75 Siswa Laki-Laki dan 25 Siswi Perempuan Ikuti Pembinaan Karakter dan Bela Negara di Barak Militer Kostrad 1 Cilodong

Menumbuhkan Karakter lewat Barak Militer: Antara Disiplin dan Kemanusiaan

NASIONAL, kiprahkita.com Pagi kemarin, Sabtu 31 Mei 2025, halaman Balai Kota Depok dipenuhi oleh 100 siswa dari berbagai sekolah. Mereka bukan sedang mengikuti lomba atau upacara, tetapi tengah bersiap diberangkatkan menuju barak militer Kostrad 1 Cilodong. Tujuannya jelas: mengikuti program Pembinaan Karakter dan Bela Negara.

100 Siswa Mengikuti Program, Foto:Kompas.com

Sebanyak 75 siswa laki-laki dan 25 siswi perempuan tampak mengenakan seragam dengan seragam atasan putih, bawahan hitam, dan sepatu dominan hitam. Mereka tampak gugup sekaligus antusias. Sebagian wajah menunjukkan rasa penasaran, sebagian lagi tampak mencoba tegar. Di balik derap langkah yang teratur, tersimpan sebuah harapan besar agar generasi muda belajar mencintai bangsa ini dengan lebih dalam dan disiplin.

Mengapa Barak Militer?

Program pembinaan karakter di lingkungan militer bukanlah hal baru. Namun, belakangan ini menjadi lebih sering diterapkan oleh pemerintah daerah dan instansi pendidikan sebagai respons terhadap tantangan zaman berupa lunturnya disiplin, rendahnya empati sosial, meningkatnya kenakalan remaja, dan melemahnya wawasan kebangsaan.

Barak militer, dengan segala kedisiplinannya, menjadi ruang yang “asing” namun potensial. Para siswa akan jauh dari gawai, dibiasakan bangun pagi, makan teratur, mengikuti instruksi, dan belajar hidup kolektif. Bagi mereka yang tumbuh di era digital dengan kenyamanan instan, pengalaman ini bisa menjadi tempaan yang menyadarkan dan pelajaran yang melekat seumur hidup.

Pembinaan atau Penindasan?

Namun demikian, program seperti ini tidak boleh serta-merta dilegalkan tanpa kritik. Banyak pakar pendidikan dan psikolog anak mengingatkan bahwa pembinaan karakter tidak boleh berubah menjadi penindasan psikologis. Militerisasi anak-anak sekolah, jika tanpa pendekatan pedagogis yang tepat, justru bisa menghasilkan trauma dan rasa takut yang membekas.

Kita tentu tidak ingin pembinaan ini menjadi “kamp pelatihan keras” yang lebih menekankan perintah ketimbang pemahaman. Apalagi jika dilakukan tanpa pendampingan guru atau psikolog yang memahami dunia remaja. Dalam konteks ini, pendekatan militer harus dikombinasikan dengan sentuhan pendidikan yang humanis.

Bela Negara: Bukan Hanya Angkat Senjata

Makna bela negara harus dimaknai secara luas. Bela negara tidak selalu berarti siap perang, tetapi juga siap membela nilai-nilai kebangsaan dengan cara yang sesuai zamannya. Di era digital, bela negara bisa berarti menjaga etika berkomunikasi di media sosial, tidak menyebarkan hoaks, aktif dalam kegiatan sosial, dan mencintai produk dalam negeri.

Diharapkan dari barak militer itu para pelajar tidak hanya pulang dengan badan tegap, tetapi juga dengan karakter kuat, sikap tangguh, serta semangat kolektif untuk membangun bangsa. Mereka akan kembali ke rumah, sekolah, dan masyarakat dengan perspektif baru: bahwa menjadi warga negara Indonesia bukan sekadar status, tapi juga tanggung jawab moral.

Peran Guru dan Orang Tua

Kesuksesan program ini tidak hanya ditentukan oleh latihan fisik dan kedisiplinan di barak. Guru dan orang tua tetap memiliki peran utama dalam menanamkan nilai-nilai karakter secara konsisten di kehidupan sehari-hari. Program seminggu di barak harus diperkuat dengan pembiasaan baik di rumah dan sekolah: kejujuran, tanggung jawab, solidaritas, dan nasionalisme.

Karakter bukan hanya dibangun lewat aba-aba dan baris-berbaris. Ia tumbuh lewat *keteladanan, kasih sayang, dan konsistensi nilai*.

Penutup: Harapan dari Cilodong

Dari barak Kostrad Cilodong, kita menanti kembalinya anak-anak bangsa yang lebih kuat secara moral dan disiplin. Bukan hanya sekadar bisa baris tegap dan hormat bendera, tetapi juga sanggup berkata “tidak” pada korupsi kecil, pada tawuran, pada kekerasan verbal, dan pada pengabaian terhadap lingkungan.

Semoga mereka kembali bukan sebagai remaja yang keras kepala, melainkan sebagai pemuda yang siap menjadi pemimpin masa depan dengan kepala dingin, hati hangat, dan tekad baja. Semoga program ini terus dievaluasi agar tidak hanya menjadi ajang pamer seragam, tapi sungguh-sungguh membentuk manusia Indonesia seutuhnya.

