Universalitas Taufiq Ismail

Jo Puisi, Denai….


Jo puisi denai badendang

Sampai sanjo umua manjalang

Jo puisi denai bacinto

Sabateh laweh alam nangko

Jo puisi denai mangana

Kaabadian dunia nan fana

Jo puisi denai maratok

Sansaro iduik nan indak diharok

Jo puisi denai mangutuak

Angok zaman nan busuak

Jo puisi denai bado’a

Semoga Tuhan mandanga


Taufiq Ismail, 1965

Alih Bahasa Minang oleh Nazif Basir


Oleh Musriadi Musanif, S.Th.I

(Wartawan Utama/Korda Singgalang Kabupaten Tanah Datar)


PADANG PANJANG, kiprahkita.com  - Sebuah puisi yang tak terkira sarat makna. Oleh penulisnya, Tuanku Pujangga Diraja Dr. H. Taufiq Ismail Datuk Panji Alam Khalifatullah, tentu belum terbayangkan, kalau puisi yang ditulisnya pada tahun 1965 dalam Bahasa Indonesia itu, lalu kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Minangkabau oleh seorang tokoh perantau Minang, akan menjadi sebuah karya yang begitu dahsyat.


Mengguncang pilar-pilar kehidupan umat manusia di seluruh dunia. Mampu menelisik ke setiap lorong zaman yang dilintasi.


Cobalah baca puisi itu pelan-pelan. Kapan perlu pejam mata, usai Shalat Tahajjud. Tengah malam menjelang dinihari. Puisi itu akan mampu menjadi motivator dahsyat, membangun semangat bagi jiwa-jiwa yang lelah dan putu asa. Jo Puisi, Denai… benar-benar menjadi sebuah kekuatan spiritual yang dahsyat.


Puisi itu telah diterjemahkan sedikitnya ke dalam 80 bahasa di dunia, ketika Dr. Taufiq Ismail Dt. Panji Alam Khalifatullah memasuki usia 80 tahun pada 2015 silam; 58 bahasa dunia dan 22 bahasa daerah di Indonesia.


Puisi aslinya berjudul “Dengan Puisi, Aku…” ketika dibaca dalam Bahasa Minang, sebagai akar Taufiq Ismail, tentu saja menjadi sangat dahsyat, karena mampu menelisik ke bagian paling mendasar dalam tatanan hidup masyarakat Minangkabau, yang pada tahun 1965 itu belum pulih dari dari sebuah ‘kekalahan besar’ akibat gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) 1958-1959, lalu kemudian negeri ini berada di bawah bayang-bayang ancaman Partai Komunis Indonesia (PKI) yang bermuara pada pemberontakan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI).


Pada tahun 1955 itu, Taufiq Ismail sudah berusia 30 tahun. Beliau dilahirkan di Bukittinggi pada 25 Juni 1935. Di usia itu, kendati semangat dan jiwa muda sedang menyala-nyala, namun beliau sudah meneguhkan komitmen, puisi adalah pilihan utama untuk mengekspresikan semuanya dalam menjalani kehidupan ini.


Dr. H. Taufiq Ismail didampingi istri; Ibu Ati Taufiq Ismail.(dok mus)


Taufiq sangat yakin, puisi adalah jalan hidupnya. Dengan puisi itu, semuanya akan diaplikasikan, termasuk sebagai jalan hidup. Bernyanyi, menangis, mengkspresikan cinta, menjalani hari-hari, mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa, memenuhi kebutuhan hidup, dan lain-lain. Bahkan doa yang disampaikan kepada Sang Maha Pengasih dan Penyayang pun, juga disampaikan dengan puisi. 


PENUH MAKNA

Puisi bagi Taufiq Ismail adalah jalan hidup, cerminan diri, dan filsafat kehidupan. Itu dibuktikan dengan puisi-puisi yang ditulisnya penuh makna, yang beliau tulis pada kondisi aktual, sesuai dengan situasi yang sedang dijalani umat manusia. Sesuai riak gelombang zaman.


Adakalanya Taufiq menyanjung. Membuai-buai keindahan hidup yang sedang dihadapi. Pada kala lainnya, dia mengkritik pedas. Mengacungkan telunjuk dengan tegas, dan tanpa ragu-ragu menolak penyimpangan realitas oleh manusia dengan akibat yang tak diinginkan.


Di kesempatan lain, Taufiq hadir memberi solusi, menunjukkan kiat, dan menjadi suluh bendang dalam menerangi zaman, umat manusia yang sedang terlena atau kebingungan.


