Oleh Kasman Katik Sulaiman
Warga Muhammadiyah, tinggal di Kota Sungai Penuh
OPINI, kiprahkita.com - Saya mengenal Muhammadiyah sejak kecil, dari ayah yang seorang aktivis kampung. Ayahku adalah Pimpinan Ranting dan Cabang Muhammadiyah di kampung kami.
Sebagai pimpinan Muhammadiyah, ayah selalu membawa Majalah Suara Muhammadiyah ke rumah. Saya tidak tahu, majalah itu apakah dibeli ayah berlangganan atau mungkin pimpinan Muhammadiyah yang berlangganan.
Karena menurut saya, tidak mungkin ayah berlangganan majalah level nasional tersebut, jika dibanding dengan kehidupan ekonomi keluarga kami.
Ayah hanya seorang petani kecil yang hidup pas-pasan, kadang-kadang bukan pas-pasan lagi bahkan tekor. Sering untuk menghidupi keluarga kami, ayah bekerja sebagai buruh tani, bahkan jadi buruh kayu di usaha perkayuan juga sering ayah lakukan.
Masih ingat dalam memori, saat kecil dulu ayah pernah kerja ke Mentawai, mencari kayu di rimba kepulauan itu. Pergi berhari-hari dan baru pulang ke rumah dalam waktu yang agak lama, dengan segudang cerita pengalaman bagaikan pelaut tangguh: orang daratan yang mengarungi lautan luas di Mentawai, hingga mendarat di pantai Padang sampai selamat kembali tiba di rumah.
Sejak mulai pandai baca, saya sering membaca majalah-majalah yang dibawa ayah pulang. Majalah Suara Muhammadiyah, Panji Masyarakat, Media Dakwah adalah majalah yang telah membentuk fikiran saya dari kecil, bagaimana cerita dan informasi lika-liku dalam dunia dakwah, khususnya Muhammadiyah.
Saya juga pernah dimasukkan oleh ayah ke MDA Muhammadiyah di kampung kami. Sering juga ayah membawa saya dalam pengajian-pengajian ranting dan cabang Muhammadiyah. Cabang Muhammadiyah di kampung kami adalah sebuah cabang yang unik, karena nama cabangnya adalah 2x11 Enam lingkung. Nama kecamatan ini sering menjadi lelucuan, karena seperti matematika yang aneh.
Cabang dan ranting Muhammadiyah di kampung kami ini sudah cukup tua. Karena sudah puluhan tahun berdiri, dan jika ditautkan perjalanan panjang sejarah Muhammadiyah di Minangkabau (Sumatera Barat), sebenarnya Muhammadiyah di sini punya kaitan sejarah juga.
Karena kampung kami berada dalam lintasan hubungan darat antara Kota Padang Panjang dan Kota Padang serta Pariaman. Tiga Kota tersebut terhubung dalam cerita sejarah Muhammadiyah di Minangkabau.
Kampung saya bernama Anduring, adalah sebuah nagari yang sekarang tergabung dalam Kecamatan 2x11 Kayu Tanam, Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat.
Kampung kami dilalui oleh aliran Sungai Batang Anai yang saban waktu sering terjadi banjir besar yang berasal di hulu Lembah Anai Kab. Tanah Datar serta Kota Padang Panjang.
Cabang Muhammadiyah 2x11 Kayu Tanam terdiri dari lima nagari yaitu Kayu Tanam, Anduring, Guguk, Kepala Hilalang dan Sicincin. Cabang Muhammadiyah berpusat di Nagari Kepala Hilalang.
Sebagai anak lelaki hanya saya yang sering dibawa ayah dalam pengajian-pengajian Muhamadiyah.
Sementara ibu hanya seorang perempuan tamatan Sekolah tarbiyah tingkat rendah. Walaupun secara idiologi berbeda dalam paham agama. Ibu tidak pernah melarang atau membujuk kami agar tidak ikut dalam kegiatan ayah di Muhamamdiyah.
Ibu juga jarang atau setahu saya, tidak pernah melihat beliau hadir dalam pengajian-pengajian Muhammadiyah. Di keluarga besar kami di kampung. juga sudah terbiasa dengan perbedaan dalam paham dan amal ibadah sehari-hari.
Ayah yang seorang aktivis Muhammadiyah tulen, ibu yang jebolah Sekolah Rendah Tarbiyah. Paman atau mamak isitilah kampung kami, ada yang penganut Islam tradisional yang kiblat paham agama mereka berada di Ulakan Pariaman.
Kami tidak pernah bertengkar atau ribut-ribu soal agama. Paling-paling menjadi cerita indah dalam keluarga yang memiliki pahak keagamaan yang berbeda-beda tersebut.
Betapa indahnya cerita masa kecil saat puasa dan berhari raya yang berbeda-beda.(BERSAMBUNG)
0 Komentar