📜 Sejarah Program Bela Negara dan Pelibatan Pelajar di Barak Militer

Gagasan tentang bela negara di Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak era perjuangan kemerdekaan. Namun secara formal, konsep ini mulai diarusutamakan dalam kebijakan negara sejak era Orde Baru, terutama setelah tahun 1970-an, ketika pemerintah ingin menanamkan kedisiplinan dan semangat nasionalisme kepada generasi muda melalui jalur pendidikan dan organisasi.

🛡️ Awal Mula: Latsarmil dan Wawasan Kebangsaan

Pada masa Orde Baru, dikenal program seperti Latihan Dasar Militer (Latsarmil) yang melibatkan pelajar dan mahasiswa, utamanya melalui organisasi seperti Pramuka, Paskibra, dan Resimen Mahasiswa (Menwa). Tujuannya adalah untuk membentuk karakter yang kuat, disiplin, dan loyal kepada negara.

Pada masa itu, pendekatan militeristik dalam pendidikan karakter dianggap ampuh untuk mengatasi ancaman ideologi seperti komunisme dan disintegrasi bangsa.

🧭 Reformasi: Bela Negara dalam Konteks Demokratis

Setelah Reformasi 1998, banyak program berbau militer dikritik karena dianggap mengancam kebebasan sipil. Namun, konsep “bela negara” kembali dimunculkan dengan pendekatan yang lebih inklusif dan humanis oleh Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).

Tahun 2015, Kemenhan di bawah Menteri Ryamizard Ryacudu mencanangkan program Bela Negara untuk warga sipil, termasuk pelajar, mahasiswa, guru, hingga ASN. Bahkan ada wacana mewajibkan bela negara dalam kurikulum nasional.

🏫 Pelajar ke Barak Militer: Antara Pendidikan dan Pelatihan

Program pelibatan pelajar dalam kegiatan barak militer di era modern (pasca 2015) merupakan bagian dari strategi pemerintah daerah dan sekolah-sekolah yang ingin membangun karakter pelajar yang disiplin dan berwawasan kebangsaan, sebagai respons terhadap: Kenakalan remaja (tawuran, bullying, narkoba) Lunturnya semangat nasionalisme, dan Tantangan era digital dan globalisasi.

Biasanya, siswa diajak mengikuti latihan semi-militer di barak TNI: baris-berbaris, pengenalan kedisiplinan, cinta tanah air, dan kepemimpinan dasar. Program ini sering digelar selama 3-7 hari dengan pengawasan TNI dan guru pendamping.

🕊️ Catatan Penting: Harus Humanis dan Edukatif

Meski dianggap positif, program ini tetap mendapat perhatian publik dan pengamat pendidikan, agar:

Tidak mengarah pada indoktrinasi atau kekerasan fisik.

Tetap memprioritaskan nilai pendidikan karakter yang humanis, bukan militeristik ekstrem.

Disesuaikan dengan usia dan psikologis pelajar.

Pemerintah pun menggarisbawahi bahwa bela negara bukan semata latihan militer, tetapi bisa dilakukan lewat kegiatan sosial, lingkungan, dan penguatan nilai Pancasila.

Sumber Metro TV news.com

Program Pembinaan Karakter dan Bela Negara di Kota Depok merupakan inisiatif Pemerintah Kota Depok yang bekerja sama dengan TNI, khususnya Divisi Infanteri 1 Kostrad di Cilodong. Program ini bertujuan untuk membentuk generasi muda yang berkarakter, berintegritas, serta memiliki semangat nasionalisme dan bela negara. Sasaran utama program ini adalah remaja berusia 13 hingga 15 tahun.

Pelaksanaan program ini dimulai pada 1 Juni 2025 dan berlangsung selama 10 hari. Kegiatan ini mencakup pelatihan kedisiplinan, wawasan kebangsaan, serta pembelajaran yang diberikan oleh Dinas Pendidikan. Para peserta diberangkatkan dari Balai Kota Depok menuju barak militer Kostrad 1 Cilodong Depok. Sebelum pemberangkatan, mereka mengikuti apel yang dipimpin oleh anggota TNI sebagai pembina dalam program ini. ([ANTARA News Jawa Barat][4], [YouTube][5], [https://www.metrotvnews.com][6])

Antusiasme masyarakat terhadap program ini sangat tinggi. Dalam waktu sembilan hari, sebanyak 285 remaja mendaftar untuk mengikuti pelatihan ini, melebihi kuota awal yang ditetapkan sebanyak 50 peserta. Melihat lonjakan minat tersebut, Pemerintah Kota Depok memutuskan untuk menambah kuota menjadi 100 peserta, terdiri dari 75 laki-laki dan 25 perempuan.

Program ini dirancang untuk menjadi edukatif, ramah remaja, dan menyenangkan, tanpa unsur kekerasan fisik maupun verbal. Tujuannya adalah untuk menjawab keresahan masyarakat terhadap pentingnya pendidikan karakter sejak dini dan membentuk generasi muda yang siap menghadapi tantangan masa depan dengan semangat kebangsaan yang kuat.([Lombok Post][1]) (Yus MM/*)

Posting Komentar

0 Komentar