Anarkisme dalam Aksi May Day: Antara Hak Menyuarakan Pendapat dan Ketertiban Umum

Anarkisme dalam Aksi May Day: Antara Hak Menyuarakan Pendapat dan Ketertiban Umum

NASIONAL, kiprahkita.com Hari Buruh Internasional atau May Day selalu menjadi momen penting bagi para buruh dan aktivis untuk menyuarakan hak-haknya. Di banyak negara, termasuk Indonesia, aksi turun ke jalan menjadi simbol perjuangan kaum pekerja melawan ketidakadilan dan penindasan.

Cho Yong Gi Berbaju Kaos Putih 

Namun, tidak semua aksi berlangsung damai. Seperti yang terjadi baru-baru ini di depan Gedung DPR/MPR RI, 14 orang, termasuk seorang aktivis bernama Cho, ditangkap oleh pihak kepolisian karena dianggap melakukan aksi demonstrasi anarkis. Dari jumlah itu, 13 orang telah dinaikkan statusnya menjadi tersangka.

Menurut keterangan dari Ajun Komisaris Besar Polisi Reonald Simanjuntak, Kepala Sub Bidang Penerangan Masyarakat Polda Metro Jaya, surat panggilan telah dilayangkan kepada pihak-pihak terkait. Hal ini tentu menimbulkan beragam tanggapan, terutama dari kalangan aktivis, masyarakat sipil, dan pegiat demokrasi.

Di satu sisi, penegakan hukum diperlukan untuk menjaga ketertiban umum. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa tindakan ini bisa menjadi bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat.

Antara Aksi Damai dan Tuduhan Anarkis

Label "anarkis" kerap kali muncul dalam pemberitaan setiap kali aksi massa berakhir dengan ketegangan. Namun, penting untuk membedakan antara aksi damai yang menuntut keadilan dan aksi kekerasan yang merusak fasilitas umum atau menyerang aparat.

Jika benar terjadi tindakan kekerasan, tentu aparat berhak melakukan penindakan sesuai hukum. Namun, yang patut diwaspadai adalah penggunaan label “anarkis” yang terlalu cepat dan generalisasi terhadap seluruh peserta aksi.

Aksi May Day sejatinya adalah bentuk ekspresi politik yang sah. Buruh dan kelompok pendukungnya memiliki hak konstitusional untuk berkumpul dan menyampaikan aspirasi. Bahkan dalam demokrasi yang sehat, keberadaan demonstrasi menjadi indikator bahwa negara memberi ruang kepada warganya untuk berpartisipasi dalam pembangunan kebijakan publik.

Namun, dalam praktiknya, ruang tersebut sering kali menyempit. Ketika aparat lebih memilih pendekatan represif ketimbang dialogis, ketika aspirasi dianggap gangguan dan bukan kritik konstruktif, maka demokrasi kehilangan salah satu denyut nadinya. Jika penangkapan terhadap Cho dan rekan-rekannya hanya berdasarkan asumsi atau tuduhan tanpa bukti kuat, maka itu menjadi bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

Stigma Terhadap Aktivis dan Perlawanan Kaum Tertindas

Cho dan belasan orang lain bukan hanya sekadar peserta aksi. Mereka bisa jadi adalah bagian dari generasi muda yang peduli terhadap keadilan sosial. Menangkap mereka tanpa menyelidiki konteks lebih dalam bisa menciptakan efek jera yang negatif: ketakutan untuk bersuara. Apalagi, dalam sejarah pergerakan buruh di Indonesia, tidak sedikit aktivis yang kemudian dikriminalisasi karena perjuangannya.

Dalam banyak kasus, masyarakat umum hanya menerima satu sisi cerita: versi aparat atau media arus utama. Narasi tentang "perusuh" lebih mudah diterima daripada "pejuang keadilan". Padahal, tidak semua peserta aksi adalah pelaku kerusuhan. Perlu penyelidikan menyeluruh, adil, dan transparan agar publik tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Kebutuhan Akan Evaluasi dan Dialog Sosial

Penangkapan 14 orang dalam aksi May Day ini seharusnya menjadi momen refleksi, bukan hanya bagi aparat keamanan, tetapi juga bagi masyarakat dan pemerintah. Mengapa aksi buruh selalu penuh ketegangan? Apakah suara buruh tidak cukup terdengar melalui saluran formal, sehingga mereka memilih turun ke jalan? Apakah negara telah cukup adil dalam memperlakukan buruh dan aktivis?

