan represif berpotensi menggerus kepercayaan publik.
Vonis PTDH bisa saja dianggap sebagai langkah maju Polri dalam menegakkan akuntabilitas. Namun, bagi sebagian pihak, itu belum cukup. Mereka menuntut proses hukum pidana berjalan transparan agar ada kepastian keadilan, bukan hanya pengorbanan karier seorang perwira.
Sidang etik yang berujung tangisan Kompol Kosmas hanyalah satu babak dari tragedi panjang yang menewaskan Affan Kurniawan. Publik kini menanti, apakah kasus ini akan menjadi titik balik Polri dalam memperbaiki citra dan menegakkan akuntabilitas, atau justru menjadi sekadar cerita lain tentang pengorbanan seorang perwira demi meredam gelombang kritik. (B1)
0 Komentar