Banjir dan Longsor di Bali

Banjir dan Longsor di Bali – Antara Alam, Infrastruktur, dan Kesiapsiagaan

BALI, kiprahkita.com Bali, pulau yang dikenal dengan keindahan alam dan budayanya yang memesona, belum lama ini kembali diterpa bencana alam. Pada bulan September 2025, curah hujan ekstrem melanda berbagai wilayah di Bali, mengakibatkan banjir besar dan longsor di tujuh kabupaten/kota. Fenomena ini bukan hanya menjadi perhatian masyarakat lokal, tetapi juga menarik sorotan nasional mengingat Bali adalah destinasi wisata utama di Indonesia.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan setidaknya 16 orang meninggal dunia, satu orang masih dalam pencarian, dan ratusan lainnya mengungsi. Kota Denpasar menjadi salah satu wilayah terdampak terparah, dengan lebih dari 80 titik banjir yang memengaruhi aktivitas masyarakat dan sektor ekonomi. Selain itu, beberapa infrastruktur penting seperti jalan, ruko, dan fasilitas umum mengalami kerusakan cukup serius. Di beberapa tempat, tanah longsor juga menyebabkan akses jalan tertutup dan evakuasi menjadi sulit.

Bencana ini terjadi sebagai akibat dari curah hujan yang tinggi dalam waktu singkat, yang didorong oleh aktivitas gelombang ekuator Rossby di wilayah Indonesia. Namun, di balik fenomena alam tersebut, terdapat juga faktor manusia yang memperparah dampaknya—seperti sistem drainase yang kurang memadai, alih fungsi lahan hijau menjadi kawasan komersial, serta kesadaran mitigasi bencana yang masih minim di beberapa daerah.

Tragedi banjir ini mengingatkan kita bahwa meskipun Bali dikenal dengan pesona dan keindahannya, pulau ini tetap rentan terhadap bencana alam. Perlu adanya kerja sama antara pemerintah daerah, masyarakat, dan sektor swasta untuk membangun sistem mitigasi dan kesiapsiagaan yang lebih baik. Edukasi publik, revitalisasi sistem saluran air, dan pengendalian tata ruang menjadi langkah krusial untuk menghindari bencana serupa di masa depan.

Akhir kata, banjir di Bali adalah peringatan bahwa perubahan iklim dan eksploitasi alam dapat membawa dampak besar jika tidak ditangani dengan bijak. Ke depan, menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian alam adalah kunci agar Bali tetap menjadi pulau yang tidak hanya indah, tapi juga aman dan tangguh menghadapi bencana.


Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari. (FOTO: ANTARA/M Riezko Bima Elko Prasetyo)

Untuk korban meninggal terbanyak tercatat di Kota Denpasar delapan jiwa, kemudian Kabupaten Gianyar tiga jiwa, Jembrana dua jiwa, dan Badung satu jiwa,” jelas Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, di Jakarta pada Kamis (11/9/2024). Total korban jiwa mencapai 14 orang, dengan ratusan warga terpaksa mengungsi.

Tim petugas gabungan masih aktif melakukan operasi tanggap darurat, termasuk pencarian dua warga yang hilang di Kota Denpasar, evakuasi warga terdampak, serta pengendalian banjir dan longsor. Jumlah pengungsi tercatat sebanyak 562 orang yang tersebar di titik pengungsian sementara, dengan rincian 327 warga di Jembrana dan 235 warga di Denpasar. “Para penyintas itu memanfaatkan posko dan sejumlah fasilitas umum seperti sekolah, balai desa, mushola, dan banjar sebagai lokasi pengungsian,” tambah Abdul Muhari. (TINews/BS)*

Posting Komentar

0 Komentar