Serba-Serbi Idul Adha 1446 H Pagi Ini: Kabar dari Jakarta, Semarang, dan Adik-Adik dari Kampung Halaman

Serba-Serbi Idul Adha Pagi Ini: Kabar dari Jakarta, Semarang, dan Kampung Halaman

NASIONAL, kiprahkita.com Pagi Idul Adha selalu membawa nuansa yang khas. Suasana masih tenang, udara segar, dan ada semacam kesyahduan yang tak bisa dijelaskan. Tapi pagi ini selalu punya cerita berbeda dan menarik. Ada saja yang membuatnya lebih berwarna. Percakapan hangat lewat pesan WhatsApp—antara kami yang di rumah, anak-anak yang di perantauan, dan Saudara-Saudara di kampung. Beginilah serba-serbi Idul Adha kami  akan berbeda dari tahun ke tahun tiap pagi, seperti pagi ini.

Dapat Sarapan Usai Shalat 

1. Kabar dari Anak di Semarang dan Jakarta

"Dilua sholat lai panuah 😹" tulis Khalid, anakku yang sedang di Semarang. Rupanya ia hampir terlambat, karena baru tahu shalat dimulai pukul 06.15.

Di Semarang, barangkali suasananya jauh beda—padat dan serba cepat. Tak sempat bawa sajadah, untung ada yang baik hati membagi sajadah untuk kami berdua.

Aku menanggapi sambil tersenyum, "Talambek tibo... Ndak baa do." Kami berbagi keluhan kecil, tawa ringan, dan tentu saja, pesan THR Idul Adha. Meski bukan kewajiban, THR tetap jadi bentuk kasih sayang. Tak banyak, tapi cukup untuk beli sarapan dan membuat hati hangat.

"Nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kamu dustakan?" tulisku setelah tahu dia sudah sarapan. Ternyata masjid tempatnya shalat menyediakan sarapan pagi pula. Jumat berkah memang jalan di Semarang sana.

Suasana Id barakah di Semarang 

2. Tentang Puasa Arafah dan Shalat Id

"Lai puaso bang patang?" tanyaku pada Putra, anak laki-lakiku yang di Jakarta.

"Indak ma, lah subuah bang jago patang ndak sempat sahur do," jawabnya. Memang tidak wajib sahur, tapi tetap saja, anakku merasa haus dan lelah karena puasa tanpa sahur.

Kami pun berdiskusi tentang pentingnya minum cukup air sebelum puasa. Katanya, "Minumnyo paralu, dehidrasi bang patang." Aku hanya bisa menasihatinya dari jauh, "Banyak minum, bang. THR Adha lah makirim."

Id Barakah di Jakarta 

3. Cerita dari Kampung

Kampung selalu punya cerita lain. Di sana, suasana Idul Adha lebih meriah meski sederhana. Heboh saat bangun pagi berebut kamar mandi. Di sana kebiasaan kami sekampung mandi balimau sebelum Subuh.

"Bouk markurban de alak bouk," Tanya Rivan, keponakanku. (Bouk: Ante/Amay) (alak : orang)

Aku tersenyum sendiri membaca itu. Rasa syukur membuncah saat tahu keluarga perhatian kepadaku tetap menanyakan apakah aku melaksanakan kurban meski aku tak bisa hadir secara fisik.

Lalu muncul pesan dari Bujing di Kampung Bocca Banjarmasin, "Jam 3 nanti dijemput dagingnya, Kak. Kata bang Mukmin." Aku membalas, "Mudah-mudahan berkah dagingnya. Bagi-bagi hamu olo." (Bagi-bagi ya).

Kami bahkan sempat bercanda soal kirim uang, soal ATM, dan soal ember—hal-hal kecil yang justru membuat percakapan kami hangat dan penuh tawa antar saudara. Ya, kadang mereka Saudara kita tidak punya uang untuk membeli santan, cabai, dan bumbu rendang.

Qurban Berkah di Kampung 

4. Nikmat Kecil yang Membahagiakan

Idul Adha pagi ini terasa berbeda. Tidak ada makan bersama pulang shalat Idul Adha atau gulai ayam yang tercium dari dapur, karena kami masih menunggu distribusi daging Qurban. Tapi obrolan via chat pagi ini sudah cukup mengenyangkan batin kami.

