![]() |
Najmuddin M. Rasul, Ph.D |
PADANG, kiprahkita.com - Jangan lupa adagium dalam berpolitik: Tidak ada kawan yang setia, tak ada lawan yang abadi, kecuali kepentingan politik.
Demikian dikatakan Dosen Universitas Andalas (Unand) Padang Najmuddin M. Rasul, Ph.D, Ahad (3/9), merespon dinamika politik mutakhir, terakhir dengan koalisi partai politik dalam mencari bakal calon presiden (bacapres) dan bakal calon wakil presiden (bacawapres), yang akan dipilih pada 2024 nanti.
Dinamika terakhir yang terkait dengan lawan dan kawan politik itu adalah munculnya istilah pengkhianat, keluarnya Partai Demokrat dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), keluarnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dari Koalisi Indonesia Raya, dan deklarasi pasangan Capres-Bacapres Anies Rasyid Baswedan dan Muhaimin Iskandar.
Dalam kondisi 'bengkar pasang' seperti itulah, ada petinggi partai politik yang terpancing emosinya, sehingga keluarga istilah-istilah yang oleh sementara kalangan dianggap kasar.
"Pak SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) dan Pak Prabowo (Subianto) adalah dua tokoh dan guru bangsa. Pak SBY dua periode presiden RI. Pak Prabowo pernah Pangkostrad dan beberapa kali calon presiden, sekarang pun ikut bacapres untuk Pilpres 2024," kata Najmuddin.
Ahli bidang komunikasi politik itu menyebut, dua-duanya sekarang adalah penentu di partai politik. SBY adalah ketua majlis tinggi dan dewan pembina Partai Demokrat, sedangkan Prabowo adalah ketua umum Partai Gerindra.
Untuk menyongsong Pilpres 2024, sebut Najmuddin, awalnya Partai Demokrat berkoalisi dalam KPP, yang di situ ada Partai Nasdem dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kemudian, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh merangkul PKB untuk bergabung ke KPP. Gayung pun bersambut, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin pun jadi bacawapres Anies.
Menurutnya, Keputusan politik Paloh ini, menurut Partai Demokrat tidak didiskusikan dengan anggota KPP. Lalu, Pak SBY, Agus Harimukti Yudhoyono (AHY), dan elit-elit Partai Demokrat melihat, keputusan Paloh merangkul PKB, dan memutuskan Cak Imin sebagai bacapresnya Anies, dianggap melanggar kesepakatan di KPP.
"Akhirnya, muncul statemen elit-elit partai bahwa Paloh berkhianat, kemudian Partai Demokrat memutuskan untuk meninggalkan KPP. Hal yang hampir sama juga terjadi di Koalisi Indonesia Raya. Gerindra awalnya membentuk koalisi dengan PKB, dan sepakat bacapresnya Prabowo. Sampai akhirnya Golkar dan PAN pun bergabung ke koalisi ini," sebutnya.
Saat Rakernas Partai Amanat Nasional (PAN), Prabowo malah memaklumatkan perubahan nama koalisinya, bukan lagi KIR tapi berubah menjadi Koalisi Indonesia Maju (KIM). Muhaimin pun 'meradang', karena tidak diberitahu oleh Prabowo perubahan nama koalisi.
Najmuddin mengatakan, di tengah suasana politik seperti itu, Nasdem meminang PKB untuk bergabung ke KPP. Gayung pun bersambut. PKB bergabung ke KPP dengan Muhaimin sebagai bacawapres KPP.
"Kondisi politik itu membuat Prabowo tak enak hati, lalu menyebut ada penghianat. Dari dua kasus di atas, saya melihat, sekarang kematangan politik Pak SBY dan Prabowo sedang diuji," sebutnya.
Ternyata, sebut Najmuddin, ketika prahara politik melanda seseorang, seringkali terjadi lost control. Hal itu bisa dilihat dari ucapan yang tidak semestinya diucapkan, misalnya kata-kata yang selalu menyalahkan orang lain, bahkan menyebut orang lain, atau rekan satu koalisi sebagai pengkhianat.
"Semestinya dua tokoh ini menahan emosi, sebagaimana tersebut di dalam pepatah Minang: harimau di dalam, kaluanyo tetap kuciang. Saya akui, menahan emosi itu sulit. Tetapi kemampuan mengendalikan emosi, menjadi pertanda kematangan seseorang dalam dunia politik," katanya.(mus)
0 Komentar