Perhutanan Sosial sebagai Jalan Kesejahteraan: Komitmen Baru Kabupaten Pasaman
PASAMAN, kiprahkita.com –Kabupaten Pasaman menandai babak baru dalam komitmennya terhadap pembangunan berkelanjutan dengan mempercepat implementasi program perhutanan sosial. Hal ini ditunjukkan melalui pelaksanaan Forum Refleksi Tim Koordinasi dan Pembentukan Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja PPS) yang berlangsung di Emir Hotel pada Selasa (9/9). Kegiatan strategis ini dibuka langsung oleh Bupati Pasaman, Welly Suhery, dan dihadiri oleh Wakil Bupati Parulian Dalimunte, unsur Forkopimda, anggota DPRD, pimpinan OPD terkait, camat, hingga wali nagari dari wilayah-wilayah yang menjadi prioritas program.
![]() |
Langkah ini bukan hanya seremonial, tetapi sebuah deklarasi nyata: bahwa pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah salah satu pilar pembangunan lokal yang akan didorong dengan serius di Kabupaten Pasaman.
Potensi Besar di Tengah Kawasan Hutan
Kabupaten Pasaman memiliki fakta geografis yang unik—sekitar 60 persen wilayahnya merupakan kawasan hutan. Angka ini adalah peluang sekaligus tantangan. Dalam skema pembangunan konvensional, kawasan hutan kerap dianggap sebagai hambatan ekspansi pembangunan. Namun dalam paradigma perhutanan sosial, hutan justru menjadi aset penting untuk kesejahteraan masyarakat.
“Di Pasaman sudah terbentuk 39 unit perhutanan sosial yang tersebar di 30 nagari, atau setengah dari jumlah nagari yang ada. Ini merupakan modal besar dalam mengelola potensi hutan secara berkelanjutan,” jelas Bupati Welly.
Dengan mengacu pada peta indikatif perhutanan sosial, tercatat ada lebih dari 100 ribu hektar lahan di Pasaman yang berpotensi dioptimalkan untuk program ini. Bila dikelola dengan baik, angka tersebut tidak hanya mencerminkan luas kawasan, tetapi juga potensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang luar biasa.
Desentralisasi Kehutanan dan Peran Daerah
Pembentukan Pokja PPS adalah langkah penting dalam mempercepat pelaksanaan kebijakan perhutanan sosial. Melalui lembaga ini, pemerintah kabupaten memiliki mandat dan struktur yang jelas untuk menjalankan fungsi-fungsi strategis: mulai dari fasilitasi, pengurusan perizinan, hingga pendampingan masyarakat pengelola hutan.
Lebih jauh, pembentukan Pokja PPS juga menjadi simbol konkret dari desentralisasi sektor kehutanan—bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya alam tidak lagi sepenuhnya terpusat di pemerintah pusat, tetapi juga menjadi tanggung jawab dan hak pemerintah daerah untuk mengelola dengan lebih responsif terhadap kondisi lokal.
Pemberdayaan Masyarakat: Inti dari Perhutanan Sosial
Yang tak kalah penting, program ini berakar pada pendekatan pemberdayaan masyarakat. Perhutanan sosial bukan hanya soal izin mengelola hutan, tetapi juga bagaimana masyarakat diberikan akses legal, keterampilan, dan dukungan agar mampu memanfaatkan hutan tanpa merusaknya.
Bupati Pasaman dengan tegas menyatakan bahwa program ini harus menjadi alat untuk menurunkan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan warga.
“Pemberdayaan masyarakat berbasis hutan ini diharapkan mampu menekan angka kemiskinan. Karena itu, mari kita manfaatkan peluang ini sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakat Pasaman ke depan,” ucapnya penuh harap.
Hal ini selaras dengan semangat inclusive growth—pertumbuhan ekonomi yang tidak hanya mengejar angka, tetapi juga memastikan bahwa hasilnya dirasakan oleh masyarakat di akar rumput.
Integrasi ke dalam RPJMD: Mengamankan Keberlanjutan
Salah satu langkah strategis dari forum ini adalah dorongan untuk mengintegrasikan program perhutanan sosial dan kerja Pokja PPS ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Ini penting agar program tidak terputus di tengah jalan dan memiliki landasan hukum serta anggaran yang jelas dalam rencana pembangunan lima tahunan.
Dengan integrasi ini, perhutanan sosial akan menjadi bagian dari kerangka besar pembangunan Pasaman, bukan sekadar program sektoral atau proyek jangka pendek.
Penutup: Hutan untuk Rakyat, Rakyat untuk Hutan
Perhutanan sosial di Pasaman adalah contoh nyata bahwa kehutanan bisa menjadi motor pembangunan daerah—asal dikelola dengan partisipatif, inklusif, dan berkelanjutan. Apa yang dilakukan oleh Bupati dan jajaran Pemkab Pasaman patut diapresiasi dan ditiru oleh daerah lain: memandang hutan bukan sebagai beban, tetapi sebagai berkah yang harus dijaga dan dimanfaatkan secara bijak.
Masa depan perhutanan sosial di Pasaman kini tergantung pada konsistensi implementasi, komitmen anggaran, dan keterlibatan aktif masyarakat. Bila semua unsur ini menyatu, maka bukan mustahil Pasaman akan menjadi percontohan nasional dalam praktik pengelolaan hutan yang adil dan menyejahterakan.
0 Komentar