Dari anak-anak di kota besar yang berjuang sendiri menjalani hari-hari, dari kampung yang tetap ramai dengan semangat gotong royong, dari ucapan “Alhamdulillah” dan “Aamiin” yang saling berbalas—semuanya adalah bagian dari rezeki dan keberkahan yang patut disyukuri.

5. Sebait Harapan di Hari Raya

Semoga Idul Adha tahun ini membawa keberkahan bagi semua. Semoga keluarga yang berjauhan tetap saling terhubung oleh doa dan cinta. Semoga kurban yang disembelih menjadi pengingat bahwa pengorbanan adalah bagian dari cinta—dan cinta tak pernah mengenal jarak.

6. Tentang Kue Idul Adha dan Tangan-Tangan Penuh Cinta

Tak lengkap rasanya Idul Adha tanpa kiriman kue buatan tangan. Di tengah percakapan yang ramai soal kurban, shalat, puasa Arafah, dan transfer THR, muncul pesan manis dari Istri Abril salah satu Pengurus Pemuda Muhammadiyah Kota Padang Panjang.

“Assalamualaikum. Selamat Idul Adha kak. Kue lah masak. Apakah mau diantar sekarang?”

Hatiku hangat. Kue bukan sekadar makanan, tapi lambang perhatian yang lembut. Bukan hanya karena rasanya, tapi karena niatnya. Dalam diam, aku membayangkan Istri Abril di dapurnya pagi-pagi, mengaduk adonan, mengatur loyang, lalu menyapa lewat pesan—menawarkan manisnya kue dan manisnya silaturahmi.

"Ya, Kak pesan dua. Satu antar ke rumah dan satu ke panitia kurban Taqwa Muhammadiyah."

Saat aku bertanya apakah dia punya nomor rekening, Abril menjawab ringan, “Indak, kk.” Tak ada." Aku bayar lewat Dana.

Kue Idul Adha 

7. Maulana, Adik yang Sempat Hilang

Pagi Idul Adha kali ini kubuat kejutan yang begitu menyentuh: aku chat Maulana. Ia adik sepupuku, putra dari Anteku (Etek/Bujing) paling bungsu. Mamaku nomor 1, Bujing Banjarmasin nomor 2, Bujing Ros, Ibu Maulana nomor 3. Kami tak pernah tumbuh dalam lingkaran keluarga yang sama. Perceraian ayah dan ibunya memisahkannya dari kami. Ayahnya membawa ia ke pelukan keluarga ayahnya. Sejak kecil, Maulana menghilang dari radar—tak ada kabar, tak ada jejak. 

Barulah ketika Ibunya meninggal kami tersambung lewat telepon. Hari ini, kami kembali tersambung. Kami sudah sama-sama menjadi orang tua, kami mulai dari sapaan yang kaku tapi tulus. Ia mungkin canggung memanggilku "kakak"—karena memang kami tak sempat berbagi masa kecil yang sama. Tak ada kenangan bermain bersama, tak ada rebutan kecil khas adik dan kakak. Tapi tak apa. Sapanya sudah cukup menjadi jembatan. Setidaknya, kini aku tahu ia sehat di Riau sana, bersama istri dan anak-anaknya.

Beda dengan Monang, adiknya. Aku dan Monang seperti dua sisi koin yang sama. Kami dekat. Ada tawa, cerita, dan kedekatan yang terbangun sejak kecil. Monang bahkan sempat tinggal bersama kami untuk bekerja di gilingan padi Ayah.

Maulana hadir. Seperti bab yang lama hilang dari buku keluarga, kini lembarannya mulai bisa kubaca kembali. Aku merasa, Idul Adha tahun ini tak hanya soal kurban dan shalat berjamaah, tapi juga tentang tali yang dirajut ulang—tentang silaturahmi yang Allah pulihkan dengan cara-Nya sendiri.

SS suasana gotong royong 

Paket dari Batam turut mewarnai 

Begitulah suasana penuh haru Idul Adha: bukan soal besar atau kecilnya daging kurban, bukan soal banyak atau tidaknya kiriman uang THR, tapi soal rasa yang dibagi bersama. Komunikasi. Bagaimana ceritamu. Ayo bagi di sini. Kiprah Kita Nuansa Baru. (Yusriana MM/*)

Posting Komentar

0 Komentar