PADANG PANJANG, kiprahkita.com –Negara yang Tersesat di Balik Layar
Ada masa ketika negara diukur dari ketegasan, kecepatan, dan keberpihakan pada rakyatnya. Tapi akhir tahun ini, Indonesia dipaksa menatap cermin yang retak—dan yang kita lihat bukanlah wajah negara yang sigap menghadapi bencana, melainkan siluet para pejabat yang berdiri lebih dekat ke kamera daripada ke penderitaan rakyatnya.
Di tengah tragedi yang menimpa Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—ketika rumah hanyut, ribuan orang mengungsi, ratusan dinyatakan meninggal dan hilang, serta aparat keamanan gugur dalam tugas—yang muncul bukan kepemimpinan yang menenangkan, melainkan miskalkulasi empati. Lebih menyakitkan: miskalkulasi itu bukan la
hir dari ketidaktahuan, tetapi dari keyakinan bahwa realitas bisa ditafsirkan dari belakang meja di Jakarta saja.
![]() |
Ketika seorang pejabat tinggi negara merespons laporan bencana dengan menyebut bahwa situasi “terlihat mencekam hanya yang berseliweran di media sosial saja”, publik bukan hanya tersentak—mereka dipaksa menyadari betapa jauhnya jarak antara penderitaan warga dan persepsi orang yang seharusnya melindungi mereka.
Apakah tragedi harus ditonton dulu secara langsung baru dianggap nyata?
Apakah bau lumpur dan tubuh yang ditemukan dari reruntuhan harus tercium dulu baru dianggap bencana sesungguhnya?
Inilah paradoks negeri yang semakin pandai bicara tetapi semakin gagap merasakan.
Indonesia hari ini tidak kekurangan orang pintar. Tidak kekurangan ahli. Tidak kekurangan struktur birokrasi.
Yang kosong adalah rasa; yang hilang adalah akal sehat; yang rapuh adalah keberanian untuk menerima kenyataan sebagaimana adanya, bukan sebagaimana tampilannya di layar ponsel.
Kita hidup di era pejabat yang terlalu mahir merawat citra, namun gagap ketika harus merawat warganya.
Mereka tampil dengan kopiah rapi, janggut tertata, tutur kata selembut kapas—tetapi setiap kalimat yang manis itu pudar ketika dibandingkan dengan tindakan yang tertunda, keputusan yang tersesat, atau empati yang baru muncul setelah sorotan kamera dan tekanan publik meningkat.
Di tengah kontras inilah, masyarakat di daerah bencana justru menunjukkan ketegaran yang lebih negarawan daripada mereka yang duduk di kursi negara.
Mereka merangkak, bertahan, saling bantu, dan tetap berdiri tegak meski negara hadir terlambat atau hadir dengan persepsi yang keliru.
Sungguh ironis: rakyat yang kehilangan rumah masih memiliki martabat, sementara sebagian pemimpin yang masih memiliki jabatan kehilangan rasa tanggung jawab.
Kemarahan yang muncul hari ini bukan semata kemarahan karena kelambatan birokrasi.
Ini adalah kemarahan karena diremehkan.
Karena luka nyata dianggap “efek medsos”.
Karena duka mendalam ditanggapi dengan keterangan pers yang kering dan defensif.
Karena empati seolah bergantung pada trending topic.
Akhirnya, sebagian orang mulai bertanya:
Untuk apa memilih jika suara kami hanya dianggap ketika bencana sudah viral?
Apa gunanya demokrasi jika akal sehat dikesampingkan demi pencitraan?
Apa gunanya negara jika rakyat harus menyelamatkan diri sendiri sementara pejabat menyelamatkan reputasinya?
Namun seperti kata Gus Dur, “Memaafkan tidak mengubah masa lalu, tetapi memberi ruang besar untuk masa depan.”
Pertanyaannya kini:
Apakah kita masih memberi ruang itu?
Atau justru kita sudah terlalu letih untuk berharap pada mereka yang seharusnya memimpin, hingga akhirnya kita memilih menjaga masa depan kita sendiri tanpa menunggu negara membuka matanya?
Karena pada akhirnya, tragedi terbesar bukanlah bencana yang meluluhlantakkan tanah.
Tragedi terbesar adalah ketika rakyat dipaksa menyadari bahwa mereka terjebak di negeri yang lebih percaya pada layar ponsel daripada pada jeritan warganya sendiri. (BS)*

0 Komentar