Kendati berangkat dari satu puisi awal “Dengan Puisi, Aku….” Namun ketika sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, maka menjadi semakin beragam karena berangkat dari keyakinan, persepsi, dan akar budaya yang berbeda.


Setiap kosa kata di dalam lingkaran kehidupan suatu bangsa, meskipun sama arti letterleknya dengan kosa kata bahasa di tempat lain, tapi makna kultural dan sosialnya tentu menjadi sangat variatif. 


Di sinilah penulis terhanyut, ketika puisi itu dibaca dalam Bahasa Minangkabau, sebagai latar belakang sosio-kultural penulis yang juga merupakan latar belakang sosio-kultural Taufiq Ismail.


Komitmen Taufiq Ismail terhadap adat budaya Minangkabau dan pengamalan ajaran Islam sudah tak perlu diragukan lagi. Selain selalu menjaga dan senantiasa mempertimbangkan panji-panji Minangkabau dalam setiap puisinya, Taufiq juga menyandarkan karyanya kepada tuntunan agama Islam. Sehingga tidaklah mengherankan, banyak puisinya yang diaransir dan dikemas menjadi lagu-lagu penyejuk rohani oleh Bimbo, Chrisye, Achmad Albar, dan lain-lain.


Saat penobatan gelar Datuak Panji Alam Khalifatullah di Rumah Gadang Suku Koto Sungai Gurah, Jorong Baruah Nagari Pandai Sikek, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar, kampung asal ayahnya, Taufiq menegaskan komitmennya dengan adat Minangkabau yang menganut filosofis Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), implementasi dari ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat.


Berbeda dengan penganugerahan gelar adat Minangbakau yang umumnya dipilihkan oleh niniak mamak pemangku adat, Taufiq justru diberi kesempatan memilih sendiri gelar yang akan disandangnya dari empat pilihan: Datuak Panji Alam Khalifatullah, Datuak Maliputi Alam, Datuak Pangulu Nan Sati, dan Datuak Tuanku Alam Basa.


Pilihannya jatuh kepda Datuak Panji Alam Khalifatullah. Menurut Taufiq, maknanya sangat dalam. Gelar Datuak Panji Alam Khalifatullah mengandung makna dan amanah yang demikian mendalam. 

Khalifatullah, sebutnya, adalah menjadi wali Allah di muka bumi guna menegakkan panji-panji kebenaran sesuai dengan tuntunan Alquran dan Sunnah. “Khalifatullah bukan saja sebagai penghormatan, tetapi juga mengingatkan saya dan kita semua akan tugas yang diemban selaku hamba Allah,” ucapnya.


Sementara panji alam, tegasnya, melambangkan bendera, mewakili perasaan yang paling dalam, dan mengandung pemikiran-pemikiran positif-konstruktif untuk alam semesta. Kalau begitu, maka Jo Puisi, Denai….kibarkan panji-panji kebenaran di muka bumi ini. Jo Puisi, Denai….tegakkan kebenaran agama Islam, tanpa seorang pun yang dapat menghalangi.


Puisi memang universal. Berada di atas segala kepentingan. Tapi puisi-puisi Taufiq Ismail, salah satunya tersurat dan tersirat dalam Dengan Puisi, Aku….universalitas bukanlah mencampur-adukkan yang hak dengan yang batil. Universalitas bukanlah mengakui semuanya benar. Universalitas adalah kebenaran itu sendiri. Kebenaran yang datangnya dari Allah SWT.


Komitmen Taufiq dalam Jo Puisi, Denai….disebut terpaut erat dengan ajaran Islam dan nilai-nilai adat budaya Minangkabau, tentu tidak bisa dilepaskan dari puisi-puisi lainnya yang beliau tulis. Semuanya mengandung pesan tauhid, ibadah, dan muamalah. Semuanya mengusung panji-panji kebenaran atau amar makruf, dan mencegah ketidakbenaran atau nahi munkar.


Penulis mengambil kesimpulan seperti itu bukan tanpa alasan. Cukup lama penulis bergaul dengan beliau. Setiap Taufiq Ismail ‘pulang kampung’, penulis hampir selalu berdialog dan menyelami pokok-pokok pikiran, baik dengan berdiskusi langsung maupun dalam bentuk menyaksikan beliau membacakan puisi-puisinya di berbagai kesempatan.(BERSAMBUNG)

Posting Komentar

0 Komentar