Antara Hak Konstitusional dan Gejolak Politik: Surat Purnawirawan TNI soal Pemakzulan Gibran

Antara Hak Konstitusional dan Gejolak Politik: Surat Purnawirawan TNI soal Pemakzulan Gibran

NASIONAL, kiprahkita.com Demokrasi bukanlah jalan sunyi tanpa riak. Di dalamnya, segala bentuk kritik, koreksi, dan tuntutan merupakan bagian dari dinamika yang sehat—asal disampaikan lewat jalur konstitusional. Maka, tak heran jika langkah Forum Purnawirawan Prajurit TNI yang melayangkan surat kepada DPR dan MPR terkait usulan pemakzulan Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, menjadi perhatian publik secara nasional.

Surat bertanggal 26 Mei 2025 itu, yang diteken oleh empat jenderal purnawirawan TNI, menyuarakan sebuah kegelisahan yang tak bisa diabaikan. Isinya lugas: mendesak lembaga legislatif untuk segera menindaklanjuti proses impeachment terhadap Gibran berdasarkan hukum yang berlaku. Surat itu telah diterima resmi oleh Sekretariat DPR dan MPR, bahkan telah ditindaklanjuti ke tingkat pimpinan DPR, sebagaimana dikonfirmasi oleh Sekjen DPR RI, Indra Iskandar.

Namun, sesungguhnya apa makna dari sebuah surat pemakzulan di tengah masa pemerintahan yang baru saja terbentuk?

Menakar Hak Warga dan Kehormatan Demokrasi

Yang pertama harus dicatat bahwa setiap warga negara—termasuk para purnawirawan sekalipun—memiliki hak konstitusional untuk menyampaikan aspirasi. Bahkan, kritik dari para tokoh militer yang pernah bersumpah menjaga kedaulatan negara bisa menjadi alarm penting bagi bangsa. Tapi demokrasi bukan hanya tentang berani bersuara. Ia juga tentang ketaatan pada prosedur, penghormatan pada hukum, dan kebijaksanaan dalam menyikapi perbedaan.

Pemakzulan sebagai langkah serius, bukan sekadar mekanisme politik, tapi proses hukum yang diatur konstitusi. Dalam Pasal 7B UUD 1945 disebutkan bahwa presiden atau wakil presiden hanya bisa diberhentikan oleh MPR atas usul DPR apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berat seperti korupsi, pengkhianatan terhadap negara, atau tindak pidana berat lainnya. Prosesnya panjang, melibatkan Mahkamah Konstitusi, dan bukan sekadar berdasarkan tekanan publik.

Oleh karena itu, surat tersebut mesti ditempatkan dalam bingkai kewaspadaan, bukan kepanikan. Bukan pula dalam ruang prasangka, tapi dalam semangat evaluasi menyeluruh terhadap etika dan kinerja wakil rakyat yang terpilih.

Gibran dan Bayang-Bayang Politik Dinasti

Tak bisa dipungkiri bahwa terpilihnya Gibran sebagai Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto menyisakan kontroversi. Gugatan publik terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang meloloskan Gibran dengan tafsir "pengalaman kepala daerah" masih segar dalam ingatan. Apalagi, polemik itu tak lepas dari fakta bahwa Ketua MK saat itu adalah paman dari Gibran sendiri.

Kondisi ini membuat sebagian masyarakat—termasuk kalangan purnawirawan TNI—membaca bahwa demokrasi sedang mengalami distorsi, khususnya dalam soal netralitas lembaga dan potensi tumbuhnya politik dinasti. Surat mereka, jika dibaca dalam konteks ini, adalah bentuk kritik terhadap apa yang mereka anggap sebagai ketidakadilan prosedural, bukan semata antipati personal terhadap Gibran.

Namun sekali lagi, opini publik—sekeras apa pun—tetap harus tunduk pada prinsip due process of law. Tak cukup dengan rasa tidak suka atau narasi politis, pemakzulan hanya sah jika didasarkan pada bukti hukum yang jelas dan disetujui secara konstitusional.

Menjaga Marwah Lembaga dan Stabilitas Negara

Langkah DPR yang langsung meneruskan surat tersebut ke pimpinan adalah prosedur normatif. Namun yang lebih penting adalah bagaimana pimpinan DPR dan MPR bersikap adil dan tidak reaktif. Mereka harus menjaga marwah lembaga legislatif, tidak menjadi alat manuver politik, dan tetap mengedepankan kepentingan bangsa secara menyeluruh.

Terlebih di tengah kondisi dunia yang tidak menentu dan situasi ekonomi nasional yang masih butuh stabilitas, membiarkan isu-isu sensitif berkembang liar tanpa penjelasan resmi bisa berakibat pada terganggunya kepercayaan publik terhadap lembaga negara. Di sinilah pentingnya keterbukaan informasi, kejelasan prosedur, serta sikap negarawan dari para pimpinan lembaga legislatif.

Catatan untuk Gibran dan Pemerintahan Baru

Bagi Gibran Rakabuming Raka, surat pemakzulan ini semestinya tidak dipandang sebagai ancaman langsung terhadap jabatannya, melainkan sebagai cermin bahwa publik sedang memerhatikan dengan tajam. Ini adalah momentum untuk membuktikan diri bahwa ia bukan sekadar "putra presiden", melainkan sosok pemimpin muda yang mampu berdiri di atas kaki sendiri dan menjawab ekspektasi rakyat.

Setiap pemimpin teruji bukan saat popularitasnya tinggi, tetapi saat badai kritik menerpa. Jika Gibran mampu merespons kritik ini dengan kerja nyata, sikap rendah hati, dan pembuktian kapasitas, maka tuduhan politik dinasti perlahan akan surut.

Sebaliknya, bila ia hanya membungkam suara-suara kritis dengan narasi defensif atau mengabaikan rasa keadilan publik, maka sejarah akan mencatat bahwa legitimasi jabatan bukan sekadar hasil pemilu, tetapi juga soal moral dan integritas.

Penutup

Surat dari Forum Purnawirawan TNI adalah satu dari sekian banyak tanda bahwa demokrasi kita masih hidup—meski kadang berjalan terseok. Kini semua mata tertuju pada DPR dan MPR: apakah mereka akan menjadikan surat ini sebagai bahan telaah serius, atau sekadar ritual birokrasi belaka?

Bagi kita rakyat, mari terus belajar menyuarakan pendapat dengan elegan, dan mengawal demokrasi dengan bijak. Karena dalam negara hukum, suara rakyat adalah suara kebenaran—bila disampaikan lewat jalan yang benar.(Yus MM/*)

Posting Komentar

0 Komentar