Muhammadiyah Harus Adaptif dengan Medsos, tapi Tidak Boleh Larut

Prof. Dr. Haedar Nashir.(muhammadiyah.or.id)


YOGYAKARTA, kiprahkita.com - Media sosial (medsos) itu kini sudah jadi realitas. Kehadirannya tak bisa dielakkan lagi. Muhammadiyah takkan lepas dari kenyataan ini, maka harus adaptif tapi tidak larut.


“Muhammadiyah tidak akan lepas dari era itu (revolusi teknologi) dan harus bisa hidup dengan melahirkan karya kemajuan yang mempengaruhi realitas tersebut, bukan dipengaruhi,” ujar Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof. Dr. H. Haedar Nashir, M.Si.


Haedar mengatakan hal itu, saat memberi arahan pada kegiatan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Majelis Pustaka dan Informasi (MPI), PP Muhammadiyah di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Jumat (14/7/2023).


Menurutnya, pada era revolusi teknologi, media sosial (medsos) bukan lagi menjadi realitas maya, tapi realitas nyata. Ketika realitas kehidupan ini sangat dipengaruhi teknologi dengan segala derivasinya, maka Muhammadiyah tidak akan lepas dari era tersebut. 


Muhammadiyah sebagai organisasi modern dan maju, tegas Haedar, bisa membangun Indonesia dengan kekuatan yang dimilikinya. Kemampuan kita, ujarnya, mengintegrasikan digital di Muhammadiyah ke dalam kemampuan kepemimpinan.


Dalam pandangan Haedar, mubaligh Muhammadiyah juga harus adaptif dengan tetap pada ruh atau substansi dakwah, tidak terseret arus media sosial. Pesan-pesan agama disampaikan secara keren berbasis kokohnya ilmu pengetahuan.


Media sosial sebagai realitas kehidupan, mubaligh Muhammadiyah tidak boleh mengabaikan atau bahkan anti media sosial. Berbagai platform harus diisi dengan konten-konten positif yang sarat nilai.


Beberapa waktu lalu, sebagaimana dirilis pada laman resmi muhammadiyah.or.id., Ketua PP Muhammadiyah Prof. Dadang Kahmad sudah mewanti-wanti, giat di media sosial tidak boleh sembarangan, reapi harus berhati-hati dan mencermati banyak hal.


“Di sana memang tidak ada yang memberikan batasan apapun, tapi kita sebagai orang beriman berhati-hatilah, jangan sampai perkataan kita yang masuk di media sosial yang kita ketik, yang kita buat, kalau kita share menimbulkan ketidakbaikan di masyarakat. Apakah itu kabar bohong, apakah itu kabar dusta, apakah itu kabar yang kita buat-buat,” pesannya.


Dadang menekankan, agar bijak dalam bermedia sosial, Muhammadiyah telah memiliki pedoman, yaitu Fikih Informasi dan Akhlak Bermedia Sosial yang telah diterbitkan oleh Majelis Pustaka dan Informasi pada tahun 2018.


Tuntutan bermedia sosial dengan akhlak mulia ini, katanya, juga ditekankan agar terhindar dari kasus pidana yang muncul, sebagai akibat dari interaksi negatif di dunia maya.


Dadang menyebut, sedikitnya ada tiga hal yang perlu diperhatikan saat ingin menyebarkan informasi dari dunia maya.


Pertama, Apakah Benar?, yakni mengecek kembali informasi yang sama kepada media-media mainstream  yang lain.


Kedua, Apakah Baik?, yakni melihat kepantasan berita yang hendak disebar. Hal-hal negatif seperti kasus kriminal dan pidana, menurutnya tidak layak disebarkan.


Ketiga, Apakah Bermanfaat?, yakni melihat sisi maslahat dan dampaknya dari informasi yang disebar.


“Tiga itulah kebijakan yang harus kita ambil, ketika kita menerima berita di media sosial. Kalau ketiga-tiga kriteria itu bisa kita pikirkan dan kita oke, maka silahkan,” tegasnya.(*/mus)

Posting Komentar

0 Komentar