Farid Wajdi: Negara yang Terlambat dalam Penetapan Status Bencana Nasional Sumatera

Negara yang Terlambat Bernapas: Kegagalan Moral dalam Penetapan Status Bencana

MEDAN, kiprahkita.com Di tengah reruntuhan rumah, listrik yang padam total, dan warga yang bertahan hidup seadanya, negara tampak hadir dengan langkah paling lambat. Ketika korban terus bertambah dan kerusakan merambat tanpa batas, keputusan untuk menetapkan status bencana nasional justru tersendat di ruang-ruang rapat, seolah menunggu persetujuan tak kasatmata yang lebih penting daripada ribuan nyawa.

Inilah potret mengenaskan yang disorot Farid Wajdi—Founder Ethics of Care, dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, dan mantan Anggota Komisi Yudisial—yang menilai lambannya respons negara bukan sekadar kelambatan teknis, tetapi kegagalan moral yang telanjang. Baginya, setiap jam keterlambatan adalah bukti lemahnya sensitivitas moral dan keberanian politik pemerintah dalam menghadapi tragedi kemanusiaan.

Farid berbicara dengan bahasa yang sederhana namun menggigit: ketika ribuan nyawa bergantung pada kecepatan negara, keputusan seharusnya menjadi refleks pertama, bukan produk tarik-ulur birokrasi. Namun yang terjadi justru sebaliknya—negara sibuk mempertahankan narasi, sementara rakyat sibuk bertahan hidup.

Narasi Pemerintah vs. Kenyataan Lapangan

Pemerintah pusat berulang kali menyebut bahwa penanganan masih dapat dilakukan oleh pemerintah daerah. Namun Farid melihat narasi itu patah ketika dihadapkan pada realitas lapangan: daerah kolaps.

Akses listrik terputus. Logistik tersendat. Ribuan rumah hilang. Pengungsian berlangsung tanpa standar kemanusiaan.

Jika kondisi seperti itu masih dianggap “bisa ditangani daerah”, maka pertanyaan Farid menjadi relevan sekaligus menyakitkan: Apa sebenarnya definisi ‘kolaps’ menurut pemerintah?

Politik dan Ekonomi yang Membayangi Kemanusiaan

Lebih tajam lagi, Farid menyinggung bahwa lambannya keputusan bukan soal prosedur, melainkan soal kalkulasi politik dan ekonomi.

Status bencana nasional membuka intervensi negara secara penuh—dana lintas kementerian, pengerahan aparat, bahkan potensi bantuan internasional. Konsekuensinya jelas: pengakuan bahwa sistem mitigasi, tata ruang, dan pengelolaan lingkungan selama ini bermasalah.

Bagi sebagian elite, pengakuan itu mungkin terlalu mahal. Lebih mudah mempertahankan citra stabilitas daripada menanggung malu institusional.

Masalahnya, sementara pemerintah berhitung reputasi, rakyat di bawah berhitung napas

Ketika Kemanusiaan Tersisih oleh Komunikasi Politik

Di banyak lokasi bencana, warga bertahan hidup di lantai-lantai masjid. Ada yang merobek pintu minimarket karena kelaparan. Jenazah ditaruh di sudut bangunan yang masih utuh karena tidak ada tempat lain.

Ini bukan tanda-tanda kegagalan warga. Ini tanda negara terlambat hadir.

Tidak semua kekacauan adalah kriminalitas; kadang ia adalah jeritan paling dasar dari tubuh-tubuh yang dipaksa bertahan tanpa negara.

Rasa Tidak Adil yang Mencabik

Farid juga menyinggung rasa ketidakadilan yang tumbuh. Warga membandingkan kecepatan pemerintah menangani bencana di daerah lain—dan merasa ditempatkan sebagai warga kelas dua.


Ketidakadilan bukan hanya soal distribusi bantuan. Ia juga tentang siapa yang dianggap layak segera diselamatkan, dan siapa yang harus menunggu hingga situasi cukup “penting” untuk diperhatikan pusat.

Negara Melihat, Negara Tahu, Namun Tidak Bergegas

Pada akhirnya, penetapan status bencana nasional bukan hadiah politik. Itu mandat konstitusional.

Namun ketika negara ragu terlalu lama, publik akan mencatat momen ini sebagai salah satu titik paling kelam dalam etika pemerintahan: negara melihat, negara tahu, tetapi tidak bergerak dengan kecepatan yang diminta kemanusiaan.

Bencana telah melampaui ambang kewajaran. Dalam situasi seperti ini, perhitungan politik bukan hanya tidak relevan—itulah bentuk pengkhianatan moral paling sunyi. *(Tajdid.id)*

Bahkan Ada Momen Pilu Birokrasi Kita

Ada momen-momen di mana satu kalimat dari pejabat tinggi bisa merangkum semua yang salah dengan birokrasi kita, dan kali ini pelakunya adalah Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto.

Tanggal 28 November 2025, saat ratusan mayat masih tertimbun lumpur di Tapanuli, saat ribuan orang kehilangan rumah, saat jalan lintas Sumatera putus total, beliau menggelar konferensi pers dan berkata kurang lebih begini: 

“Memang terlihat mencekam karena berseliweran di media sosial, tapi begitu kami cek, banyak daerah sudah tidak hujan lagi dan relatif membaik.”

Saya ulangi: ratusan orang mati, ratusan hilang, tapi menurut Kepala BNPB, itu cuma “terlihat mencekam di medsos”. 

Dua hari kemudian, tanggal 30 November, beliau baru terbang ke Tapanuli Selatan. Turun dari helikopter, melihat langsung lumpur setinggi atap rumah, mayat-mayat yang baru ditemukan, warga yang menangis memeluk foto keluarganya yang hilang. Baru saat itulah beliau bilang, dengan muka terkejut: “Saya tak mengira sebesar ini. Saya mohon maaf, Pak Bupati.”

Jadi begitu? Baru percaya setelah melihat sendiri? Berarti selama ini keputusan soal nyawa orang diambil dari balik meja di Jakarta sambil scroll-scroll Twitter? Baru sadar bencana itu nyata setelah menginjak lumpur dan mencium bau mayat?

Ini bukan soal salah bicara. Ini soal mentalitas. 

Mentalitas pejabat yang menganggap video viral di TikTok dan Instagram cuma “konten”, bukan jeritan warga yang rumahnya hanyut cuma “efek medsos”. Mentalitas yang menjadikan parameter birokrasi lebih penting daripada fakta bahwa ada 442 orang (per hari ini) sudah terkubur hidup-hidup.

Kita pernah mengolok-olok pejabat luar negeri yang bilang “let them eat cake”. Ternyata versi Indonesia adalah “let them post di medsos”.

Yang paling menyakitkan, permintaan maaf itu pun terlambat dan terpaksa. Bukan karena hati nurani, tapi karena akhirnya terpaksa turun ke lapangan setelah dikritik habis-habisan. Kalau tidak ada tekanan publik, mungkin sampai sekarang beliau masih yakin bahwa banjir bandang yang menewaskan ratusan orang itu cuma “kelihatan mencekam doang”.

Inilah kegoblokan yang sesungguhnya: bukan tidak tahu, tapi tidak mau tahu sampai dipaksa tahu. Bukan tidak bisa empati, tapi memilih tidak berempati sampai tidak ada pilihan lain.

Semoga Tuhan mengampuni kita semua yang diam saja setiap kali pejabat model begini masih dibiarkan duduk di kursi empuk mereka, sementara rakyat dikubur lumpur sambil menunggu “verifikasi lapangan”.

Ruly Achdiat Santabrata

Posting Komentar

0 Komentar