Bikin Bangga! Mahasiswa UIN Bukittinggi Bongkar Isu Panas Maulid dan Krisis Moral di Ajang Internasional

BUKITTINGGI, kiprahkita.com Bikin Bangga! Mahasiswa UIN Bukittinggi Bongkar Isu Panas Maulid dan Krisis Moral di Ajang Internasional 

Dua mahasiswa Prodi Ilmu Hadis UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi sukses menorehkan prestasi membanggakan di ajang Seiba International Fest 2025. Forum akademik internasional ini diikuti oleh peserta dari berbagai negara Asia Tenggara, mulai dari Thailand, Kamboja, Filipina, hingga Malaysia.

Adalah Ridwan dan Puja Kurnia Loka, dua intelektual muda yang berhasil menggebrak forum dengan gagasan segar yang langsung menarik perhatian audiens. Keduanya tampil percaya diri, membawakan isu berbeda namun sama-sama relevan dengan problem keislaman kontemporer.

Ridwan 

Ridwan tampil dengan penelitian berjudul “Analisis Pemahaman Ulama terhadap Hadis Puasa Hari Senin sebagai Dalil Maulid Nabi.” Dalam paparannya, ia menegaskan bahwa hadis puasa Senin tidak hanya dipahami secara literal, tetapi juga kontekstual dan spiritual.

Menurutnya, puasa Senin yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dapat dimaknai sebagai bentuk syukur atas kelahiran beliau, sehingga bisa dijadikan dasar legitimasi perayaan Maulid Nabi. “Isu Maulid Nabi selalu hangat dibicarakan. Saya ingin menunjukkan bahwa tradisi ini punya dasar yang kuat dalam hadis,” ujar Ridwan.

Ia juga mengutip pandangan dua tokoh besar Islam, Sayyid Alawi al-Maliki dan Imam Suyuthi, yang menekankan pentingnya aspek syukur, ta’zim, serta nilai spiritual dalam memaknai Maulid Nabi. Gagasannya pun menuai apresiasi dari peserta forum.

Berbeda dengan Ridwan, Puja Kurnia Loka mengangkat isu yang jauh lebih kontemporer dan tak kalah mengejutkan, yakni “Aktualisasi Konsep Al-Haya’ dalam Menangkal Fantasi Sedarah di Tengah Krisis Keluarga Modern.”

Dalam presentasinya, Puja menyoroti fenomena incest fantasy yang marak di era digital. Menurutnya, fenomena ini sangat berbahaya karena berpotensi merusak moral generasi muda sekaligus melemahkan ketahanan keluarga. “Rasa malu adalah benteng utama. Tanpa itu, generasi muda akan rapuh menghadapi gempuran moral digital,” tegas Puja.

Sebagai solusi, ia menawarkan penguatan kembali nilai al-haya’ (rasa malu) dalam ajaran Islam, yang menurutnya dapat menjadi tameng moral sekaligus pondasi pendidikan seksual Islami sejak dini. Gagasannya dipandang relevan dengan situasi sosial modern yang semakin kompleks.

Kehadiran dua mahasiswa ini menjadi bukti nyata bahwa generasi muda Islam Indonesia mampu memberikan kontribusi penting di kancah akademik global. Dari perdebatan klasik tentang Maulid Nabi hingga tantangan kontemporer terkait krisis moral digital, Ridwan dan Puja berhasil memperlihatkan bahwa ilmu hadis bisa diaktualisasikan untuk menjawab problem umat.

Prestasi ini sekaligus menegaskan bahwa UIN Bukittinggi tidak hanya berperan di tingkat nasional, tetapi juga punya posisi penting dalam percaturan akademik internasional. Harapannya, keberhasilan Ridwan dan Puja bisa menginspirasi mahasiswa lain untuk berani tampil membawa gagasan Islam yang segar, solutif, dan kontekstual.

