Lebih Baik Memikul Kayu daripada Mengemis: Refleksi atas Hadis tentang Etos Kerja
Nomor yang Terblokir
SUMBAR, kiprahkita.com –Aku menatap layar ponsel cukup lama sebelum akhirnya menekan tombol blokir. Bukan karena benci. Bukan pula karena marah. Tapi karena risih, lelah, dan kurang logis.
Dicky, Al, Riu...., dan sederet rekan lama, teman suami yang dulu kukenal sebagai satpam ramah, pekerja ini itu, sudah terlalu sering muncul di WhatsApp—bukan untuk menyapa, tapi untuk meminta belas kasihan. Hari ini katanya uang sekolah anaknya belum lunas. Dua minggu lalu, katanya istrinya sakit. Bulan lalu, katanya belum gajian. Selalu ada alasan.
Kami percaya. Awalnya. Sampai satu hari, pesan dari seorang teman lain datang:
"Uang yang kita kirim itu dipakai Dicky buat traktir orang-orang di lapangan tenis. Katanya, 'sekali-sekali gue juga nyumbang buat pejabat main, biar mereka ingat gue'. Kebetulan Abang uni juga main. Sampai rumah Abang cerita.
"Banyak uang Dicky, Dek! Kami selapangan ditraktir."
"Dada uni sesak. Bukan soal uangnya, tapi karena uni merasa dimanfaatkan. Yang ia bantu bukan anaknya, tapi orang-orang yang bermain tenis.
Aku sadar dari sana, membantu bukan berarti membiarkan. Meminta-minta, apalagi dengan alasan palsu, adalah bentuk pelecehan terhadap martabat diri apalagi tempat mereka meminta kami para wanita.
Maka hari ini, tanpa banyak kata, nomor Dicky dan yang lain pun resmi terblokir. Bukan karena aku tak peduli, tapi karena aku ingin ia belajar... bahwa hidup harus dijalani dengan usaha, bukan dengan menipu dan mendzalimi manusia lain.*
![]() |
Alat PermainanTenis |
Di tengah zaman yang serba cepat dan penuh godaan hidup instan ini, cerita di atas sangat relevan dengan hadis Nabi Muhammad ﷺ yang diriwayatkan oleh sahabat Zubair bin Al-‘Awwam ini kembali menyentuh relung hati umat Islam:
"Sungguh salah seorang dari kalian yang mengambil talinya, lalu mencari seikat kayu bakar dan dibawa dengan punggungnya, kemudian dia menjualnya, lalu Allah mencukupkannya dengan (menjual) kayu bakar itu, maka itu lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada manusia, baik manusia itu memberinya atau menolaknya." (HR. Bukhari no. 1471)
Hadis ini bukan sekadar anjuran untuk bekerja, teman. Tapi sebuah seruan spiritual untuk mengangkat martabat kita manusia. Dalam masyarakat yang terkadang mengukur nilai seseorang dari jabatan atau kemewahan, Islam hadir dengan pesan sederhana namun agung: bekerja, bahkan pekerjaan kasar sekalipun, lebih mulia daripada mengulurkan tangan meminta kepada manusia karena sejatinya meminta itu hanya kepada Allah SWT.
Meminta-minta: Memberi Kehinaan Diri
Di banyak budaya, mengemis identik dengan ketidakberdayaan. Namun dalam pandangan Islam, lebih dalam lagi: meminta-minta adalah bentuk penghinaan diri, kecuali dalam kondisi darurat. Nabi ﷺ menekankan bahwa jika seseorang masih punya tenaga dan akal untuk bekerja, maka ia tidak pantas merendahkan dirinya di hadapan manusia hanya untuk mendapat sedikit pemberian.
Pesan ini sangat relevan dalam kehidupan modern, di mana mental "instan" dan ketergantungan pada bantuan seringkali lebih dipilih daripada keringat dan usaha keras. Padahal, Islam memuliakan kerja dan menganggapnya sebagai ibadah jika dilakukan dengan niat yang benar dan jalan yang halal.
Bekerja: Jalan para Nabi dan Orang Shalih
Yang menarik, Nabi ﷺ tidak menyebut profesi elit atau pekerjaan yang "prestisius" dalam hadis ini. Beliau justru mencontohkan pekerjaan mengumpulkan kayu bakar, sebuah kerja fisik yang sederhana. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak memandang rendah pekerjaan apa pun selama itu halal dan bermanfaat.
Dari sejarah, kita tahu bahwa Nabi Muhammad ﷺ pernah menggembala kambing dan berdagang. Demikian pula para sahabat yang bekerja keras, dari petani hingga pengrajin. Bahkan para nabi lainnya pun dikenal bekerja—Nabi Daud adalah pandai besi, Nabi Musa menggembala kambing, dan Nabi Nuh adalah tukang kayu.
Realitas Sosial: Ketika Meminta Menjadi Gaya Hidup
Sayangnya, di tengah banyaknya peluang kerja dan kreativitas, sebagian orang justru menjadikan meminta-minta sebagai "profesi". Mereka berpakaian compang-camping dan memelas di pinggir jalan, padahal secara fisik masih kuat. Lebih parah lagi, sebagian memanipulasi simpati demi keuntungan pribadi. Mengatasnamakan yayasan, anak sakit, istri sakit, dan seribu satu alasan. Dengan bermodal HP dan satu pesan WhatsUp.
