Polemik Pencabutan Izin oleh Plt. Walikota Bekasi

Oleh Najmuddin M. Rasul

Dosen Komunikasi Poltik Unversitas Andalas


OPINI, KIPRAHKITA.com - Bila kita merujuk pada kebijakan-kebijakan politik menjelang Pemilihan Umum pada era Orde Baru, saya masih ingat pembatasan kegiatan politik dari PPP dan PDI.


Seringkali sebuah izin yang diberikan untuk kegiatan kampanye kala itu, dibatalkan mendadak dan sepihak oleh rezim yang berkuasa waktu.


Itu pada era Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto yang populer dengan sapaan Pak Harto. Tahun 1970-an sampai dengan jatuhnya Pak Harto pada ujung 1980-an tepatnya tahun 1989, demokrasi Indonesia hanya sekedar nama. Prakteknya jauh panggang dari api.


Lengsernya Pak Harto dari puncak kekuasaannya, disebabkan oleh empat hal, yaitu korupsi, kolusi, nepotisme, dan karena demokrasi hanya sekedar menu penyedap kekuasaan saja.

 

Desakan publik untuk Pak Harto lengser dari kekuasaan, tidak dilawannya. Sebaliknya, Pak Harto pada tanggal 21 Mei 1989 menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. 

Peralihan kekuasaan berjalan sesuai dengan konstitusi, wakil presiden otomatis menjadi presiden. Oleh sebab itu, suka atau tidak suka, BJ Habibie atau Pak Habibie menjadi presiden ketiga. 


Uraian di atas, mengajarkan kepada kita semua, untuk selalu berpedoman pada konstitusi dan kehendak rakyat. Kemaslahatan bangsa dan negara di atas segala-galanya. 


Merujuk topik tulisan ini, yakni pencabutan mendadak dan patut diduga hanya sepihak oleh Plt. Wali Kota Bekasi Tri Adhianto ini menunjukkan suatu kebijakan yang sarat aroma politik. Kebetulan, dia diketahui adalah kader salah satu partai politik.


Semestinya, menurut saya, sebuah kebijakan publik itu mesti pemikiran yang akurat. Apa dampak sosial, politik dan kemanaan terhadap warga. Dengan kata lain, setiap kebijakan pejabat publik, mestinya memberikan nuansa politik yang menyejukkan, bukan sebaliknya, membuat kegaduhan politik. 


Menurut saya, kebijakan pejabat publik bisa berdapak positif, bila kebiakan itu berdasarkan kebutuhan publik.  Namun sebaliknya, bila kebijakan politik bernuansa kepentingan politik rezim, ini akan berdampak negatif terhadap partisipasi politik warga.


Pak wako mestinya paham, bahwa di dalam demokrasi, partisipasi politik warga sangat menentukan terhadap kualitas proses demokrasi. 


Walaupun akhirnya, Plt Wako Bekasi itu mengoreksi kebijakan, lalu meminta maaf dan mengalihkan kegiatan senam anggota PKS yang dihadiri Anies Baswedan ke tempat lain, tidak bisa mengurangi persepsi negatif publik akan ketidaknetralan sang plt. walikota.


Seperti yang saya uraikan di atas, bahwa kebijakan sang plt walikota ini bukan hanya menimbulkan polemik dalam masyarakat, tetapi juga bisa menimbulkan polemik antar petinggi partai terkait. 


Polemik adalah: penyelenggara kegiatan mengajukan izin penggunaan Stadion Patriot Candrabhaga kepada Pemerintah Kota Bekasi pada Selasa, 25 Juli 2023. Izin itu pun diberikan Pemkot Bekasi yang disampaikan melalui surat pada Rabu, 26 Juli 2023.


Plt Wali Kota Bekasi Tri Adhianto meminta maaf, karena mencabut izin pemakaian stadion untuk acara senam yang bakal dihadiri Anies Baswedan, Sabtu, 29 Juli 2023 ini. Tri mengatakan pencabutan izin itu karena stadion bakal digunakan untuk pertandingan Liga 1 pada Sabtu malam. 


Plt Wali Kota Bekasi mengakui kurang teliti. Namun menurut saya, kebijakan Tri ini menunjukkan, dia kurang memahami tupoksi seorang pejabat publik yang mengutamakan good governance.***

Posting Komentar

0 Komentar