![]() |
metropolis.id |
SUBULUSSALAM, kiprahkita.com - Subulussalam. Kota itu indah sekali terdengar. Asal mula kata itu adalah Bahasa Arab. Artinya jalan menuju kedamaian atau kesejahteraan.
Banyak sisi menarik dari kota ini. Subulussalam adalah kota di Nanggroe Aceh Darussalam yang berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara.
Kota Subulussalam dimekarkan dari Kabupaten Aceh Singkil di bibir pantai barat Sumatera, bentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2007 pada tanggal 2 Januari 2007.
Pembentukan kota ini, merupakan bagian dari niat besar menjadikannya sebagai kota ibadah, berlandaskan syariat Islam, sebagaimana terkandung dalam pemberian nama Subulussalam. Saat ini, penduduknya lebih dari 99.910 jiwa.
Mengutip informasi dari rilisan laman resmi Pemko Subulussalam dapatlah diketahui, Kota Subulussalam memiliki sejarah yang panjang dan menarik, bermula sejak periode penamaan tatkala pemberian nama Subulussalam pada 14 September 1962.
Nama ini diberikan oleh ulama karismatik yang juga menjabat sebagai Gubernur Aceh saat itu, Alm. Prof. Ali Hasyimi, ketika berkunjung ke daerah tersebut. Pada saat itu, Subulussalam menjadi Ibulota Kecamatan Simpang Kiri yang tergabung dengan Daerah Tingkat II Kabupaten Aceh Selatan.
Pemberian nama Subulussalam diakui memiliki makna ibadah, dan diharapkan menjadi simbol bagi kota ibadah. Pemberian nama dengan unsur Islami juga dilakukan oleh Gubernur Aceh, pada daerah-daerah perbatasan lainnya di Daerah Istimewa Aceh, seperti Babussalam di Kabupaten Aceh Tenggara dan Nurrussalam di Kabupaten Aceh Timur (sekarang Aceh Tamiang).
Tujuan pemberian nama ini adalah menjadikan daerah-daerah tersebut, sebagai kota ibadah yang berlandaskan syariat Islam, dengan harapan sinar keislaman tersebut akan menyebar hingga ke Darussalam di Banda Aceh.
Sejak 1962, ketika nama Subulussalam diberikan, daerah ini menunjukkan perkembangan yang signifikan dibandingkan kota-kota lainnya di Kabupaten Aceh Selatan. Nama tersebut melecut semangat dan menjadi simbol untuk perkembangan Subulussalam berikutnya sebagai daerah otonom.
Perjalanan Subulussalam menuju daerah otonom berawal pada 27 April 1999, ketika terjadi pemekaran Kabupaten Aceh Singkil dari Kabupaten Aceh Selatan.
Pada saat itu, terjadi perebutan ibu kota antara masyarakat Kecamatan Singkil dengan masyarakat Kecamatan Simpang Kiri, di mana kedua kelompok masyarakat tersebut menginginkan ibukota Kabupaten Aceh Singkil terletak di Singkil dan di Subulussalam.
Perebutan ini diwarnai gelombang unjuk rasa ribuan orang dari Kecamatan Simpang Kiri, yang tidur di jalanan untuk menghalangi rombongan Gubernur Aceh saat itu, Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud, yang menuju ke Singkil untuk meresmikan Kabupaten Aceh Singkil dengan ibu kotanya di Singkil.
Perjuangan panjang dan semangat masyarakat Subulussalam, untuk menjadikan daerah mereka sebagai pusat pemerintahan akhirnya membuahkan hasil.
Sejarah ini menjadi saksi, bagaimana nama dan semangat ibadah dapat menjadi pendorong bagi perkembangan dan kemandirian sebuah kota.
Kota Subulussalam kini terus berkembang, berpegang pada nilai-nilai yang telah diwariskan oleh para pendahulu, dan berupaya mewujudkan cita-cita sebagai kota yang berlandaskan pada syariat Islam serta kedamaian.
HAMZAH FANSHURI
Berkunjung ke Kota Subulussalam mengasyikkan. Suasana religius terasa begitu kental. Destinasi menarik dikunjungi adalah wisata air, baik dalam bentuk air terjun maupun arung jeram.
Tapi ada yang lebih asyik lagi, yakni Wisata Religi Makam Syekh Hamzah Fansuri. Situs cagar budaya ini menarik perhatian banyak wisatawan dan peziarah, karena mengingatkan kita pada ajaran dan syair-syair karya Syekh Hamzah Fansuri yang mendunia.
Terletak di Kampong Oboh, Kecamatan Rundeng, situs ini berjarak sekitar 25 km dari Pusat Kota Subulussalam. Lokasinya dapat dijangkau melalui transportasi darat dan memiliki akses yang mudah.
Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang ulama dan pujangga besar Aceh abad ke-17 yang dikenal secara luas di Indonesia, dan bahkan di dunia internasional.
Ketokohannya diakui secara nasional, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan ‘Bintang Budaya Parama Dharma’ pada 13 Agustus 2013, yang merupakan penghargaan tertinggi dalam bidang budaya.
Syekh Hamzah Fansuri terkenal karena sumbangsihnya terhadap perkembangan sastra dan ajaran Islam. Meskipun riwayat hidupnya memiliki perbedaan pendapat di kalangan sejarawan, banyak bukti menunjukkan, ia hidup pada abad ke-16, saat Aceh berada di bawah pemerintahan Sulthan Alaiddin Riayat Syah Sayyidil Mukammil (997-1011 H/1589-1604 M).
Setiap harinya, makam Syekh Hamzah Fansuri ramai dikunjungi oleh para peziarah, baik dari dalam Kota Subulussalam maupun dari luar kota. Beberapa masyarakat datang untuk menepati janji atau membayar nazar setelah mencapai tujuan yang telah mereka impikan.
Selain itu, banyak juga yang berziarah untuk bersyukur atau mengikuti acara keagamaan di sekitar makam.
Makam Syekh Hamzah Fansuri adalah bukti warisan budaya dan keagamaan yang penting di Aceh. Dengan penataan yang tepat dan fasilitas yang memadai, situs ini bisa menjadi destinasi wisata yang mendukung pertumbuhan Kota Subulussalam dan mempromosikan nilai-nilai budaya serta agama Islam yang dianut oleh Syekh Hamzah Fansuri.(MUSRIADI MUSANIF, dari berbagai sumber)
0 Komentar