Muda, Tajam, dan Relevan: Saat Mahasiswa UIN Bukittinggi Bicara Maulid dan Moral di Panggung Internasional

Di tengah tantangan besar yang dihadapi dunia Islam hari ini—antara menjaga otentisitas tradisi dan merespons dinamika zaman—muncul dua suara muda dari ranah Minangkabau yang mengguncang forum akademik internasional. Ridwan dan Puja Kurnia Loka, mahasiswa Prodi Ilmu Hadis UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi, bukan sekadar hadir di Seiba International Fest 2025. Mereka membawa pemikiran segar, mendobrak stagnasi, dan memperlihatkan bahwa ilmu hadis bukan warisan beku, tapi instrumen dinamis untuk membedah realitas kontemporer.

Puja Kurnia Loka

Ridwan, lewat kajiannya tentang hadis puasa Senin sebagai legitimasi Maulid Nabi, memasuki wilayah yang sering diperdebatkan dengan narasi yang tidak hanya ilmiah, tetapi juga menyentuh spiritualitas umat. Ia membaca teks hadis bukan dengan kacamata hitam-putih literal, tetapi dengan pendekatan kontekstual dan maqashidi—sebuah metode yang menunjukkan kematangan intelektual. Ia mengangkat pandangan tokoh seperti Sayyid Alawi al-Maliki dan Imam Suyuthi untuk menegaskan bahwa Maulid bukan sekadar perayaan, tapi ekspresi cinta, syukur, dan penghormatan terhadap Rasulullah SAW. Di saat sebagian pihak mempersoalkan bentuk lahiriahnya, Ridwan mengingatkan pentingnya melihat ruh dan makna di baliknya.

Namun gebrakan tak berhenti di situ. Puja Kurnia Loka, dengan berani menyentuh isu yang lebih gelap dan sering dihindari dalam forum-forum keagamaan: incest fantasy di era digital. Topik ini bukan hanya relevan, tapi sangat mendesak untuk dibicarakan, apalagi ketika dunia maya semakin membuka ruang bagi penyimpangan yang sebelumnya tabu. Dengan menawarkan konsep al-haya’ (rasa malu) sebagai tameng moral, Puja tidak sekadar menyerukan larangan, tapi memberikan kerangka edukatif berbasis nilai Islam. Ia menggugah kesadaran bahwa pendidikan seksual Islami harus dimulai bukan dari larangan semata, melainkan dari penanaman nilai sejak dini—dengan al-haya’ sebagai fondasi utama.

Kedua topik ini, meski berbeda kutub—satu berbasis tradisi klasik, satu menukik ke krisis kontemporer—memiliki satu benang merah: aktualisasi ilmu hadis sebagai solusi atas problem umat. Ridwan dan Puja bukan hanya membicarakan hadis sebagai teks, tetapi sebagai lensa untuk melihat dan merespons dunia. Mereka telah membuktikan bahwa ilmu agama tidak kalah tajam dibanding ilmu modern, asalkan diolah dengan pendekatan kritis, kontekstual, dan solutif.

Lebih jauh, keberhasilan ini juga menantang cara pandang lama terhadap pendidikan Islam. UIN Bukittinggi, sebagai institusi yang mungkin belum sering terdengar di peta akademik global, kini hadir sebagai pemain yang tidak bisa diabaikan. Ini bukan hanya kemenangan personal Ridwan dan Puja, tapi kemenangan bagi kampus, Sumatera Barat, dan bahkan Islam Indonesia yang moderat, progresif, dan solutif.

Di tengah gelombang radikalisasi agama di satu sisi, dan sekularisasi nilai di sisi lain, kontribusi mahasiswa seperti mereka menjadi oase harapan. Mereka menegaskan bahwa generasi muda Islam tidak hanya mampu berdiri di forum internasional, tapi juga bicara dengan substansi yang mencerahkan. Mereka adalah wajah baru intelektual Muslim—tajam dalam berpikir, peka terhadap realitas, dan berani menggagas.

Sebagaimana pepatah Minang berkata, “Alam takambang jadi guru,” Ridwan dan Puja telah menjadikan dunia sebagai ruang belajar dan Islam sebagai cahaya untuk menyinari zaman. Kini tugas kita adalah memastikan bahwa cahaya itu tidak padam, melainkan diteruskan, dikembangkan, dan dinyalakan kembali oleh generasi berikutnya. (Ilham Dosen UIN BKT)*

Posting Komentar

0 Komentar