Daripada merespons dengan kekuatan, pemerintah seharusnya membuka ruang dialog dengan kelompok-kelompok yang melakukan demonstrasi. Polisi pun sebaiknya mengedepankan pendekatan persuasif dan humanis, bukan represif. Kita perlu memastikan bahwa demokrasi bukan hanya sekadar prosedur pemilu, tetapi juga mencakup kebebasan berekspresi, hak untuk berserikat, dan ruang aman untuk menyampaikan kritik.

Penutup: Jangan Bungkam Suara Rakyat

Apa yang menimpa Cho dan rekan-rekannya adalah cerminan dinamika demokrasi kita hari ini. Apakah suara rakyat masih memiliki tempat? Ataukah hanya suara yang menyenangkan telinga penguasa yang diterima? Kita berharap bahwa proses hukum terhadap 14 orang tersebut berjalan adil, transparan, dan tidak bermotif politik. Lebih dari itu, kita semua harus terus mengawal hak-hak warga negara untuk bersuara dan menyatakan sikap, termasuk dalam bentuk demonstrasi.

May Day bukan sekadar peringatan. Ia adalah panggilan. Bukan hanya untuk buruh, tapi untuk seluruh masyarakat agar tidak lupa bahwa keadilan sosial tidak akan datang dengan sendirinya. Ia harus diperjuangkan—dengan suara, solidaritas, dan, bila perlu, dengan turun ke jalan. Selama semua itu dilakukan dengan damai, tak sepantasnya negara menjawabnya dengan borgol.

Kronologi Penangkapan Cho dan 13 Orang Saat Aksi May Day 2025

1. Tanggal 1 Mei 2025 — Aksi May Day

Ribuan buruh, aktivis, dan masyarakat sipil turun ke jalan di depan Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, untuk memperingati Hari Buruh dan menyuarakan tuntutan perbaikan kondisi kerja serta menolak berbagai kebijakan yang dianggap merugikan pekerja.

2. Aksi Berlangsung dengan Dinamika

Secara umum aksi berjalan damai, namun di beberapa titik terjadi ketegangan antara massa aksi dan aparat keamanan. Polisi melaporkan adanya sejumlah tindakan yang mereka nilai anarkis, seperti perusakan fasilitas umum dan pelemparan batu.

3. Penangkapan 14 Orang

Pada saat aksi atau sesudahnya, polisi melakukan penangkapan terhadap 14 orang yang diduga sebagai provokator atau pelaku anarkis. Salah satu yang ditangkap adalah seorang aktivis muda bernama Cho.

4. Pemeriksaan dan Status Tersangka

Dari 14 orang yang diamankan, 13 di antaranya dinaikkan statusnya menjadi tersangka atas dugaan pelanggaran hukum terkait anarkisme dan pengrusakan. Cho termasuk di dalamnya.

5. Surat Panggilan dan Proses Hukum

Polda Metro Jaya, melalui Kabid Humas, AKBP Reonald Simanjuntak, menyampaikan bahwa surat panggilan telah dilayangkan kepada para tersangka dan proses hukum sedang berjalan.

6. Reaksi Masyarakat dan Aktivis

Penangkapan ini memicu reaksi dari berbagai kelompok masyarakat, khususnya kalangan aktivis dan pegiat HAM, yang menilai tindakan kepolisian berlebihan dan berpotensi membungkam hak berekspresi. Mereka menuntut proses hukum yang adil dan transparan.

7. Tagar dan Dukungan untuk Cho

Di media sosial, nama “Cho” menjadi simbol dukungan terhadap aktivis yang dikriminalisasi. Berbagai tagar dan kampanye solidaritas bermunculan untuk menuntut kebebasan dan keadilan. (Yus MM/*)

Posting Komentar

0 Komentar