![]() |
kemlu.go.id |
PADANG, kiprahkita.com - Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Surat itu amat penting, karena mengubah sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Mandat Soekarno selaku presiden Republik Indonesia dicabut.
Lalu, apa kabar Supersemar, setelah 75 kemudian? Ya, Senin, 11 Maret 2024. Supersemar itu diterbitkan pada 11 Maret 1966. Masih adakah yang mengingatnya?
Mengutip informasi pada laman kemlu.go.id diketahui, peristiwa tersebut terkait dengan dicabutnya mandat yang diberikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) kepada Soekarno sebagai Presiden Indonesia, serta mencabut gelar Pemimpin Besar Revolusi yang disandang olehnya.
Jatuhnya Soekarno dari kursi Presiden RI, menjadi peristiwa politik yang menarik dan sangat bersejarah. Semuanya dimulai dengan penerbitan Supersemar itu, yang memberikan mandat kepada Jenderal Soeharto.
Supersemar diberikan dalam rangka memulihkan keamanan dan stabilitas politik, yang terganggu pasca-peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965, serta sebagai tanggapan terhadap aksi mahasiswa yang menuntut Tritura.
Keputusan MPRS, melalui TAP MPR No. XXXIII/MPRS/1967, berisi langkah-langkah signifikan sebagai berikut:
1. Mencabut kekuasaan pemerintahan dari tangan Presiden Soekarno.
2. Menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno dengan segala kekuasaannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
3. Mengangkat pengemban Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) sebagai pejabat Presiden hingga terpilihnya Presiden melalui hasil pemilihan umum.
Pada akhir Sidang Istimewa MPRS tanggal 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto dilantik dan mengambil sumpah jabatan dari Ketua MPRS Jenderal TNI Abdul Haris Nasution.
Peristiwa Supersemar, yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966, akhirnya membawa Soeharto menuju kursi Presiden Republik Indonesia, setahun setelah penerbitannya.
Hal ini tidak hanya mencatat halaman baru dalam sejarah politik Indonesia, tetapi juga menjadi tonggak penting dalam perjalanan demokrasi di negeri ini.
Laman id.wikipedia.org menceritakan, setelah peristiwa G30S/PKI pada 30 September 1965, Partai Komunis Indonesia (PKI) mengambil alih kekuasaan negara. Namun, upaya mereka tidak berlangsung lama.
Jenderal Soeharto dan sekutu-sekutunya berhasil mengalahkan gerakan tersebut dalam waktu beberapa bulan. Selama periode tersebut, posisi resmi Soekarno sebagai presiden secara perlahan-lahan tergeser.
Inisiatif diambil oleh Soeharto dan Angkatan Bersenjata, yang mnegklaim PKI sebagai dalang di balik upaya kudeta tersebut. Pembersihan anti-komunis pun terjadi.
Pada 11 Maret 1966, dalam sebuah rapat kabinet di Jakarta, pasukan tanpa lencana yang kemudian diketahui sebagai pasukan khusus Angkatan Darat, mengepung istana kepresidenan di mana rapat tersebut berlangsung.
Soekarno disarankan untuk meninggalkan pertemuan tersebut dan melarikan diri ke istana kepresidenan di Bogor.
Tiga jenderal Angkatan Darat, kemudian mengunjungi Soekarno dan membawa pulang Supersemaryang kemudian diserahkan kepada Soeharto.
Pada hari berikutnya, Soeharto menggunakan kekuasaan yang diberikan kepadanya untuk melarang PKI, yang diikuti dengan penangkapan lima belas menteri yang loyal kepada Soekarno.
Setahun setelahnya, MPRS memutuskan untuk mencopot kekuasaan Soekarno, dan menunjuk Soeharto sebagai pelaksana tugas presiden.
Pada 1968, Soeharto resmi menjadi Presiden Indonesia. Proses peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto memakan waktu lebih dari dua tahun.
Soeharto memegang jabatan presiden hingga mengundurkan diri pada Mei 1998, selama krisis politik di Indonesia.
Peristiwa September 1965 tidak hanya menjadi babak hitam dalam sejarah politik Indonesia, tetapi juga membuka babak baru dalam sejarah modern negara tersebut.(dari beberapa sumber)
0 Komentar