Membaca Ulang Keputusan Bupati: Antara Efisiensi Anggaran dan Ruang Ekspresi Budaya
PADANG PARIAMAN, kiprahkita.com –Pembatalan Pekan Kebudayaan I di Nagari Katapiang, Kecamatan Batang Anai, oleh Bupati Padang Pariaman, H. John Kenedy Azis (JKA), menjadi sorotan publik, terutama di tengah semangat masyarakat yang sudah bersiap menyambut perhelatan budaya itu.
Namun, keputusan tersebut sejatinya bukan tanpa dasar. Di tengah tuntutan efisiensi anggaran sebagaimana diamanatkan dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025, langkah ini menjadi refleksi atas komitmen terhadap tata kelola keuangan yang lebih bijak dan bertanggung jawab.
Bupati JKA secara tegas menyampaikan bahwa biaya pelaksanaan acara yang mencapai lebih dari Rp200 juta tidak selaras dengan semangat penghematan yang sedang digencarkan pemerintah pusat. Dalam konteks nasional, ketika efisiensi menjadi agenda utama, penyelenggaraan kegiatan seremonial dengan anggaran sebesar itu bisa dianggap tidak sensitif terhadap kondisi fiskal yang tengah dihadapi berbagai daerah.
Namun, pembatalan ini juga mengungkap lapisan persoalan lainnya: lemahnya koordinasi antarstruktur pemerintahan daerah. Fakta bahwa acara ini dirancang tanpa pelibatan penuh pimpinan daerah menunjukkan masih ada celah dalam komunikasi internal yang perlu diperbaiki. Evaluasi menyeluruh terhadap Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, khususnya Bidang Kebudayaan, adalah langkah strategis demi mencegah kegaduhan serupa di masa mendatang.
Meski begitu, bukan berarti ruang ekspresi seni dan budaya dipangkas habis. Justru dalam pernyataannya, Bupati menunjukkan sikap akomodatif dan solutif. Kegiatan alternatif akan tetap digelar dengan melibatkan langsung pemerintah nagari dan pelaku seni setempat. Ini sejalan dengan semangat kultural yang selama ini hidup di Padang Pariaman — budaya yang tumbuh dari bawah, dari nagari, bukan dari atas.
Patut dicatat pula bahwa sebelumnya, kegiatan serupa di daerah ini kerap berlangsung tanpa dukungan APBD. Kolaborasi masyarakat, sponsor, dan komunitas perantau menjadi motor penggerak. Model partisipatif semacam ini bukan hanya hemat, tetapi juga memperkuat rasa memiliki masyarakat terhadap budaya mereka sendiri.
Keputusan membatalkan acara besar ini bisa jadi menyakitkan bagi sebagian pihak, terutama para seniman dan panitia yang telah bekerja keras. Namun, dalam skema pembangunan jangka panjang, langkah ini menyiratkan upaya menciptakan keadilan anggaran di antara 103 nagari yang ada di Padang Pariaman. Mengucurkan dana ratusan juta untuk satu nagari, sementara yang lain tidak tersentuh, jelas berpotensi menimbulkan kecemburuan dan ketimpangan.
Kini, tantangannya adalah memastikan bahwa energi dan semangat seniman lokal tetap terwadahi dalam format yang lebih hemat, namun tidak kalah bermakna. Pemerintah nagari dan komunitas lokal memegang peran penting dalam menyusun ulang agenda budaya ini agar tetap hidup — lebih sederhana, namun tetap penuh makna.
Optimisme pun tetap terjaga. Katapiang dikenal sebagai nagari yang kaya potensi budaya dan semangat kolektif masyarakatnya. Dengan sokongan tokoh lokal dan partisipasi masyarakat, geliat seni akan tetap menyala. Bahkan, bisa jadi, justru dari keterbatasan inilah lahir kreativitas dan kemandirian baru dalam pengembangan budaya.
Akhirnya, keputusan ini bisa dibaca bukan semata sebagai bentuk penolakan terhadap kebudayaan, tapi sebagai upaya menyeimbangkan antara semangat berkesenian dan kewajiban menjaga kesehatan fiskal daerah. Di tengah tuntutan efisiensi, masih ada ruang untuk budaya — hanya saja, caranya kini harus lebih cermat, adil, dan berakar dari masyarakat itu sendiri.(BS*)
0 Komentar