Kondisi ini tidak hanya menyalahi ajaran agama, tetapi juga menciptakan ketimpangan sosial dan kemalasan struktural. Masyarakat akhirnya terbiasa dengan belas kasihan, bukan produktivitas. Padahal, Nabi ﷺ telah menegaskan:
"Bersungguh-sungguhlah dalam menuntut apa yang bermanfaat bagimu. Mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah." (HR. Muslim no. 6945)
Pekerjaan dan Keahlian: Allah Membagi Rezeki Lewat Usaha
Setiap manusia diberi keahlian dan potensi yang berbeda. Ada yang piawai berdagang, bisnis, ada yang telaten bertani, menulis, bela diri, aplikasi komputer atau android, ada pula yang ahli teknologi. Islam tidak memaksakan satu jenis pekerjaan sebagai yang paling utama. Yang paling penting adalah usaha dan kehalalan sumber nafkah.
Dalam konteks ini, hadis yang kita bahas mengandung pesan bahwa bekerja sesuai kemampuan diri adalah bentuk syukur kepada Allah. Bukan soal jenis pekerjaannya, tapi bagaimana pekerjaan itu dilakukan dengan niat untuk mandiri, membantu keluarga, dan menjauhi sifat rendah diri.
Refleksi Diri: Apakah Kita Sudah Bekerja dengan Niat Lillah?
Hadis ini bukan hanya untuk para pengangguran. Ini juga sindiran halus bagi siapa saja yang bekerja tapi kehilangan makna dalam pekerjaannya. Kita perlu merenung: apakah kita bekerja hanya demi dunia, atau ada niat ibadah dalam setiap tetes peluh kita?
Demikian pula, bagi yang menghadapi kesulitan ekonomi, semangat untuk terus berusaha perlu dipelihara. Jangan sampai rasa malas, gengsi, atau tekanan sosial membuat kita memilih jalan meminta-minta padahal masih mampu berusaha.
"Ukuran Cukup Menurut Allah dalam Mencari Rezeki" bukan cuma soal angka atau materi, tapi soal keberkahan dan kepuasan hati. Berikut beberapa poin yang bisa jadi panduan:
🌾1. Cukup Itu yang Membuat Kita Tidak Bergantung pada Manusia lain
Dalam Islam, ukuran “cukup” sering dikaitkan dengan kemandirian dan tidak meminta-minta. Seperti dalam hadis yang tadi kamu kirim:
“Sungguh salah seorang dari kalian yang mengambil talinya lalu mencari seikat kayu bakar dan dibawa di punggungnya, lalu ia menjualnya... lebih baik daripada meminta-minta.” (HR. Bukhari)
Artinya, cukup itu adalah ketika kita bisa memenuhi kebutuhan dasar tanpa bergantung pada belas kasihan orang lain.
💛 2. Cukup Itu Saat Kita Bersyukur atas Apa yang Dimiliki
Nabi ﷺ bersabda:
“Bukanlah kaya itu dengan banyaknya harta, tetapi kaya adalah kaya jiwa (qana'ah).”(HR. Bukhari dan Muslim)
Jadi menurut Allah, cukup itu bukan jumlahnya, tapi sejauh mana hati kita bisa bersyukur dan tidak tamak. Orang yang qana'ah, meski gajinya pas-pasan, bisa tidur tenang. Sementara yang tamak, meski bergaji tinggi, tetap gelisah karena tak bersyukur.
🍃 3. Cukup Itu yang Menjauhkan Kita dari Maksiat
Kalau rezeki kita membuat kita tidak harus berbuat haram, tidak harus menipu, tidak harus mencuri atau menzalimi orang lain—itulah cukup menurut Allah. Karena itu artinya Allah telah mencukupkan dengan jalan yang halal.
📿 4. Cukup Itu Bisa Beribadah Tanpa Terhalangi Nafkah
Allah tidak ingin kita bekerja sampai lupa salat, lupa keluarga, apalagi lupa akhirat. Jadi ukuran cukup itu juga saat kita masih bisa *menyeimbangkan dunia dan akhirat.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia…” (QS. Al-Qashash: 77)
✨ Kesimpulan
Cukup menurut Allah bukan tentang banyaknya harta, tapi tentang cukupnya hati.
Kalau kita bisa hidup dari yang halal, mandiri, bersyukur, dan tidak lupa akhirat—maka itulah rezeki yang cukup dan bahkan berlimpah dalam pandangan Allah. Cukup itu sudahlah sebatas bisa makan saat lapar, bisa membayar tagihan air, listrik, uang sekolah anak, infak kepada Ibu Bapak kita yang sudah udzur sesuai Firman Allah dalam Surat Al Baqarah: 215.
"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang harus mereka infakkan. Katakanlah, "Harta apa saja yang kamu infakkan, hendaknya diperuntukkan bagi kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan." Dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.
Via Muslim Life https://www.religionoe.com/
Bukan seperti cerita di atas.
Penutup
Hadis tentang pentingnya bekerja dan tercelanya meminta-minta ini adalah pengingat kuat bagi umat Islam untuk hidup mandiri dan bermartabat. Dalam dunia yang makin materialistik, ajaran ini mengajarkan bahwa nilai sejati manusia bukan pada hartanya, tapi pada usahanya.
Semoga kita semua dimudahkan oleh Allah dalam mencari nafkah yang halal, diberi kekuatan untuk menjauhi sifat malas dan bergantung pada orang lain, serta mampu menjaga harga diri sebagai seorang muslim.
Wallahu Ta’ala a’lam. (Yus MM/*)
0 Komentar