Presiden Pilih Wapres: Reformasi untuk Reduksi Politik Transaksional

Mengubah Mekanisme Pemilihan Wapres: Reformasi untuk Reduksi Politik Transaksional

JAKARTA, kiprahkita.com Usulan agar wakil presiden (wapres) ditetapkan oleh MPR atas nama yang diusulkan oleh presiden terpilih, bukan dipilih langsung di pilpres, mendapat dukungan dari Komunikolog Politik Tamil Selvan. Ia berargumen, “Ketika presiden yang memilih para calon (wapres)-nya untuk kemudian nantinya dipilih di MPR saya kira ini hal benar. … ini akan memangkas atau kira‑kira mengurangi tindakan‑tindakan transaksional yang selalu terjadi (dalam Pilpres)” .

Presiden dipilih langsung oleh rakyat

Menurut Selvan, sistem calon wapres dipilih secara langsung bersamaan dengan presiden memicu koalisi pragmatis dan negosiasi transaksional antarpartai. Jabatan wapres sering kali menjadi kartu tukar untuk memenangkan suara, bukan semata-mata didasarkan kompetensi dan kesesuaian visi kepemimpinan.

Selain pandangan Tamil Selvan, usulan serupa dikemukakan oleh mantan Ketua MK, Prof. Jimly Asshiddiqie. Pada diskusi politik Juni 2025, ia menyarankan, “Biar capresnya banyak, dan yang kedua, biar dia kuat, dia (presiden) dipilih langsung oleh rakyat. Wakilnya enggak usah, wakilnya dipilih oleh MPR saja,” 

Jimly menekankan bahwa skema ini memungkinkan presiden untuk memilih calon wakil yang benar-benar sejalan dan kompeten, serta memberi wewenang pada MPR untuk memverifikasi dan menetapkannya—ketimbang proses pemilihan langsung yang rawan praktik negosiasi di balik layar.

Potensi Manfaat

Mengurangi Politik Transaksional

Dengan menghapus proses pencalonan pasangan di awal pemilu, manuver politik praktis seperti ‘jual-beli kursi wapres’ bisa diminimalkan.

Memperkuat Fungsi MPR sebagai Check and Balance

Jika dilaksanakan transparan dan akuntabel, MPR bisa menjadi buffer legislatif yang memvalidasi pasangan wapres pilihan presiden, memastikan kualitas dan legitimasi pejabat negara.

Memilih Pribadi yang Tepat

Presiden dapat memilih pendamping pemerintahan berdasarkan kinerja dan kapabilitas, bukan sekadar pertimbangan politik massa.

Tantangan dan Kritik

Risiko Dominasi MPR

Memberi kewenangan pada MPR untuk menetapkan wapres bisa membuat lembaga legislatif terlalu kuat, berpotensi melemahkan prinsip demokrasi langsung.

Transparansi Proses

Jika tidak disertai mekanisme tertutup dan publikasi yang jelas, justru dapat memperbanyak lobi tertutup dalam MPR.

Meyakinkan Publik

Harus ada edukasi publik agar pemilih menyadari bahwa pemilihan wapres melalui MPR bukan pengurangan hak rakyat, melainkan strategi agar kabinet lebih efektif dan Gubernur wakil-rakyat yang tepat.

Kesimpulan

Usulan agar wakil presiden ditetapkan oleh MPR berdasarkan usulan presiden—menurut Tamil Selvan dan Prof. Jimly—memiliki potensi untuk mengurangi politik transaksional dan memperkuat pemerintahan yang lebih koheren. Namun, untuk merealisasikannya, diperlukan reformasi hukum konstitusional, desain mekanisme transparan, serta dukungan demokratis agar tidak menimbulkan kekhawatiran kekuasaan legislatif berlebihan dan kehilangan kepercayaan publik.

Komunikolog politik Tamil Selvan—juga dikenal sebagai Kang Tamil—adalah akademisi dan pengamat politik Indonesia yang sering tampil di media, terutama di RMOL dan Kompas, untuk memberikan analisis isu-isu politik kontemporer.

Profil Singkat:

Spesialisasi: Komunikasi politik dan kebijakan publik.

Aktivitas: Dosen di Universitas Dian Nusantara dan Ketua Forum Politik Indonesia .

Pernyataan Publik: Sering memberikan komentar dalam berbagai diskusi dan pemberitaan, misalnya tentang PPKM Darurat, strategi kampanye politik, dan figur publik seperti Jokowi, Puan Maharani, PSI, dan lainnya.

Penghargaan Budaya: Pada 2022, Tamil Selvan menerima gelar kebangsawanan dari Keraton Surakarta Hadiningrat atas kontribusi budaya dan akademiknya. Yang dimaksud "tindakan transaksional" oleh Tamil Selvan dalam konteks pemilihan presiden dan wakil presiden adalah: Politik Transaksional = Politik Dagang Sapi. Ini istilah populer dalam politik Indonesia. Artinya: keputusan politik (misalnya pemilihan pasangan capres-cawapres) dibuat bukan atas dasar visi, kompetensi, atau integritas, melainkan berdasarkan tawar-menawar kekuasaan dan kepentingan.

Contoh Praktik Transaksional Saat Pilpres: Jatah Kursi Wapres Sebagai Imbalan Koalisi Partai A mendukung capres dari Partai B asal cawapres-nya dari Partai A. Ini bukan karena si cawapres punya kompetensi, tapi karena partai ingin jatah kekuasaan.

Bagi-bagi Jabatan Setelah Menang, Dalam perjanjian informal, partai yang mau berkoalisi dijanjikan kursi menteri, duta besar, BUMN, dll. Negosiasi di Balik Layar, Bukan Transparan, Publik tidak tahu kenapa pasangan ini terbentuk. Yang terjadi: lobi-lobi politik antar elite, bukan diskusi terbuka soal program dan kapabilitas.

Kenapa Tamil Selvan Menyebut Ini Masalah? Karena politik transaksional: Mengorbankan kualitas calon wakil presiden, Menyulitkan presiden menjalankan visi karena wapres bisa "titipan" partai, Merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.

Solusinya Menurut Usulan Tersebut: Presiden dipilih langsung rakyat (supaya tetap kuat dan demokratis),Wapres dipilih MPR dari nama yang diajukan presiden, agar: Presiden bisa pilih pendamping yang benar-benar bisa kerja sama, Tidak ada "paket dagang" antarpartai sebelum pemilu, Lebih selektif dan profesional.

Jadi, "tindakan transaksional" di sini adalahsini adalah simbol politik yang didasarkan pada kepentingan kekuasaan, bukan kepentingan rakyat.(Yus MM/BS*)

Posting Komentar

0 Komentar