Oleh Dr. Suhardin, S.Ag.,M.Pd.
(Dosen, Aktivis Muhammadiyah dan MUI Pusat)
OPINI, kiprahkita.com - Pembelajaran di sekolah dituntut untuk, pertama mempertimbangkan tahap perkembangan peserta didik, dan tingkat pencapaian peserta didik terhadap materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru.
Dengan demikian, guru dituntut untuk mampu mendesain pembelajaran semenarik mungkin, dan memastikan dengan alat ukur yang akurat, ketercapaian materi tersebut oleh peserta didik yang dibuktikan dengan skoring, penilaian harian, tengah semester dan akhir semester.
Kedua, membangun kapasistas diri pelajar untuk menjadi sebagai pembelajar sepanjang hayat, long life education, belajar dari buaian hingga ke liang lahat, mentalitas peserta didik adalah mentalitas pembelajar, tidak ada waktu berhenti belajar, berhenti belajar berarti telah mati dari kehidupan.
Mentalitas ini membuat sipembelajar menjadi manusia curiosity, ingin mengetahui, dengan demikian senantiasa membaca, dan berpikir untuk mendapatkan pengetahuan sempurna. Kedua, mendukung perkembangan kompetensi dan karaker peserta didik secara holistik.
Pembelajaran yang dihadirkan oleh guru berbasis pada kompetensi yang akan dan harus dicapai oleh peserta didik. Pembelajaran juga mengembangkan karakter diri peserta didik untuk menjadi orang yang berkepribadian tangguh, mentalitas kuat dan baik dalam bersikap, berbuat dan bertindak dalam menjalankan aktifitas diri di tengah kehidupan sosial budaya.
Karakter diri penentu keberhasilan dan kesuksesan masa depan peserta didik dan sekaligus juga penentu keberhasilan dan kemajuan bangsa.
Ketiga, pembelajaran dirancang sesuai dengan kontek, lingkungan dan budaya peserta didik. Pendidik dituntut mampu untuk berkreasi dan berinovasi dengan potensi lingkungan tempat pembelajaran berlangsung.
Lingkungan pesisir berbeda dengan lingkungan pegunungan, latar lingkungan tersebut dimanfaatkan secara optimal untuk dapat menemukan permasalahan secara kontektual.
Jangan sampai memaksakan pola dan strategi pendidikan seragam. Mengkopi penyelenggaraan kota ke kampung-kampung, malah potensialitas lingkungan kampung jauh lebih bagus ketimpang yang ada di kota-kota tertentu. Kreatifitas dan inovasi seorang tenaga pendidik sangat dibutuhkan dalam hal ini.
Jangan hanya mengantarkan buku ajar dan lembar kegiatan siswa ke pembelajar, apalagi itu juga di jual dan guru mendapatkan rabat dari penjualan tersebut.
Keempat, pembelajaran yang dilakukan pendidik berorientasi pada masa depan yang berkelanjutan. Perubahan sosial terus berlanjut, tantangan dan peluang menganga di hadapan pelajar, hari depan ada di tangan mereka masing-masing, pendidik memfasilitasi mereka meracak kendaraannya untuk melaju di masa depan.
Pendidikan dan pembelajaran yang diberikan dan difasilitasi haruslah mendukung mereka dalam menghadapi dan memainkan masa depan yang penuh peluang dan tantangan.
Di balik kehidupan sekolah tersebut didapatkan hal-hal yang perlu dibenahi dan disempurnakan, yakni munculnya bibit-bibit intoleransi, kekerasan, dan perilaku kekerasan dalam praktek menjalankan keagamaan.
Di antara atmosfir ini terlihat, pertama adanya gejala pengolok-olokkan ibadah, ritual keagamaan satu agama oleh penganut agama lain. Kedua, adanya 29,8 persen bibit-bibit intoleran aktif, intoleran pasif dan kecendrungan terpapar radikalisme, tentu hal ini perlu menjadi perhatian, fokus kebijakan oleh instansi dan pejabat yang berwenang di negara ini.
Ketiga, muncul kekuatan eksternal sekolah dalam mempengaruhi kehidupan keagamaan para pelajar di dalam lingkungan sekolah. Keempat, munculnya komunitas ekslusif dalam praktek keagamaan di sekolah, dengan klaim mereka melakukan praktek keagamaan yang benar, praktek keagamaan yang lain dianggap tidak benar.
