Jejak Jenderal Sudirman dan Askar Perang Sabil: Ikatan Historis Muhammadiyah dan TNI
NASIONAL, kiprahkita.com –Kunjungan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD), Jenderal TNI Maruli Simanjuntak, ke Kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di Yogyakarta pada Selasa, 27 Mei 2025, tidak hanya menjadi momen silaturahmi formal. Lebih dari itu, kunjungan ini menjadi penegasan atas hubungan historis dan ideologis antara Muhammadiyah dan TNI, yang telah terjalin sejak masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
![]() |
Jenderal TNI Maruli Simanjuntak, ke Kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah |
Dalam sambutannya, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir, menggarisbawahi bahwa kedekatan Muhammadiyah dengan TNI tidak terlepas dari sejarah kelahiran TNI itu sendiri, khususnya dengan hadirnya sosok Jenderal Besar Sudirman, seorang kader Muhammadiyah yang menjadi Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia pertama.
“Jenderal Sudirman merupakan kader Pandu Hizbul Wathan dan guru Muhammadiyah sebelum akhirnya menjadi Panglima TNI yang dikenal gagah berani dan berakhlak mulia,” ujar Haedar seperti dikutip dari situs resmi Muhammadiyah, [muhammadiyah.or.id](https://muhammadiyah.or.id) (28/5/2025).
Jenderal Sudirman: Spirit Keislaman dan Kebangsaan
Jenderal Sudirman bukan hanya seorang tokoh militer, tetapi simbol integritas spiritual dan nasionalisme. Pendidikan yang beliau dapatkan di Muhammadiyah—sejak aktif di Hizbul Wathan hingga mengajar di sekolah Muhammadiyah di Cilacap—membentuk wataknya sebagai pemimpin yang kuat dalam prinsip dan lembut dalam akhlak.
Seperti ditulis dalam buku Sudirman: Tentara Islam dari Muhammadiyah (Prof. Ahmad Najib Burhani, 2010), Sudirman menanamkan nilai jihad bukan semata-mata perang fisik, tetapi pengorbanan dalam seluruh aspek kehidupan untuk mempertahankan kebenaran dan kemerdekaan. Ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah telah meletakkan fondasi nilai keagamaan dalam tubuh TNI sejak awal.
Askar Perang Sabil: Bukti Keterlibatan Rakyat dalam Perang
Haedar Nashir juga mengingatkan tentang peran Muhammadiyah dalam Agresi Militer Belanda I, ketika pada 23 Juli 1947 dibentuk Askar Perang Sabil. Ini merupakan pasukan non-formal yang terdiri atas kader Muhammadiyah, khususnya di wilayah Yogyakarta dan selatan Jawa Tengah, yang bahu membahu membantu TNI dalam pertempuran melawan pasukan Belanda.
Askar Perang Sabil menjadi bukti nyata bahwa umat Islam, melalui Muhammadiyah, tidak tinggal diam dalam mempertahankan kemerdekaan. Mereka turun langsung, menyumbangkan tenaga, pikiran, bahkan nyawa demi Indonesia merdeka. Ini terekam dalam catatan sejarah dan beberapa dokumen militer yang kini menjadi arsip nasional.
“Peran Askar Perang Sabil sering dilupakan dalam narasi besar sejarah Indonesia, padahal mereka adalah barisan relawan jihad fisabilillah yang membela negara dengan semangat tinggi,” tulis sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya Api Sejarah (2009).
Kolaborasi Hari Ini: Ketahanan Sosial dan Ideologi
Hubungan Muhammadiyah dan TNI hari ini bukan hanya terletak pada nostalgia sejarah, tetapi juga dalam kolaborasi konkret di era modern. Muhammadiyah dengan ribuan sekolah, rumah sakit, serta lembaga sosialnya menjadi mitra strategis TNI dalam penguatan ketahanan nasional.
Beberapa bentuk kerja sama yang bisa terus dikembangkan antara Muhammadiyah dan TNI antara lain: Pendidikan karakter dan bela negara di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Ceramah kebangsaan dan wawasan Pancasila oleh Babinsa dan perwira TNI di masjid-masjid Muhammadiyah. Kerja sama dalam penanggulangan bencana, seperti yang telah dilakukan oleh MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center) dan TNI selama bencana gempa, banjir, dan pandemi COVID-19.
Dengan dasar ideologi Pancasila dan semangat Islam berkemajuan, Muhammadiyah dan TNI dapat bersama-sama menjaga keutuhan NKRI dari ancaman radikalisme, separatisme, dan krisis moral generasi muda.
Penutup: Mewarisi Nilai, Merawat Negeri
Jejak Jenderal Sudirman dan peran Askar Perang Sabil bukan hanya catatan sejarah, tetapi amanah perjuangan yang harus diteruskan. Kedekatan Muhammadiyah dan TNI bukan karena formalitas, melainkan karena keduanya sama-sama lahir dari rahim bangsa yang diperjuangkan dengan darah dan air mata.
Hari ini, ketika bangsa dihadapkan pada tantangan globalisasi, ideologisasi, dan disintegrasi, maka kolaborasi antara kekuatan sipil dan militer menjadi sangat penting. Muhammadiyah dan TNI, dengan nilai luhur dan disiplin tinggi, bisa menjadi garda terdepan dalam mewujudkan Indonesia yang berdaulat, adil, dan bermartabat. “Tanah air ini bukan warisan nenek moyang, tetapi titipan untuk anak cucu. Maka, mari kita rawat bersama dengan iman, ilmu, dan pengabdian.” — Jenderal Sudirman. (Yusriana MM dari berbagai sumber)
0 Komentar