Merawat Moderasi agar tak Kebablasan


Oleh Drs. H. Talkisman Tanjung

Dai, Guru, dan Pimpinan Muhammadiyah di Madina


OPINI, kiprahkita.com - Dalam masyarakat yang majemuk, khususnya di bidang keyakinan dan agama seperti Indonesia, moderasi beragama sangatlah dibutuhkan. Prinsip agree in disagreement (setuju di dalam perbedaan) menjadi sebuah prinsip dan nilai yang harus dijaga dan dirawat.

Apabila dilihat dari sudut pandang agama masing-masing, tidak terkecuali Agama Islam, maka prinsip dan nilai tersebut telah tertuang di dalam ajaran masing-masing Agama, misalnya di dalam Islam adanya kebolehan untuk bermuamalah antara muslim dengan non muslim. 

Namun dalam bidang keyakinan atau aqidah ada, ketegasan prinsip yang harus dijaga dan dihormati semua pihak, yaitu "Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku."

Ini adalahsebuah konsep moderasi yang luar biasa. Jika konsep seperti ini sama dijaga dan dipelihara, tentu tidak akan ada konflik antar umat beragama. Kalaupun ada konflik, tentu tidaklah dipicu oleh perbedaan keyakinan dan agamanya.

Namun untuk sampai ke tahapan seperti itu, dibutuhkan pemahaman nasing-masing umat beragama terhadap ajaran agamanya secara utuh, holistik dan komprehensif. 

Jika tidak, maka akan terjadi pemahaman umat beragama terhadap agamanya secara parsial, dan tentu dampaknya akan menimbulkan kesalahan dalam penerapan moderasi beragama, atau mungkin akan terjadi pemaksaan kehendak dengan alasan toleransi, yang sebenarnya sudah kebablasan. 


Praktek moderasi yang dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Sorong, Papua, Kupang, dan lain-lain adalah sebuah contoh moderasi yang konstruktif dan positif.

Sebagian besar mahasiswa dari PTM tersebut adalah nonmuslim, tetapi mereka merasa nyaman berada di kampus Muhammadiyah, tanpa takut keyakinan dan agamanya terusik. 

Namun terkadang, kita dibuat heran dan bingung, di saat ada praktek moderasi beragama yang dilaksanakan oleh oknum-oknum pemerintahan, justru membuat ketidaknyamanan di kalangan umat beragama tertentu. Praktek toleransi beragama yang sudah kebablasan. Ini yang perlu kita jaga, agar tidak terjadi.

Termasuk dalam konteks kebablasan ini, misalnya menghimbau pengelola televisi nasional agar tidak menyiarkan azan, kendati itu sudah menjadi tradisi di lembaga penyiaran itu selama ini.

Nah, di kasus seperti inilah yang saya maksudkan, masih banyak oknum yang tidak memahami agamanya secara utuh, holistik dan komprehensif. 

Padahal jika ditayangkanpun azan pada waktu Maghrib tiba, tidak sampai memakan lima menit.***

Posting Komentar

0 Komentar