Pagaruyuang Batusangka
Tampek bajalan dek urang Baso
Duduak tamanuang tiok sabanta
Oi takana juo, hoi...ayam den lapeh...
PADANG, kiprahkita.com -- Bait akhir lagu berjudul Ayam den Lapeh membahana di senja itu. Pelantunnya berasal dari sejumlah orang. Lintas usia, generasi, dan profesi. Tiga artis yang tampil di panggung, terlihat amat menghayati bait demi bait lagu yang dilantunkan.
Dua vokalis Orkes Gumarang, Anas Joesoef dan Syaiful Nawas, seakan dibawa kembali ke masa kejayaannya di tahun 1950-an. Kendati keduanya sudah mulai mendekati usia satu abad, tapi semangatnya melantunkan tembang-tembang Orkes Gumarang, tidak mau kalah dengan artis muda Minang Ria Amelia, yang juga tampil di panggung mendampingi.
Begitulah yang terjadi pada 26 Februari 2017 silam, di halaman belakang Rumah Budaya Fadli Zon dan menghadap Gunung Singgalang dan Marapi itu. Acara yang dipandu Mak Katik itu, bagian dari peluncuran buku Gumarang: Bapisah Bukannyo Bacarai, karya Fadli Zon.
“Pepatah mengatakan, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading. Nurseha dan beberapa personel Orkes Gumarang memang telah tiada. Nurseha wafat dalam usia 52, sedangkan Asbon meninggal di usia 78 tahun. Tapi lagu Ayam Den Lapeh yang identik dengan keduanya dan Orkes Gumarang, dikenang hingga kini, dan bisa jadi abadi sepanjang masa,” kata Fadli.
Orkes Gumarang, Nurseha dan Lagu Ayam Den Lapeh memang tak bisa dipisahkan. Tapi perlu diingat, kesuksesan Orkes Gumarang bukan karena lagu itu saja. Ada banyak lagu lain yang hingga kini masih populer, misalnya Laruik Sanjo, Baju Kuruang, Oi Kampuang, dan Sayang tak Sudah.
Ada beberapa keunggulan lagu-lagu Orkes Gumarang dibanding dengan tembang-tembang modern saat ini. Lagu-lagu orkes ini umumnya menggunakan Bahasa Minang dan dikemas mendekati pola pantun, namun irama musik yang disajikan amat menyentuh dan menancap langsung ke hati pendengar.
Lirik-lirik dalam Ayam Den Lapeh dan Laruik Sanjo, misalnya. Kedua lagu itu menceritakan duka nestapa. Walaupun si pendengar tak mengerti arti syairnya, namun bisa merasakan penderitaan yang dilukiskan lagu itu. Tak heran, masyarakat dari berbagai daerah lain juga menyukai lagu-lagu Orkes Gumarang.
Fakta demikian memang wajar. Kesuksesan Orkes Gumarang patut menjadi referensi grup-grup musik dan penyanyi Minang masa kini. Lagu-lagu yang dibawakan Orkes Gumarang itu lintas suku. Orang dari suku manapun menyukainya.
***
Setelah enam tahun kemudian, lembar demi lembar buku Orkes Gumarang: Kisah Syaiful Nawas itu kembali saya buka, menggali kembali informasi tentang perjalanan Orkes Gumarang nan fenomenal, khususnya sepanjang tahun 1954-1964.
![]() |
Musriadi Musanif |
Sebenarnya, buku itu saya ambil kembali dari barisan buku-buku karya Fadli Zon yang tersusun dalam koleksi, karena pada hari yang sama, Sabtu (2/9/2023), di Kota Pariaman sedang digelar doa untuk mengenang Elly Kasim, satu dari sejumlah artis legendaris yang pernah bergabung dengan Orkes Gumarang.
Penyair Dr. Taufiq Ismail memujikan lagu-lagu karya Orkes Gumarang. "Ada lagu Orkes Gumarang yang sangat saya suka, karena lagu itu sedikit menggambarkan tentang keindahan kampung ibu saya. Mandaki Jalan Pandaisikek, dan seterusnya," ucap Taufiq.
Fadli mengingatkan saya dengan pepatah Minang: harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading. Banyak di antara personil Orkes Gumarang yang sudah menghadap Yang Maha Kuasa, tetapi mereka telah menancapkan tonggak penting dalam sejarah perjalanan musik di Indonesia.(MUSRIADI MUSANIF, wartawan utama dan instruktur pelatihan jurnalistik)
0 Komentar