Kelima, muncul juga komunitas yang tidak peduli dengan praktek keagamaan, tetapi mereka lebih dominan dalam kegiatan bersenang-senang dengan kegiatan yang tidak memiliki simbolisasi keagamaan, mereka lebih cendrung berkegiatan bersenang-senang dengan praktek kehidupan yang hedonis.
Pendidikan agama jelas merupakan sebuah instrument untuk menanamkan karakter dalam diri siswa. Karakter merupakan personal power yang dimiliki siswa untuk menjadi penciri terhadap dirinya, karakter juga personal brending yang dimiliki oleh individual, dalam melakukan interaksi dan transaksi dengan orang lain.
Karakterlah yang menjadi personal trust pada diri seseorang yang menjadi kekuatan untuk mengarungi bahtera kehidupan yang penuh tantangan, rintangan dan peluang strategis ke depan.
Pendidikan agama dapat memberikan pembiasaan kepada seorang peserta didik agar ia memiliki karakter diri tersebut.
Pendidikan agama sebuah pendekatan yang sangat strategis untuk membangun dan mewujudkan karakter diri pada seorang pelajar di tengah-tengah lingkungan ia berada, baik di sekolah, di rumah dan di tengah masyarakat.
Semua ekosistem sekolah, kepala sekolah, wakil kepala sekolah, pengawas, guru, komite sekolah, perlu terlibat secara system untuk membangun dan mengembangkan kehidupan sekolah yang damai.
Pemeluk agama yang tengah dididik dan belajar di sekolah hidup dengan kerukunan, bekerja sama yang harmonis, mendapat perlakuan dan fasilitas yang berkeadilan, sehingga kehidupan damai terwujud di tengah komunitas sekolah.
Berbekal inilah dibutuhkan petunjuk teknis sebagai respon dini, tanggapan pro aktif terhadap keadaan, kondisi sosial tertentu di tengah komunitas oleh pihak yang berkewenangan untuk mewujudkan kehidupan damai di tengah lingkungan dan komunitas pembelajar.
Tentu yang memiliki otoritatas dalam hal ini adalah kepala sekolah, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, dan kolaborasi guru bimbingan konsling dan guru Pendidikan agama, guru berbagai keagamaan, baik agama Islam, agama Kristen, agama Katolik, agama Hindu, agama Budha dan agama Kong Hucu, semua memiliki tanggungjawab untuk memastikan kehidupan keagamaan berjalan di tengah komunitas sekolah, tidak ada agama tertentu yang tidak terfasilitasi dalam menjalankan ritualistik keagamaannya.
Masing-masing agama dijadikan pendekatan khusus untuk membangun dan mengembangkan karakter diri siswa, agar Pendidikan karakter yang tengah kita canangkan, bukan hanya dalam konsepsi dan retorika, tetapi realitas yang sebenarnya.
Musuh utama kita semua adalah personal dan komunitas siswa yang tidak aktif dan tidak konsisten menjalankan spirtualisasi dan ritualisasi keagamaannya. Masing-masing komponen dalam sistem sekolah, harus benar-benar memperhatikan dengan seksama, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, bibit-bibit yang tidak elok dalam menjalankan keagamaan masing-masing.
Dalam hal ini, sebutlah misalnya pembulian terhadap agama tertentu dalam melakukan ritualistik, ketidakseimbangan fasiltas yang diberikan kepada masing-masing pemeluk agama, tentu pemberian fasilitas disesuaikan dengan proporsional yang ada di sekolah masing-masing, keadilan tersebut tidaklah sama, tetapi adalah keseimbangan.
Pimpinan sekolah, pejabat yang berwenang di sekolah, perlu melibatkan semua agama dalam melakukan kegiatan perayaan dan kegiatan agama tertentu, yang tidak bertentangan dengan prinsip yang dimiliki oleh agama.
Pembuatan Natal Bersama, Shalat Jumat bersama, tentu hal ini tidaklah elok, karena menyangkut ibadah khusus yang dimiliki oleh agama, yang tidak diperbolehkan saling bersama.
Prinsip utamanya adalah menjalankan agama masing-masing secara komitmen dan konsisten, dan jangan nmengganggu agama lain yang juga melakukan hal yang sama.
Komunikasi interpersonal, kerja sama dalam pengembangan diri, pengembangan sarana dan prasarana perlu dilakukan. Dengan demikian, kita bersama dapat mewujudkan kehidupan beragama yang damai dan harmonis di tengah komunitas kita.***
0 Komentar