Bisnis Telkomsel: Antara Inovasi, Efisiensi, dan Rebutan Segmen Gen-Z

Transformasi Bisnis Telkomsel: Antara Inovasi, Efisiensi, dan Rebutan Segmen Gen-Z

JAKARTA , kiprahkita.com Pernyataan Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Andre Rosiade, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan PT Telkom Indonesia pada 2 Juli 2025 menjadi alarm serius tentang masa depan Telkomsel. Sebagai anak usaha yang menyumbang lebih dari 70 persen pendapatan PT Telkom, penurunan performa Telkomsel bukan hanya masalah anak perusahaan, melainkan ancaman eksistensial bagi holding itu sendiri.

Maka, ajakan Andre agar Telkom berani menciptakan terobosan bisnis seperti data center dan menggarap pasar Gen-Z dan milenial merupakan langkah strategis yang perlu didengar — bahkan ditindaklanjuti secara konkret dan cepat.

Andre tawarkan pengembangan bisnis data center.

Data Center: Masa Depan Bisnis Digital Telkom

Salah satu solusi yang ditawarkan Andre adalah pengembangan bisnis data center. Dalam dunia digital yang makin masif dan berbasis cloud, data center menjadi tulang punggung ekonomi digital global. Apalagi dengan meningkatnya kebutuhan penyimpanan data dari sektor pemerintah, swasta, fintech, dan AI, data center adalah "tambang emas baru" yang belum tergarap maksimal di Indonesia.

Namun, Andre mengingatkan dua hal penting dalam menjalankan bisnis ini. Pertama, saham mayoritas harus tetap dimiliki Telkom, agar kontrol strategis tetap di tangan bangsa sendiri. Kedua, efisiensi harus dijaga. Data center Telkom tidak boleh lebih mahal dari milik swasta, karena justru akan membuatnya tidak kompetitif. Ini adalah catatan penting, mengingat beberapa proyek BUMN sebelumnya kerap terganjal persoalan inefisiensi dan membengkaknya biaya.

Menggarap Gen-Z dan Milenial: Bangkitkan "AS Reborn"

Selain itu, Andre juga menyoroti kegagalan Telkomsel dalam merebut segmen Gen-Z dan milenial, yang justru menjadi ceruk pasar paling potensial saat ini. Di tengah dominasi digital, streaming, gaming, dan media sosial, anak muda menjadi pengguna data terbesar. Namun sayangnya, mereka malah enggan memakai Telkomsel karena dianggap mahal dan tidak fleksibel.

Di sinilah Andre mendorong munculnya inovasi yang lebih berani, seperti menghidupkan kembali kartu AS dengan konsep baru — "AS Reborn". Ide ini bukan sekadar nostalgia, melainkan upaya strategis untuk membangun brand yang relatable dengan anak muda. Ia juga menyinggung kegagalan branding by.U, yang meski digital-native, namun belum mampu menciptakan identitas kuat di benak Gen-Z.

Langkah kompetitor seperti penggabungan XL dan Smartfren menjadi sinyal bahwa industri ini sudah bergerak cepat membaca pasar anak muda. Telkomsel tak boleh hanya andalkan kekuatan lama dan infrastruktur, tapi harus juga bermain di branding, kemasan produk, hingga strategi harga.

Ancaman Kompetitor Global: Starlink dan Huawei

Andre juga menyoroti ancaman dari Starlink dan Huawei yang membawa teknologi satelit orbit rendah (LEO). Teknologi ini memungkinkan koneksi internet tanpa SIM card, cukup langganan layanan. Bila Telkomsel tidak mengantisipasi, bisa-bisa pengguna langsung berpindah tanpa perlu lagi layanan operator lokal. Ini bukan prediksi jauh ke depan — tapi kenyataan yang mulai terjadi.

Dengan 280 juta potensi pasar di Indonesia, tidak ada alasan Telkomsel kalah bersaing. Namun itu hanya bisa dicapai jika mereka bertransformasi, berinovasi, dan berani mengambil risiko. Tidak bisa lagi mengandalkan pola pikir dan model bisnis konvensional. Bahkan Andre dengan tegas mengingatkan: “Jangan sampai tikus mati di lumbung padi.”

Artinya, data center sedang menyesuaikan strategi pemasaran atau layanannya untuk menarik perhatian generasi Z (Gen Z), yaitu kelompok usia muda yang lahir sekitar tahun 1997–2012. Mereka cenderung lebih digital-savvy, menginginkan layanan cepat, transparan, dan berbasis teknologi canggih. Jadi, kalau data center "menyasar Gen Z," itu berarti mereka ingin menjadi relevan dan menarik bagi generasi ini—mungkin lewat branding yang kekinian, layanan cloud yang fleksibel, atau dukungan untuk game, konten digital, dan startup teknologi.

Contohnya, sebuah data center membuat kampanye di media sosial seperti TikTok dan Instagram dengan gaya bahasa gaul yang dekat dengan Gen Z, misalnya pakai istilah kayak "anti lemot club" buat promosi layanan cloud mereka yang cepat. Mereka juga bisa kerja sama dengan influencer tech muda, bikin konten edukatif tentang keamanan data atau cara bikin startup, lengkap dengan desain visual yang colorful dan estetik khas Gen Z. Tujuannya biar Gen Z ngerasa relate dan tertarik pakai layanan mereka, bukan cuma perusahaan besar aja yang jadi target

Penutup: Saatnya Bangkit dan Berani Berubah

Pesan Andre Rosiade adalah panggilan tegas kepada Telkom dan Telkomsel untuk berbenah, bukan hanya dengan teori tapi langkah konkret. Era digital tidak akan menunggu siapa pun. Perusahaan teknologi besar dari luar siap merebut pasar Indonesia jika pelaku lokal hanya bertahan tanpa inovasi.

Membangun data center dan menyasar pasar Gen-Z hanyalah dua dari banyak strategi. Namun keduanya bisa menjadi pondasi baru bagi Telkom untuk tetap relevan dan berjaya di era baru ini. Dan tentu saja, semuanya harus dilakukan dengan prinsip efisiensi, kemandirian nasional, dan keberpihakan pada kepentingan rakyat.(Yus MM/BS*)

Posting Komentar

0 Komentar