Antara Ideal dan Realita: Menimbang Kembali Kebijakan ASN Naik Angkutan Umum di Padang Panjang
PADANG PANJANG, kiprahkita.com –Sejak 21 Mei 2025, Pemerintah Kota Padang Panjang mulai menerapkan kebijakan yang mengimbau seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) dan non-ASN untuk menggunakan transportasi umum setiap hari Rabu. Kebijakan ini termaktub dalam Surat Edaran Wali Kota Nomor 24 Tahun 2025, yang dikeluarkan pada 19 Mei 2025. Tujuannya terdengar mulia: mendorong efisiensi anggaran, mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi, serta mendukung perekonomian sektor transportasi lokal. Namun, seperti banyak kebijakan publik lainnya, ketika turun ke lapangan, tantangan nyata langsung muncul ke permukaan.
![]() |
ASN Naik Angkutan Motor Ojek |
Visi yang Progresif, Tapi Terburu-buru?
Tidak bisa dipungkiri bahwa kebijakan ini mencerminkan semangat reformasi birokrasi yang berorientasi lingkungan dan pemberdayaan ekonomi lokal. Dalam sebuah kota kecil seperti Padang Panjang, di mana lalu lintas masih tergolong lancar dan jarak tempuh tidak terlalu jauh, mendorong masyarakat untuk menggunakan angkutan umum memang bisa menjadi langkah efisien dan ramah lingkungan.
Namun, satu hal yang tampaknya luput dari perencanaan adalah kesiapan infrastruktur transportasi itu sendiri. Sejumlah ASN mengeluhkan bahwa angkutan umum—khususnya angkot—tidak melewati semua kawasan permukiman. Warga dari daerah pinggiran atau dataran tinggi seperti Koto Katik, Terminal, atau Ganting dalam, misalnya, harus berjalan jauh ke titik utama agar bisa naik angkot. Untuk mereka yang memiliki jadwal kerja pagi dan harus hadir tepat waktu, ini bukan sekadar ketidaknyamanan—melainkan risiko keterlambatan dan kelelahan.
Dilema Orang Tua ASN: Ojek Mahal dan Waktu Terbatas
Keluhan lain datang dari ASN yang juga berperan sebagai orang tua. Banyak dari mereka yang setiap pagi harus mengantar anak ke sekolah sebelum menuju kantor. Ketika mobil pribadi dilarang digunakan, satu-satunya solusi adalah menggunakan jasa ojek—yang ongkosnya bisa melonjak terutama di pagi hari, 10 rb per titik tujuan. Jika harus mengantar 3 anak dengan 3 titik sekolah berbeda, lalu lanjut ke kantor dengan transportasi umum, waktu dan biaya menjadi dua kendala utama. Tidak semua ASN bisa menyiasati ini dengan waktu kerja fleksibel atau dukungan keluarga. 80 rb mereka harus mengeluarkan setiap Rabu. 80 rb tersebut sudah bisa untuk dua minggu biaya motor ASN dan anak-anaknya.
Efisiensi Anggaran Siapa?
Salah satu argumen utama Pemko adalah efisiensi anggaran. Namun, mari kita periksa ulang: efisiensi bagi siapa? Ketika ASN harus mengeluarkan biaya tambahan untuk ojek, atau bahkan menyewa jasa angkutan harian secara kolektif, maka sesungguhnya pengeluaran pribadi justru meningkat bukan efisiensi lagi. Jika tujuan dari efisiensi adalah penghematan bahan bakar dan operasional kendaraan dinas, maka kebijakan ini seharusnya diiringi dengan penyediaan moda transportasi alternatif dari pemerintah.
Pemerintah DKI Jakarta, misalnya, saat memberlakukan kebijakan serupa, menyediakan TransJakarta gratis untuk ASN pada waktu tertentu. Sebuah langkah konkret yang menegaskan bahwa tanggung jawab perubahan tidak semata-mata dibebankan pada individu, melainkan turut diakomodasi oleh sistem.
Solusi Bersama: Kebijakan Inklusif Butuh Data
Kebijakan publik yang baik tidak hanya lahir dari niat baik, tapi juga dari data yang akurat dan evaluasi lapangan yang jujur. Dalam kasus ini, Pemerintah Kota Padang Panjang perlu melakukan pemetaan ulang jalur angkot dan titik-titik padat ASN. Apakah ada cukup armada di jalur tersebut? Apakah waktu tunggu dan ketepatan jadwal dapat diandalkan? Begitu juga angkutan gratis siswa Selasa dan Kamis. Titik jemput tak bisa diakses semua siswa kecuali jam pulang sekolah dengan titik jemput di sekolah.
Selain itu, jika keuangan daerah memungkinkan, mengapa tidak menyediakan bus dinas atau kendaraan kolektif dari titik-titik padat pemukiman ASN ke kantor pusat pemerintahan? Pemerintah juga bisa memberikan subsidi bagi angkot atau ojek daring lokal, khusus di hari Rabu, agar tarif lebih terjangkau. Seperti baru-baru ini angkutan umum online mempermainkan argo aplikasi dari 12 rb menjadi 30 ribu. Angkutan online ini mematok 5 rb per kepala untuk 6 orang ASN yang menumpang saat itu bukan yang sesuai tetera di aplikasi hanya 12 rb saja.
Dari Imbauan Jadi Inspirasi
Akhirnya, satu hal yang patut diapresiasi adalah bahwa kebijakan ini bersifat imbauan, bukan paksaan. Ini menunjukkan bahwa Pemko Padang Panjang membuka ruang partisipasi masyarakat untuk menyempurnakan implementasinya. Namun demikian, pemerintah sebaiknya tidak berhenti pada imbauan belaka, melainkan menjadikannya sebagai momentum dialog terbuka antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan: para ASN sendiri.
Bisa saja, jika didukung fasilitas dan sistem yang layak, kebijakan ini tak hanya berhasil, tapi juga bisa menjadi model nasional. Namun jika dibiarkan terus berjalan tanpa evaluasi, bukan tidak mungkin justru menimbulkan ketidakpuasan, bahkan ketidakpercayaan publik.
Kesimpulan
Kebijakan naik angkutan umum setiap hari Rabu untuk ASN dan non-ASN di Padang Panjang merupakan langkah awal yang baik dalam mendorong transformasi budaya kerja yang lebih berkelanjutan. Namun, agar dapat menjadi kebijakan yang adil dan berhasil, pemerintah perlu memperbaiki infrastruktur, menyesuaikan dengan realitas sosial-ekonomi pegawai, serta membuka ruang dialog yang sehat dengan para pemangku kepentingan. Bukankah reformasi birokrasi seharusnya berjalan seiring dengan empati dan solusi? (Yus MM/*)
Sumber Kominfo Padang Panjang
0 Komentar